Simpang Jalan Kuliah Jurnalistik: Antara Idealisme dan Realitas

Dosen BINUS University
Simpang Jalan Kuliah Jurnalistik: Antara Idealisme dan Realitas 26/03/2025 285 view Pendidikan Pixabay.com

Media sosial kini menjelma ujung tombak penyiaran berita. Fitur “siaran langsung” yang hadir di hampir semua media sosial mempermudah setiap orang untuk menggunakannya menyiarkan informasi secara langsung. Sebuah peristiwa yang sedang terjadi di sebuah tempat, di ruang media sosial ia bisa langsung disaksikan benyak orang dari berbagai tempat. Rasanya tak ada lagi jarak antara peristiwa di suatu tempat dengan penonton yang ada di lain tempat.

Kecepatan menyebarkan informasi tersebut jadi stimulus bagi setiap orang untuk cepat membagikan berita atau informasi apa saja yang ia temui di jalan. Begitu dapat informasi yang menurutnya perlu ia bagikan, maka tinggal tekan fitur LIVE.

Di satu sisi, fitur siarang langsung sangat diperlukan. Ia membantu penyebaran informasi yang sifatnya urgen untuk segera diketahui khalayak. Informasi cepat tentang jalan longsor di sebuah tempat, tentu sangat urgen untuk diketahui oleh orang yang mungkin akan melintas di sana. Atau, berita tentang banjir bisa membantu orang lain mempersiapkan diri, semisal menyelamatkan barang-barang berharga.

Di sisi lain, stimulus serba cepat itu juga meninggalkan sejumlah catatan tak menyenangkan. Karena ingin cepat berbagi informasi, orang tidak mampu lagi membedakan secara jernih apa yang perlu dan mana yang tidak perlu disiarkan secara langsung. Orang tidak mampu mengambil jarak dari sebuah peristiwa untuk berpikir.

Yang urgen untuk diperhatikan, konfirmasi dan cek ulang atas kebenaran sebuah peristiwa terlewatkan. Imbasnya, orang yang menerima informasi pun hanya memperoleh sebagian berdasarkan apa yang tertangkap kamera, tanpa ada uraian lanjut hal-hal yang tak terjangkau kamera. Juga, alasan-alasan di balik sebuh peristiwa jadi luput dari perhatian. Jadilah informasi yang dibagikan cenderung bias, tidak utuh, dan berpotensi salah persepsi. Inilah potret kondisi kita saat ini.

Maka, kalau kondisi hari ini semua bisa memproduksi berita atau informasi, di mana peran seorang jurnalis? Apakah proses menjadi jurnalis andal melalui kuliah jurnalistik masih relevan? Masih perlukah seseorang memimpikan jurnalis sebagai profesinya nanti?

Nostalgia Jurnalis

Dulu, ketika penyebaran informasi masih ditangani seorang jurnalis, sekurang-kurangnya bias informasi masih bisa dikotrol. Tidak semua memang, tapi paling kurang ada konfirmasi dan proses cek and riceck. Sehingga informasi yang tersiar ke publik lebih jernih dan matang. Toh kisah-kisah dari masa lampau banyak mencatat kebenaran asumsi ini.

Kalau membaca kisah para jurnalis dulu, kita akan dihadapkan pada cerita-cerita heroik. Jantung kita dibuat berdenyut kencang oleh cerita para jurnalis yang berjibaku di bawah terik matahari dan kuyup di bawah hujan demi menggali fakta atas sebuah peristiwa. Narasi tentang hak-hak kaum tertindas lantang menguar dari tiap baris kalimat yang ditulis. Kata-kata penuh aroma juang berderap lantang dari halaman-halaman surat kabar.

Di tongkrongan warung kopi, di bawah lampu-lampu remang cermin lelahnya kota, nostalgia tentang jibaku jurnalis yang hampir tiba di ujung penggalian informasi, makin pelan diutarakan. Laporan-laporan jurnalistik dari para pekerja kuli tinta tersebut selalu dinanti. Akankah sebuah fakta baru mencuat di ujung setiap kaliamt? Mampukan kisah-kisah di balik tembok kekuasaan dapat terbaca terang oleh masyarakat umum?

Ada banyak kisah menarik yang mengiringi profesi sebagai seorang jurnalis. Ada rasa bangga atas profesi tersebut. Ada “status sosial” tersendiri bagi kalangan penulis dan penyiar berita. Namun, apakah semua ini hanya nostalgia. Apakah profesi ini akan segera hilang seiring perkembangan media komunikasi? Inilah simpang jalan profesi seorang jurnalis.

Kondisi sekarang

Saya lihat meredupnya masa depan profesi jurnalistik kini sedang menjangkiti dunia kampus. Di kampus-kampus yang punya Prodi Ilmu Komunikasi dengan konsentrasi Jurnalistik, peminatnya makin anjlok. Generasi sekarang tidak lagi melihat jurnalis sebagai profesi layak dipilih. Salah satu penyebabnya, hemat saya, adalah fakta bahwa informasi bisa diperoleh melalui media sosial, dengan pelakunya adalah semua orang. Tidak lagi dibutuhkan sebuah profesi khusus untuk memproduksi berita. Semua orang bisa bertindak sebagai jurnalis. Semua orang mampu menjalankan tugas sebagai jurnalis.

Gambaran heroic seorang jurnalis dalam mencari, merakit, dan mempublikaskan berita rasanya bukan hal yang perlu dibanggakan lagi. Usaha dan kerja keras dalam membuktikan kebenaran sebuah peristiwa menjadi tak penting. Pengungkapan fakta tentang sebuah isu jadi hal yang cenderung diabaikan begitu. Yang diglorifikasi adalah kecepatan penyampaian informasi.

Dugaan saya, inilah faktor yang bikin banyak mahasiswa tidak lagi menaruh minat pada jurnalistik. Profesi jurnalis semakin senja. Kalau pun masih ada, atau akan ada, ia bukanlah hal yang penting. Itu karena tugas jurnalis sudah diambil alih oleh masyarakat luas. Semua orang bisa menyebarkan informasi atau berita.

Memang, persepsi seperti ini tidak sepenuhnya salah. Karena secara kasat mata memang begitu adanya. Namun, yang luput dari perhatian adalah kebenaran informasi yang disiarkan, kecakapan seseorang untuk memilah informasi yang hendak dibagikan, dan kemampuan analisa terhadap faktor-faktor di balik sebuah peristiwa, luput dair pertimbangan.

Kemampuan ini tidak bisa diandaikan bahwa khalayaklah mampu melakukannya. Faktanya khalayak kita hari ini punya kemampuan menyerap informasi yang berbeda-beda. Tidak semua orang punya daya kritis dan analisis yang tajam terhadaps setiap informasi yang seliweran di media sosial. Menurut saya, khalayak mesti diberi informasi yang sudah dimasak terlebih dahulu agar matang dan layak untuk dikonsumsi.

Maka, keterampilan meramu dan memasak dari seorang jurnalis tetap dibutuhkan. Dan usaha menyiapkan par koki informasi melalui pendidikan jurnalistik sejak kuliah tetap menjadi urgen. Kuliah jurnalistik adalah pintu masuk bagi seorang calon jurnalis untuk melatih nalar kritisnya dalam melihat peristiwa.

Untuk tujuan baik ini, saya harap generasi sekarang tidak hanya berfoya menikmati informasi dan peristiwa yang tersaji begitu saja. Tapi bertanya tentang cara yang pas dan tepat untuk bisa berkontribusi menciptakan kondisi sosial yang makin solid dan teguh di hadapan semua kemajuan teknologi komunikasi saat ini.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya