Pendidikan atau Pelaminan?

(Maha)siswa
Pendidikan atau Pelaminan? 11/02/2021 1603 view Lainnya pikiran-rakyat.com

Pendidikan atau pelaminan? Ya, dua hal ini merupakan pertanyaan yang selalu menjadi bagian penting dalam kehidupan setiap manusia.

Pendidikan yang tinggi dan pasangan yang tepat, tentu saja merupakan harapan ideal manusia, karena membawa nilai-nilai kebahagiaan. Oleh karena itu, pendidikan dan pelaminan adalah dua harapan yang saling melengkapi dan tidak terpisahkan. Akan tetapi, pada kesempatan kali ini, penulis mencoba untuk membahas sebuah peristiwa viral yang terjadi di media sosial baru-baru ini, dimana sebuah lembaga bernama “Aisyah Weddings” menawarkan jasa pernikahan salah satunya bagi anak usia dini.

Terlepas dari fenomena ini hoax atau nyata, lantas ini menjadi permasalahan yang mengandung nilai menarik untuk diuraikan lebih lanjut tentang apa yang terjadi jika pendidikan dan pelaminan sama-sama disematkan sebuah nilai didalamnya, sehingga memunculkan sebuah pertanyaan demikian, “Manakah yang lebih penting, pendidikan atau pelaminan?”. Tentu saja setiap orang akan mempunyai jawaban yang berbeda-beda, meskipun memiliki harapan yang sama untuk memperoleh keduanya.

Fenomena Aisyah Weddings

Siapakah yang tidak ingin menikah? Tentu saja setiap orang di dunia ini akan memberikan jawaban “Ya” atas pertanyaan tersebut. Bahkan sebagian besar orang mungkin sepakat bahwa pertanyaan tersebut bersifat retoris (tidak membutuhkan suatu jawaban).

Baru-baru ini terjadi sebuah fenomena yang cukup viral berkaitan dengan pernikahan ini, yakni “Aisha Weddings”. Hal ini dikarenakan penyedia jasa tersebut memberikan pelayanan bagi pernikahan anak usia dini. Dalam menanggapi hal ini, Bintang Puspayoga selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengaku cukup kecewa dan tidak segan-segan memberikan sebuah kecaman kepada lembaga tersebut, karena telah memberikan penawaran jasa pernikahan anak usia dini dalam pengelolaan bisnisnya (Suara.com, 10 Februari 2021).

Permasalahan ini tentunya bertentangan dengan hukum yang ada di Indonesia sendiri. Hal tersebut telah melanggar Undang-Undang 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa syarat usia menikah minimal 19 tahun. Padahalnya, diketahui bahwa undang-undang ini baru saja mengalami perevisian atas UU No. 1 Tahun 1974, di mana pada saat itu usia minimal perkawinan perempuan 16 tahun kemudian ditambah menjadi 19 tahun dalam UU No. 16 Tahun 2019. Berdasarkan pelanggaran ini, diketahui informasi lebih lanjut bahwa, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah melaporkan penyedia jasa pernikahan ini ke Mabes Polri. (CNN Indonesia, 10 Februari 2021).

Lantas apakah ini merupakan salah satu bentuk keapatisan rakyat terhadap hukum? Sepertinya ini bisa jadi lebih dari sekedar keapatisan hukum, tetapi juga berkaitan dengan permasalahan moral. Hal ini tentunya berpotensi menghilangkan kesadaran manusia untuk memberikan prioritas perhatiannya pada hak-hak asasi manusia dibanding hanya sebuah keuntungan semata.

Promosi Tanpa Arti

Dalam dunia perekonomian khususnya sebuah usaha, istilah promosi memang menjadi salah satu teknik umum dan yang wajib dilakukan oleh produsen kepada konsumen.

Tujuan dari promosi selain untuk memperoleh keuntungan, juga membentuk citra produk ideal untuk konsumen. Berkaitan dengan fenomena “Promosi” yang dilakukan oleh “Aisya Weddings”, menurut perspektif ekonomi, tentu saja hal tersebut adalah wajib untuk dilakukan, tetapi jika dilihat dari sisi moral dan hukum tentu saja hal tersebut bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Apakah dengan demikian promosi yang dilakukan oleh “Aisya Weddings” itu memiliki arti? Menurut penulis, promosi yang dilakukan tersebut sama sekali tidak berarti, karena telah memberikan citra produk yang tidak ideal bagi konsumen. Hal tersebut tentu saja melanggar tujuan dari promosi itu sendiri.

Hendaknya setiap promosi yang dilakukan dalam dunia perusahaan harus mempertimbangkan citra produk yang ideal bagi konsumen, karena selama ini kehidupan perekonomian selalu identik dengan pencarian keuntungan individu semata sehingga hanya mengarahkan manusia pada siklus egosentrisme tak berakhir, sehingga apapun yang dilakukan sebuah perusahaan selagi itu menguntungkan produsen dan memberi kenikmatan, pasti akan dilakukan dan dicapai sekalipun bertentangan dengan nilai-nilai ekonomi yang sesungguhnya.

Kenikmatan Penghalang Masa Depan

Setiap manusia tentu mengejar apa yang disebut sebagai kenikmatan selama ia berziarah di dunia ini, tetapi obyek kenikmatan apakah yang dituju oleh manusia. Ini yang kerap kali menjadi persoalan. Dalam hal ini, penulis memberikan dua kenikmatan yang muncul dalam diri manusia yakni kenikmatan duniawi dan surgawi. Apa yang dimaksud kenikmatan duniawi? Itu adalah segala sesuatu yang dinikmati oleh manusia selama ia hidup di dunia atau kenikmatan yang dikuasai nafsu materi (Badan). Sedangkan kenikmatan surgawi adalah penahanan atas hawa nafsu duniawi (Jiwa).

Seperti yang dikatakan oleh Filsuf Yunani Kuno, yakni Platon bahwa “Badan adalah Penjara Jiwa”, di mana badan selalu menjadi penghalang bagi jiwa. Oleh karena itu, untuk melepaskan diri dari badan, jiwa harus melalui proses pemurnian melalui asketisme (mati raga), yakni menolak kenikmatan badan untuk memperoleh kebebasan dan kenikmatan sejati.

Kiranya pemahaman Plato ini bisa menjadi solusi atas persoalan ketika manusia dihadapkan pada kenikmatan duniawi salah satunya adalah pernikahan.

Berkaitan dengan pernikahan, hal itu bukanlah sesuatu yang salah, akan tetapi pertimbangan untuk mencapai proses tersebut tetaplah berpatokan pada syarat yang berlaku. Karena berkaitan dengan pernikahan anak usia dini, maka sudah seharusnya umur juga menentukan status yang tepat dan lebih baik menahan diri karena ada sesuatu yang lebih penting untuk dicapai terlebih dahulu. Jika masih anak-anak hendaknya prioritas hidup terarah pada pendidikan. Hal ini dilakukan sebagai salah satu bentuk antisipasi menyelamatkan masa depan anak. Kenikmatan tidak boleh menjadi batu sandungan bagi masa depan anak-anak saat ini.

Pendidikan=Masa Depan

Manakah yang lebih penting pendidikan atau pernikahan? Tentu saja, jawaban yang paling tepat ialah pendidikan. Mengapa? Karena pendidikan adalah sarana yang membantu setiap orang untuk berpikir jernih, luas, kritis dan bertindak dengan penuh ketrampilan dan tanggung jawab atas hidupnya.

Bagaimana dengan pernikahan? Itu juga merupakan hal yang penting, tapi itu bukanlah harapan yang harus dijadikan sebagai tujuan utama. Arti pernikahan sejati itu sendiri hanya dapat diperoleh melalui pendidikan, sebagaimana yang dikatakan oleh seorang psikolog bernama Joyce Brothers “Perkawinan bukan sekadar meleburnya dua hati dan pelukan menggairahkan; perkawinan adalah makan tiga kali sehari dan tidak lupa membuang sampah di tempatnya.”

Dari ungkapan tersebut, bisa dipahami bahwa perkawinan tidak hanya soal persatuan cinta dan perasaan, tetapi juga berkaitan dengan proses keberlangsungan hidup di masa yang akan datang seperti yang dikatakan Joyce Brothers sebagai “makan tiga kali sehari dan tidak membuang sampah pada tempatnya”.

Dari ungkapan itu, timbul pertanyaan di mana manusia dapat memiliki ketrampilan tersebut? Satu-satunya adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu, berkaitan dengan fenomena tawaran pernikahan anak usia dini, maka pendidikan merupakan hal utama yang harus dimiliki oleh mereka. Umur mereka belumlah pantas untuk memperoleh status pernikahan, selain secara biologis mereka belum siap, secara psikologis akan menghancurkan mental mereka.

Pola pikir mengenai pendidikan lebih penting dari pernikahan kiranya tidak hanya berguna bagi anak usia dini, tetapi juga seluruh lapisan umur manusia. Karena ini berkaitan dengan masa depan yang ingin dijaga, maka kehidupan yang ideal hanya akan tercipta selagi ia memprioritaskan pendidikan baru kemudian ia akan memilih jalan hidup yang lain, salah satunya adalah menikah, sebab menikah itu butuh makan, makan itu perlu kerja, kerja itu perlu pemahaman, pemahaman itu hanya akan diterima melalui pendidikan. Maka, sekarang maukah kita semua menjaga masa depan?

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya