Seragam Sekolah: Antara Kebebasan Beragama dan Identitas Budaya
Ditengah kemelut sekolah daring, dunia pendidikan Indonesia kembali dikoyak isu intoleransi. Awal Januari 2021, SMKN 2 Padang mendadak viral. Penyebabnya adalah orang tua dari seorang siswi nonmuslim yang melakukan protes atas kebijakan sekolah tentang seragam. SMKN 2 Padang mewajibkan seluruh siswi untuk mengenakan hijab. Tak terkecuali mereka yang nonmuslim.
Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat, Adib Al-Fikri, menyebutkan bahwa aturan yang berlaku di sejumlah sekolah negeri di Padang itu telah ada sejak tahun 2005. Setelah berjalan “Baik-baik saja” selama enam belas tahun, baru tahun 2021 terdengar ada protes.
Menyikapi hal itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, Menteri Agama,Yaqut Cholil Qoumas, dan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Salah satu poinnya adalah peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak untuk mengenakan seragam kekhasan agama tertentu atau tidak. Contoh praktisnya, seorang siswi atau guru perempuan di sekolah negeri berhak memilih berhijab atau tidak ketika berada di jam sekolah. Sekolah dan pemerintah daerah tidak boleh membuat peraturan yang memaksa seseorang mengenakan pakaian kekhasan agama tertentu atau melarangnya. Jika sudah terlanjur ada aturan demikian di tingkat daerah, kepada daerah wajib mencabutnya.
Aturan ini bukan sekedar anjuran. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyiapkan sejumlah sanksi bagi sekolah dan kepala daerah yang melanggar. Sementara Kementerian Agama (Kemenag) dapat memberi pertimbangan penjatuhan atau pencabutan sanksi tersebut.
Pengaturan seragam sekolah secara nasional bukan kali ini saja terjadi. Di era Orde Baru, Depdikbud mengatur hal ini dalam Surat Keputusan No.052/C/Kep/D82. Salah satu poinnya adalah jika “Berhubung pertimbangan agama dan adat istiadat setempat menghendaki macam dan bentuk berbeda, terutama untuk jenis pakaian seragam putri, maka dapat mengenakan seragam khas untuk seluruh siswa dalam satu sekolah.”
Aturan yang diteken pada tahun 1982 ini berlaku nasional. Kala itu sejalan dengan kekuasan pemerintah yang sentralistik, Depdikbud mengontrol dan mengurusi penyelenggaraan pendidikan di seluruh Indonesia.
Hal ini berubah seiring bergulirnya reformasi. Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 mengenai Pemerintahan Daerah, pendidikan menjadi salah satu kewenangan pemerintah daerah. Meski demikian, pemerintah pusat masih berperan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis seperti kurikulum, ujian nasional, dan lain sebagainya.
Kendati demikian, sekolah bukan hanya soal pendidikan dalam arti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dan transfer ilmu pengetahuan (sains). Di dalamnya juga termuat pendidikan agama dan budi pekerti. Dalam UU Pemerintahan Daerah tahun 2014, agama adalah bidang yang sepenuhnya diurusi pemerintah pusat.
Apa yang diputuskan oleh tiga kementerian tersebut sudah tepat. Kebebasan beragama dan mengekpresikan identitas agama adalah hak tiap individu warga negara. Negara tidak berhak mencampuri urusan ini sejauh tidak melanggar hukum dan menganggu ketertiban umum.
Meski penyelenggaraan pendidikan adalah kewenangan pemerintah daerah, namun aturan penyelenggaran pendidikan tersebut tidak boleh tumpang tindih dengan aturan yang lebih tinggi. Dalam hal ini adalah peraturan mengenai kebebasan memeluk agama dan mengekspresikan identitas agamanya.
Sekolah negeri harus menjadi rumah bersama bagi segenap pemeluk agama. Pemerintah daerah sebagai penyelenggara pendidikan musti maklum akan hal ini. Di lembaga lain yang “Lebih ketat” soal seragam, seperti TNI dan Polri, pilihan soal hijab sepenuhnya diserahkan kepada individu masing-masing.
Sebagai bagian dari budaya, adat istiadat atau kekhasan suatu daerah bukanlah barang mati yang jalan di tempat. Budaya bersifat dinamis. Sesuatu yang dipandang baik di masa dulu belum tentu baik di masa kini.
Suatu daerah boleh jadi memiliki corak agama tertentu karena mayoritas penduduknya memeluk agama tersebut. Dulu, mobilitas manusia tidak setinggi hari ini. Homogenitas penduduk dalam suatu daerah masih mungkin terjadi. Namun hari ini, ketika mobilitas sedemikian kencang dan pluralitas penduduk di suatu daerah adalah keniscayaan tak terelakan, kebudayaan sepatutnya menyesuaikan. Kalau pun memaksa bertahan pada bentuk dan aturan lama, gesekan dan gejolak pasti akan terjadi.
Pada akhirnya, budaya itu akan berubah juga. Ini adalah masalah waktu dan proses. Apakah perubahan itu dibiarkan terjadi secara perlahan seiring berjalannya waktu atau dibuat percepatan melalui segenap intervensi manusia sendiri.
Dengan membebaskan siswa, guru, dan tenaga kependidikan memilih seragam yang sesuai dengan keyakinan mereka, warga sekolah akan membiasakan diri dengan perbedaan, dengan pluralitas, dengan kebhinekaan, dan hal-hal lain yang telah disepakatai untuk dijadikan somboyan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Artikel Lainnya
-
156810/11/2020
-
31025/11/2022
-
99911/08/2021
-
Kebutuhan Ruang Privat di Dunia Maya
105423/12/2021 -
Darurat Sampah dan Kepemimpinan Melek Teknologi
141713/07/2020 -
Melawat Hukum Indonesia yang Sedang Sakit
180015/06/2020