Menyoal Wacana Kebijakan Pemberian Bansos Korban Judi Online

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik & HAM, Aktivis Amnesty International Indonesia
Menyoal Wacana Kebijakan Pemberian Bansos Korban Judi Online 16/06/2024 1222 view Ekonomi Detikfinance.com

Baru-baru ini, ada wacana dari pemerintah untuk memberikan bantuan sosial (bansos) kepada korban judi online menimbulkan kehebohan di masyarakat. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy dalam kebijakan terbarunya, memutuskan bahwa mereka yang terjebak dalam jerat judi online layak menerima bansos. Kebijakan ini walaupun sebatas wacana patut dipertanyakan: apakah benar tindakan ini adalah langkah yang bijak? Apakah memberikan bantuan kepada mereka yang menjadi korban akibat pilihan mereka sendiri adalah solusi terbaik?

Pertama-tama, mari kita telaah dampak dari judi online. Judi online, seperti bentuk perjudian lainnya, bisa menghancurkan kehidupan individu dan keluarga. Masalah finansial, tekanan psikologis, dan kehancuran relasi sosial adalah sebagian dari akibat yang ditimbulkan. Tentu, ada simpati terhadap korban yang jatuh dalam perangkap ini, tetapi memberi bansos sebagai solusi adalah langkah yang keliru. Dalam bukunya "The Economics of Gambling," David Forrest dan Robert Simmons menyatakan, “The social costs of gambling include increased crime, personal bankruptcy, and family breakdowns” (Biaya sosial dari perjudian meliputi peningkatan kejahatan, kebangkrutan pribadi, dan keretakan keluarga).

Kebijakan memberikan bansos kepada korban judi online seolah-olah memberi lampu hijau bagi tindakan tidak bertanggung jawab. Ini adalah sebuah preseden yang berbahaya. Pemerintah seharusnya mengambil langkah tegas dalam menanggulangi akar masalah, bukan memberikan kompensasi yang bisa dianggap sebagai bentuk toleransi. Tindakan ini justru bisa menurunkan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya judi online, karena ada kesan bahwa jika mereka jatuh miskin karena berjudi, pemerintah akan menyelamatkan mereka.

Yang kedua, langkah ini mencerminkan kebijakan yang inkonsisten. Di satu sisi, pemerintah berusaha memberantas judi online dengan segala cara, seperti melakukan razia dan penangkapan, namun di sisi lain mereka memberikan bansos kepada korbannya. Ini menimbulkan pertanyaan tentang prioritas dan arah kebijakan pemerintah yang sebenarnya. Jika pemerintah benar-benar ingin memberantas judi online, seharusnya fokusnya adalah pada pencegahan dan edukasi, bukan pada kompensasi.

Tentu, ada argumen bahwa bansos diberikan sebagai bentuk kepedulian terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terpuruk. Namun, kepedulian ini harus diwujudkan dalam bentuk yang lebih produktif dan edukatif. Misalnya, menyediakan program rehabilitasi dan pelatihan kerja bagi mereka yang terdampak. Ini akan memberikan mereka kesempatan untuk memperbaiki diri dan kembali ke jalan yang benar tanpa menggantungkan diri pada bantuan yang sifatnya sementara.

Selain itu, kebijakan ini bisa menimbulkan rasa ketidakadilan di kalangan masyarakat. Bayangkan seorang petani atau buruh yang bekerja keras setiap hari, tetapi harus bersaing untuk mendapatkan bansos dengan mereka yang terjerumus dalam judi online. Bagaimana perasaan mereka melihat pemerintah memberikan bantuan kepada mereka yang kalah berjudi sementara mereka sendiri berjuang untuk bertahan hidup? Ini bisa memicu ketidakpuasan dan protes di kalangan masyarakat yang merasa bahwa jerih payah mereka tidak dihargai.

Albert Einstein pernah berkata, “Insanity is doing the same thing over and over again and expecting different results” (Kegilaan adalah melakukan hal yang sama berulang kali dan mengharapkan hasil yang berbeda). Kebijakan memberikan bansos kepada korban judi online tidak akan menyelesaikan masalah perjudian. Ini hanya akan membuat masalah semakin rumit. Sebaliknya, pemerintah harus mencari cara untuk memutus rantai ketergantungan pada judi dengan cara yang lebih efektif.

Pemerintah seharusnya fokus pada edukasi dan pencegahan sebagai langkah awal. Misalnya, memperketat regulasi dan pengawasan terhadap situs judi online serta meningkatkan kampanye kesadaran akan bahaya judi. Selain itu, mendirikan pusat-pusat rehabilitasi dan memberikan pelatihan keterampilan bagi para korban judi bisa menjadi solusi jangka panjang yang lebih bermanfaat.

Dalam hal ini, kerjasama dengan berbagai pihak termasuk LSM, komunitas, dan institusi pendidikan sangat penting. Melibatkan mereka dalam upaya edukasi dan pencegahan akan memberikan hasil yang lebih signifikan dibandingkan hanya memberikan bantuan sosial. Dengan demikian, masyarakat bisa lebih memahami dampak negatif dari judi online dan menghindari terjerat dalam lingkaran setan tersebut.

Kebijakan bansos bagi korban judi online menunjukkan bahwa ada ketidakseriusan dalam menangani akar masalah perjudian. Ini adalah kebijakan yang reaktif, bukan preventif. Alih-alih memberikan solusi jangka panjang, kebijakan ini hanya menawarkan solusi sementara yang tidak menyentuh inti permasalahan.

Diperlukan keberanian dan kebijakan yang bijaksana dari pemerintah untuk menghadapi masalah ini. Edukasi, pencegahan, dan rehabilitasi adalah kunci utama. Dengan demikian, kita bisa membangun masyarakat yang lebih kuat dan tahan terhadap godaan judi online.

Pemerintah harus segera mengevaluasi kebijakan ini dan mengambil langkah-langkah yang lebih tepat. Hanya dengan cara ini, kita bisa memastikan bahwa bantuan yang diberikan benar-benar tepat sasaran dan membawa perubahan yang positif bagi masyarakat. Sebagai warga negara, kita juga harus kritis dan terus mengawal kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, agar tetap berpihak pada kepentingan bersama dan bukan hanya sekadar solusi instan yang merugikan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya