Urgensi Moralitas Kepemimpinan di Tengah Pandemi Covid-19
Di tengah bencana global pandemi covid-19, moralitas kepemimpinan menjadi urgen untuk ditelisik lebih jauh. Mengutip tokoh filsafat barat yaitu Niccolo Machiavelli, ia menjelaskan bahwa kriteria seorang pemimpin yang mampu memimpin harus bisa memposisikan dirinya dalam bertindak. Artinya bahwa seorang pemimpin yang ideal menurut Machiavelli ialah seorang pemimpin yang mampu melihat situasi kapan ia harus menjadi orang baik dan kapan ia harus menjadi serigala.
Presiden Jokowi pada pembukaan sidang kabinet Paripurna di Istana Merdeka, 18 Juni 2020, melontarkan pernyataan keras serta menyoroti kinerja para menterinya. Presiden menyebut kerja menteri biasa-biasa saja, bukan kerja ekstra di tengah krisis kesehatan, ekonomi akibat pandemi covid-19. Para menteri, kata Presiden tidak mempunyai sense of crisis. Presiden melihat absennya senses of crisis itu dari minimnya penyerapan anggaran Rp. 75 triliun yang sudah disiapkan oleh pemerintah untuk menangani pandemi covid-19 dan dampak ekonominya. “Uang beredar di masyarakat berhenti ke situ semua,” kata Presiden (Usman, MI, 01/06/2020).
Melihat absennya sense of crisis, Presiden Jokowi memerintahkan menteri terkait menggelontorkan dana untuk bidang kesehatan, usaha makro kecil dan menengah serta bantuan sosial. Untuk itu, Presiden bersedia menempuh langkah extraordinary demi rakyat. “Kalau mau minta perppu lagi, saya buatkan perppu. Asal untuk rakyat, asal untuk negara, saya pertaruhkan reputasi politik saya. Karena langkah-langkah extraordinary ini betul-betul harus kita lakukan. Saya membuka yang namanya entah langkah politik, entah langkah-langkah kepemerintahan, akan saya buka. Langkah apapun yang extraordinary akan saya lakukan untuk 267 juta rakyat kita,” kata Presiden (Ibid.) Melihat hal ini, dapat disimpulkan bahwa Jokowi sebagai sosok pemimpin yang serius dalam merespons merebaknya pandemi covid-19. Spirit atau semangat kepemimpinannya dijiwai oleh moralitas sehingga ia tidak mampu membiarkan rakyatnya menderita.
Berdasarkan uraian di atas, pada hemat saya Presiden Jokowi merupakan salah satu pemimpin yang mampu memposisikan dirinya dengan situasi yang terjadi. Presiden Jokowi bagaikan “singa” yang mampu mengaung lantaran menakuti "seriga-serigalanya" yang tidak memiliki sense of crisis mengurus rakyat. Sebagai “singa” yang mengaung, Jokowi memberikan signal supaya para "serigalanya" tidak menganggap remeh, melainkan mendengar suara profetisnya dan segera mengurus rakyat yang menderita di tengah situasi pandemi covid-19. Atasan bagaikan “singa” yang mengaung untuk kesejahteraan banyak orang itu wajar. Yang tidak wajar bila atasan bertindak seperti "singa" yang menerkam dan membinasakan "serigala-serigalanya".
Urgensi Moralitas Kepemimpinan
Berbicara mengenai kepemimpinan tak dapat dipisahkan dari moralitas. Moralitas adalah modal dasar kepemimpinan. Moralitas kepemimpinan mesti melekat dalam diri seorang pemimpin dan menjadi bagian dari pola laku, sikap, tutur kata, dalam keselurahan hidupnya (Lilijawa, 2010: 234). Moralitas kepemimpinan terlihat jelas ketika Presiden Jokowi mengambil tindakan yang tegas dengan memberikan ancaman perombakan (reshuffle) kabinet kepada menteri yang berkinerja tidak maksimal. Presiden tidak puas dengan sikap lamban dari kinerja pembantunya. Presiden Jokowi sangat eksplisit mengatakan dirinya tidak happy, dirinya kesal terutama terhadap beberapa pos kementerian yang berhubungan langsung dengan penanganan covid-19 misalnya, di bidang kesehatan, ekonomi, UMKM dan kementrian sosial yang dianggap lemah.
Presiden Jokowi dinilai sebagai seorang pemimpin yang memiliki moralitas. Moralitas kepemimpinan Jokowi tersebut termaktub lewat sikapnya dalam menyikapi ketidakseriusan bawahannya dalam menangani covid-19. Presiden Jokowi memiliki integritas dan moralitas. Sebagai pemimpin bangsa, tumbuhnya moralitas dalam dirinya merupakan suatu bentuk atau sikap dalam memimpin rakyatnya berjalan menuju kesejahteraan. Sutasoma mengatakan bahwa pemimpin yang memiliki moralitas cenderung ditandai kemunculannya dari tengah rakyat, yang biasa berjuang bersama rakyat sehingga dia mengenal betul keadaan rakyat. Dia mengetahui masalah-masalah rakyat sehingga dengan itu ia merasa terpanggil untuk menyelesaikan masalah-masalah rakyatnya.
Presiden jokowi memiliki moralitas kepemimpinan sehingga ia memiliki tanggung jawab bersama rakyat dalam menangani penyebaran covid-19. Moralitas kepemimpinan itu tumbuh sehingga Jokowi mendengar jeritan rakyat di tengah situasi pandemi covid-19. Kemarahan yang ia lontarkan kepada bawahannya mencerminkan sifat kemanusiawian dan integritas moral yang tinggi darinya terhadap rakyatnya.
Upaya Untuk Bangkit
Walaupun terbilang marah, Presiden Jokowi bukan pemarah. Kemarahannya merupakan bukti keprihatinannya terhadap para menterinya yang belum serius menangani pandemi covid-19. Kemarahan Jokowi terhadap para menterinya memunculkan citra positif pemerintah di masyarakat. Citra diri yang positif terlihat dalam dimensi perilakunya yang ditunjukkan kepada para menterinya. Citra diri yang positif terlihat jelas ketika Jokowi melakukan hal yang dinilai positif yakni memarahi serta mengancam para menterinya yang belum serius bekerja secara optimal.
Perlu ditelisik bahwa kemarahannya itu bukanlah hal yang dibuat-buat, atau merupakan pencitraan semata, demi kepentingan sesaat. Presiden memberikan ancaman bagi para menterinya yang berkinerja buruk. Teguran keras yang diberikan Presiden hendaknya dimaknai secara rasional oleh para menterinya. Para menterinya seharusnya bekerja seoptimal mungkin dalam menangani lajunya penyebaran covid-19. Presiden memberikan acaman reshuffle supaya para menterinya menjalankan tugas sebaik mungkin dan semaksimal mungkin. Ketegasan, wibawa, dan citra diri yang positif adalah sosok pemimpin. Presiden Jokowi mengembangkan semangatnya dalam menangani pandemi covid-19.
Berdasarkan uraian di atas, pada hemat saya Jokowi merupakan seorang pemimpin yang dijiwai spirit atau semangat moralitas yang tinggi. Pertama, Jokowi mencerminkan spirit kepemimpinannya sebagai pelayan. Lilijawa dalam bukunya “Perempuan Media dan Politik” menjelaskan bahwa seorang pelayan adalah dia yang mengosongkan diri, rendah hati, suka membantu dan memperhatikan kebutuhan sesama. Amarah serta ancaman yang telah dilontarkan kepada para kabinetnya sebagai bukti bahwa ia tidak menginginkan rakyatnya menderita di tengah situasi pandemi covid-19.
Kedua, kedangkalan pengetahuan dan respons yang lamban. Dalam hal ini ditujukan kepada para menteri kabinet Jokowi yang belum memiliki sense of crisis secara serius dalam menangani situasi pandemi covid-19. Para menteri belum merespons dan memperhatikan upaya secara maksimal dalam menangani pandemi covid-19.
Ketiga, catatan untuk kebijakan Presiden. Presiden memberikan teguran keras serta mengancam akan merombak kabinet para menterinya karena dinilai lamban dalam menangani covid-19.
Pada hemat saya, sebaiknya di situasi pandemik ini bukanlah waktu yang tepat untuk melakukan perombakan kabinet (reshuffle). Jokowi sebaiknya fokus dalam menangani Pandemi Covid-19 yang mengancam kehidupan manusia.
Akhirnya hemat penulis, di tengah situasi pandemi yang mengancam kehidupan urgensi moralitas kepemimpinan sangat diperlukan. Moralitas kepemimpinan itu terealisasi secara nyata lewat tindakan Jokowi lewat kemarahan serta ancamannya terhadap para menterinya. Memang sebagai pemimpin hendaknya bertindaklah seperti “rubah” untuk mengenal perangkap, seperti “singa” untuk menakuti “serigala”, penguasa yang ingin menjadi singa tak mungkin memahami hal ini.
Artikel Lainnya
-
198419/04/2020
-
185216/03/2022
-
38001/07/2023
-
Simpang Jalan Kuliah Jurnalistik: Antara Idealisme dan Realitas
22326/03/2025 -
35223/10/2024
-
Hilangnya Permainan Tradisional Kami
89221/01/2024
