Literasi, Budaya Tutur dan Pembangunan di Nusa Tenggara Timur
Fakta sejarah yang tidak pernah bisa dipungkiri yakni literasi menjadi hal urgen untuk kemajuan peradaban dan pembangunan sebuah bangsa. Bangsa-bangsa yang sudah lebih maju, seperti bangsa Eropa, sudah membuktikan itu. Zaman Aufklärung atau pencerahan, telah menunjukan peran ilmu pengetahuan sungguh sentral dalam proses pembangunan manusia dan peradabannya menjadi lebih maju.
Semua itu tentunya menempatkan peran budaya literasi, membaca dan memproduksi literer menjadi hal yang penting. Jika memang demikian, apakah NTT sanggup maju melalui pembangunan dengan latar budaya yang non literer, karena dominasi budaya tutur?
Majunya dan modernnya peradaban bangsa Eropa, tidak pernah terlepas dari spirit zaman pencerahan dan literasi di abad 18 (Vartija, 2020).
Spirit ini lantas tesedimentasi menjadi budaya mereka. Bahkan sudah sejak berabad-abad sebelumnya, semangat literasi nampak nyata dengan hadirnya perpustakaan sebagai sentral dari setiap universitas tua kenamaan seperti universitas Bologna, Cambrige atau Paris. Ilmu pengetahuan sungguh menjadi tonggak utama kemajuan manusia.
Budaya ini lalu ditularkan ke negara-negara koloni pada era kolonialisme. Para pribumi seperti di Hindia Belanda pun mengalami hal ini. Sejak dilaksanakannya Politik Etis budi tahun 1901-1930, sejak itu sekolah-sekolah dibangun dan anak-anak Indonesia mulai diajarkan membaca dan menulis (Fakhriansyah & Patoni, 2019).
Ini menjadi cikal-bakal lahirnya gerakan kebangkitan bangsa Indonesia yang diinisiasi mahasiswa STOVIA melalui Budi Utomo tahun 1908. Hal itu lalu menjadi awal gerakan pembebasan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Sekali lagi sejarah membuktikan peran literasi dalam perkembangan sebuah bangsa.
Meskipun literasi punya peran yang penting, fakta yang tidak bisa dipungkiri juga, bahwa banyak orang, termasuk di NTT, belum memahami urgensitas literasi dalam proses pembangunana bangsa ataupun daerah. Bukan tanpa alasan, sikap ignoransia ini muncul ketika semangat literasi atau semangat mencintai bacaan, produksi atau pun konsumsinya, belum menjadi budaya yang mendarah daging.
Itu demikian karena, jejak budaya literasi yang bisa ditelusuri melalui aksara-aksara hampir mustahil ditemukan dalam kebudayaan suku-suku di NTT. Kalau pun ada, itu tidak menjadi hal yang dominan. Hal ini sangat mungkin terjadi karena cerita tentang perebutan kekuasaan, perang atau kisah tentang interaksi antara manusia dengan alam atau pun roh leluhur, lebih dominan. Di NTT, budaya literasi kalah tenar.
Sebagaimana cerita sebelumnya, budaya literasi juga menjadi budaya import. Itu berarti, budaya ini seperti sesuatu yang didatangkan dari luar lalu dicangkokan. Orang NTT tidak tumbuh dengan budaya literasi. Kalaupun ada gerak untuk menumbuhkan budaya ini, entah itu dari kalangan masyarakat maupun pemerintah, itu hanya akan diminati oleh orang-orang tertentu atau hanya berupa proyek dengan tujuan akhir syarat administrasi terpenuhi bagi laporan pertanggungjawaban.
Jika memang demikian, sungguh tidak dapat disanksikan kalau literasi kemudian hanya habis di wacana dengan realisasi yang minim. Ia minim peminat sekaligus minim keseriusan bagi pihak-pihak yang harusnya menjadi penggarap utama. Lantas apa yang bisa dilakukan?
Beberahal hal kiranya bisa dilakukan agar literasi sedikitnya punya daya tendang. Pertama, bisa diawali dengan pertanyaan, sudahkah budaya mencintai buku, membaca dan menulis melekat pada keluarga-keluarga NTT? Hal ini mengindikasikan peran keluarga amat sentral dan mengkonstruksi dan menginternalisasikan budaya membaca dan menulis. Cinta akan buku dan bacaan perlu untuk ditanamkan di dalam keluarga.
Ini dapat dimulai dengan membiasakan membaca atau memberikan bacaan pada anak-anak. Di sini, tidak perlu bacaan yang mahal dan berkelas, tetapi bisa dimulai dengan menceritakan kisah para nabi di Kitab Suci. Hal ini tentunya akan membantu membangun imajinasi dan kreativitas pada anak. Ini pun bisa dijadikan cara untuk menangkal bahaya munculnya sikap pasif yang timbul pada anak-anak akibat pengaruh televisi ataupun handphone yang berpeluang besar mengkonstruksi imajinasi dan pola pikir anak.
Kedua, sekolah-sekolah, entah di level sekolah dasar sampai perguruan tinggi, terutama milik pemerintah perlu berpikir serius untuk memberikan perhatian dan dana yang memadai untuk bangun perpustakaan yang baik. Perpustakaan yang baik ialah perpustakaan yang ada bukan hanya untuk gagah-gagahan dengan buku-buku yang rapi karena tidak tesentuh sehingga hanya menjadi hiasan institusi yang sepi pengunjung.
Perpustakaan yang baik bukan juga perpustakaan yang eksistensinya sekedar memenuhi syarat akreditasi. Perpustakaan yang baik ialah perpustakaan yang benar-benar menghayati spirit “Buku Sebagai Jendela Dunia.“ Itu berarti, semua fasilitas di dalamnya, mulai dari buku sampai suasana bisa membawa orang pada pengetahuan yang mumpuni tentang dunia di sekitarnya.
Ketiga, pemerintah di setiap kota, baiknya menciptakan kebijakan untuk membangun atau mengefektifkan perpustakaan kota. Hal ini berarti menempatkan perpustakaan menjadi salah satu pusat dari kegiatan warga kota. Dengan begitu pengadaan perpustakaan kota itu tidak direduksi pada sekedar urusan proyek yang bermuara pada bukti administrasi untuk pelaporan. Selain itu, Urusan perpustakaan pun tidak boleh jadi komoditas politik, siapa yang beruntung atau siapa yang namanya di-blow up karena sanggup mendirikan perpustakaan kota.
Keberadaan perpustakaan itu harus berpijak pada kepentingan membangun sumberdaya manusia yang baik melalui pengetahun yang cukup dari bacaan-bacaan yang ada, selain menjadikan buku sebagai jendela dunia sebagaimana yang sudah diuraikan tadi.
Itu berarti perpustakaan yang ada mesti bisa jadi tempat yang aman dan nyaman untuk membaca ataupun berdiskusi tentang wacana urgen berkaitan dengan konteks NTT. Di samping itu, pemerintah juga bisa membuka wirausaha, sehingga itu dapat juga memberikan pemasukan bagi warga. Dari situ pun, pemerintah dapat menambah pemasukan daerah.
Jalan pembangunan itu panjang dan tidak ada yang instan. Jalan literasi untuk membangun pun panjang. Eropa butuh berabad sejak masa Aufklärung atau pencerahan untuk maju. Bangsa Indonesia butuh beradab sejak Budi Utomo sampai pada proklamasi di di tahun 1945. NTT pun tentu butuh waktu untuk pembangunan dan maju melalui literasi.
Beberapa hal tadi kiranya bisa sedikit memberikan bantuan bagaimana menjadikan literasi sebagai suar yang menerangi jalan pembangunan. Itu demikian, karena dengan membaca atau pun menulis akan membantu mengasah rasionalitas, berpikir logis. Ini secara tidak langsung membentuk sumberdaya manusia yang bermutu. Di situ manusia lebih tenang karena memiliki stok pengetahuan pun kebijaksanaan yang cukup bahkan mendalam untuk kemudian bertindak. Kondisi seperti itu sangat penting untuk menekan sisi negatif efek budaya tutur yang membuat orang tahu omong saja, tidak produktif dan tidak bisa membangun.
Sang filsuf Cicero, pernah bilang, the room without book is like the body with out soul, maka marilah kita mengisi ruang pembangunan dengan menjadikan literasi sebagai salah satu jiwanya. Dengan begitu kita optimis, bahwa litarasi bisa menjadi cahaya kebangkitan dan cahaya bagi pembangun NTT ke arah yang lebih baik.
Artikel Lainnya
-
113431/08/2020
-
9410/08/2024
-
117317/01/2021
-
Sapa Penulis #3 Supriyadi: Intermediate Writer Bidang Kependudukan dan Kespro
348715/03/2020 -
New Normal dan Kita Yang Belum Siap
86731/05/2020 -
198825/09/2020