Model Pengembangan Kurikulum Understanding by Design: Pembelajaran Backward Design

Peminat Studi Pancasila dan Kewarganegaraan
Model Pengembangan Kurikulum Understanding by Design: Pembelajaran Backward Design 23/01/2023 26387 view Pendidikan pixabay.com

Kurikulum merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Kurikulum dapat dijadikan oleh stakeholders pendidikan sebagai acuan dalam pelaksanaan pendidikan, mulai dari yang tertinggi hingga terendah. Bahkan lembaga pendidikan non formal pun memiliki kurikulum tersendiri dalam pelaksanaan pendidikan mereka.

Kurikulum pada dasarnya berarti sebagai tempat pacuan, hingga diserap ke dalam bahasa pendidikan menjadi proses yang dilalui oleh murid dari awal hingga akhir sehingga mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam hal ini tentu kurikulum erat berkaitan dengan mata pelajaran yang ada di sekolah, karena dalam mencapai akhir sekolah, murid haruslah menyelesaikan rangkaian mata pelajaran yang telah ditetapkan. Sementara isi pokok yang musti ada dalam kurikulum ialah tujuan, isi, strategi, dan evaluasi. Bila salah satu dari komponen tersebut tidak ada, maka tidak dapat dikatakan sebagai kurikulum-formal.

Indonesia sendiri sudah sering melakukan pergantian kurikulum. Di akhir masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberlakukan Kurtilas (Kurikulum 2013) yang kemudian dilanjutkan oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui beberapa revisi atau penyempurnaan. Bahkan menurut (Fernandes, 2019) kurikulum 2013 belum bisa diterapkan secara valid dan reliable sebelum tahun 2019. Karena kurikulum ini baru dilaksanakan secara menyeluruh di Indonesia pada tahun ajaran 2019/2020. Kemudian perubahan kurikulum juga terjadi saat pandemi Covid-19 melanda penjuru dunia. Hingga Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menerapkan Kurikulum 2013 menjadi kurikulum darurat/prototipe, bahkan memaksa dunia pendidikan untuk menerapkan prinsip belajar jarak jauh (learning from home).

Terbaru, pemerintah RI melalui Kemdikbudristek kembali mengeluarkan kurikulum baru yang dinamai Kurikulum Merdeka yang mengelu-elukan konsep merdeka belajar. Yang mana kurikulum ini dilatarbelakangi oleh adanya shock dalam dunia pendidikan akibat pandemi Covid-19. Di mana sekolah diberikan kemerdekaan atau kebebasan dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan keadaan dan kebutuhan lingkungannya serta yang menjadi prioritas (Fitriah & Zahrani, 2022). Dalam Kurikulum Merdeka, pemerintah hanya mengeluarkan standar berupa Capaian Pembelajaran yang tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 033/H/KR/2022.

Model pengembangan kurikulum banyak ragamnya. Model pengembangan kurikulum Taba, Tyler, Olivia, dan UbD (Understanding by Design). Model pengembangan kurikulum UbD bukanlah suatu model atau strategi pembelajaran, akan tetapi lebih kepada desain pembelajaran atau kerangka kerja pembelajaran (UbD framework). Adapun kerangka yang ditawarkan oleh UbD ialah desain mundur atau backward design. Artinya strategi pengembangan pembelajaran dimulai dari penentuan sasaran atau tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran. Selanjutnya untuk mencapai sasaran tersebut dibuatlah suatu alat atau prosedur penilaian biasanya berupa instrumen penilaian. Selanjutnya barulah dibuat strategi atau perancanaan pembelajarannya biasanya berupa instruksi atau instruction (Mctighe & Wiggins, 2012). Dan inilah yang ditawarkan oleh kurikulum merdeka dalam menciptakan suasana pembelajaran yang memerdekakan dan berpihak pada peserta didik. Pendidik dibebaskan dalam menyusun tujuan yang hendak dicapai dari Capaian Pembelajaran yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, dalam artian disesuaikan dengan kebutuhan, lingkungan, dan prioritas. Begitu pun dengan penilaian yang disesuaikan dengan diferensiasi yang ada di dalam kelas. Strategi atau rancangan pembelajaran (instruction) pun demikian.

Dalam rentang tujuh tahun terakhir, tidak banyak ditemui literatur mengenai rancangan pembelajaran berbasis UbD di Indonesia. Kebanyakan adalah pembelajaran saintek seperti kimia, fisika, maupun matematika. Pembelajaran sosial seperti Pendidikan Pancasila tidak banyak ditemui. Pembelajaran Agama Islam seperti mentadabburi Alquran ditemukan menggunakan pembelajaran berbasis UbD dengan backward design nya (Alfiyah, 2018). Yang menemukan bahwa implementasi UbD dalam pembelajaran terlihat dari berkesinambungnya sistem belajar, pendidik, dan seluruh pihak sehingga memberikan hasil yang efektif di mana penggunaan kerangka kerja UbD dalam penyusunan silabus dan kurikulum dan perancangan pembelajaran sangat memudahkan pendidik selaku fasilitator dalam mengarahkan murid dalam mencapai tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Implementasi kerangka kerja UbD dalam pembelajaran di Indonesia memang belum lah banyak, ini dipengaruhi oleh kebanyakan pendidik di Indonesia belum memahami apa itu kerangka kerja UbD. Hal ini tentu menjadi PR bersama seluruh pendidik untuk meningkatkan profesionalismenya dalam mengajar. Meskipun baru, akan tetapi kerangka kerja UbD tidaklah buruk untuk dilakukan oleh guru. Hal ini mengingat hasil yang diingankan oleh UbD ini ialah dominan pada unjuk kerja murid (performance student). Hasil yang hendak dicapai dalam UbD tidaklah langsung pada kemampuan tertinggi. Namun, ia disusun bertahap karena yang paling diharapkan dalam pembelajaran berbasis UbD ialah pemahaman murid. Fokus utama dalam pembelajaran berbasis UbD ialah transfer pemahaman dan pembelajaran yang dihasilkan dari kinerja otentik murid (Mctighe & Wiggins, 2012). Pemahaman ini disusun bertahap mulai dari murid dapat menjelaskan, menafsirkan, menerapkan, memiliki perpektif, berempati, dan terakhir memiliki pengetahuan diri.

Dalam penerapan kerangka kerja UbD dalam setiap pembelajaran guru harus menyusun kerangka rencana pembelajaran sesuai dengan desain mundur. Guru terlebih dahulu menyusun tujuan yang hendak dicapai dalam suatu tema pembelajaran. Misalnya dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila fase E yang ditujukan setara untuk kelas X SLTA dengan capaian pembelajaran berupa “peserta didik mampu menganalisis cara pandang para pendiri negara tentang rumusan Pancasila sebagai dasar negara” (eleman Pancasila). Maka pendidik hendaknya merumuskan tujuan pembelajaran berangkat dari CP tersebut, misalnya: (1) dengan membaca artikel https://katadata.co.id/agung/berita/639b45de38948/memahami-proses-perumusan-pancasila-sebagai-dasar-negara murid dapat membedakan ide pokok pendiri bangsa terkait dasar negara merdeka dengan benar, (2) melalui video pembelajaran https://www.youtube.com/watch?v=di9CiYGSkBs murid dapat menganalisis perbedaan pandangan para pendiri bangsa terkait dasar negara merdeka dengan benar.

Kemudian dari tujuan pembelajaran itu, guru harus membuat suatu cara atau instrumen penilaian sebagai bukti bahwa murid sudah mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini guru harus memperhatikan keberagaman yang ada di dalam kelas, supaya juga tercipta pembelajaran berdiferensiasi ke depannya. Oleh sebab itu, guru dianjurkan untuk menilai kinerja murid dalam pembelajaran, dan melalui proses pembelajaran tersebut guru harus mampu mentransfer pemahaman ke murid. Setelah itu, baru lah guru menyusun rancangan pembelajarannya yang tertuang dalam instruksi-instruksi pembelajaran. Tentu dua aktivitas ini yaitu penentuan bukti dan perancangan pembelajaran haruslah kembali mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Artinya dua aktivitas ini dijiwai oleh aktivitas pertama, dan itulah yang disebut sebagai backwar design (desain mundur) dalam kerangka kerja pengembangan kurikulum Understanding by Design (UbD).

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya