Kibul-Kibul Multifungsi
Beberapa waktu yang lalu, publik Indonesia dihebohkan dengan pernyataan salah seorang Youtuber bernama Indah G. Youtuber tersebut menyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang miskin. Tentunya reaksi ini menjadi mengherankan bagi kita para pengguna bahasa yang cukup memberikan perhatian besar kepadanya entah itu dengan menulis di media masa, berpidato di atas mimbar, maupun menggubah karya sastra walaupun tentu masih ada kekurangannya. Pernyataan tersebut merupakan suatu fakta apalagi jika kita mencoba untuk membandingkan bahasa Indonesia dengan bahasa lain. Jelas kosa kata bahasa Indonesia -setidaknya kosa kata yang terkodifikasi dalam KBBI- kalah jauh dengan bahasa Inggris. Ibarat bumi dan langit.
Akan tetapi, dibalik kericuhan di media maya itu ada sebuah fenomena yang menarik yaitu kembali tertariknya publik kita terhadap perbincangan tentang bahasa. Sontak muncul berbagai pendapat yang entah benar atau tidak. Mulai dari menuduh Indah G tidak nasionalis, memaparkan data mentah tentang sejarah Bahasa Indonesia, sampai hanya sekadar menghujat pribadinya. Ini menjadi pertanda api publik kita terhadap pembahasan bahasa Indonesia membara lagi.
Akan tetapi api itu ternyata tidak bertahan lama. Baru-baru ini wacana untuk mengembalikan dwifungsi ABRI muncul kembali. DPR tampak tidak tidur hanya untuk meng-goal-kan wacana ini. Kemenpolhukam juga melontarkan klarifikasi bahwa rencana ini bukan untuk mengembalikan dwifungsi ABRI akan tetapi memang sudah waktunya ABRI untuk "multifungsi". Kata "multifungsi" ini tentunya problematis dan memang layak untuk diproblematisir. Mendengar ini publik kita tampak aman-aman saja. Padahal, ada isu bahasa di sana. Ada ideologi yang coba untuk disembunyikan lewat manipulasi bahasa. Sayangnya, kali ini tidak tampak gejala gejolak api pembahasan bahasa seperti sebelumnya. Tidak ada lagi paparan data, dan pernyataan menyerang pribadi. Semuanya seolah lenyap ditelan sunyi-senyap masyarakat yang semakin terdepolitisasi.
"Multifungsi" digunakan oleh pihak yang berkepentingan untuk meloloskan dwifungsi ABRI dengan harapan publik akan menjadi pasif dan tidak mempermasalahkan Rancangan Undang-Undang tersebut. ABRI digambarkan bisa menangani apa saja. Mulai dari persoalan budaya, ekonomi, dan sosial politik. Kata multifungsi sendiri kerap bersanding dengan kata seperti multitalenta, multikultural, multibahasa dan berbagai multi lainnya. Dalam realitas masyarakat multi dipahami dalam makna denotasinya yang baik. Seperti misalnya multikultural dipahami sebagai sesuatu yang baik karena menerima berbagai macam perbedaan budaya. Seseorang yang multitalenta dianggap sebagai orang yang baik. Akan tetapi, bahasa tidaklah netral. Tampak jelas bahwa pengguna kata multi adalah untuk memberikan kesan positif. Bahasa dalam konteks ini digunakan untuk memanipulasi juga menyembunyikan maksud tersembunyi yakni mengembalikan dwifungsi ABRI. Selalu ada kepentingan di balik penggunaan bahasa dan oleh karena itu kita harus kritis agar tidak tertipu oleh manipulasi bahasa.
Bukan pertama kali permainan bahasa dalam politik terjadi. Dulu di era Orde Baru, santer terdengar sebelum adanya penculikan, bahwa orang yang diculik akan "diamankan". Apakah yang dimaksud dengan diamankan? Apakah dibawa ke sel dan disiksa habis-habisan? Atau diasingkan ke sebuah pulau terpencil lalu dibiarkan mati dimangsa wabah dan kelaparan?
Memang kali ini, Kemenpolhukam beserta pihak yang berkepentingan berhasil menggunakan bahasa untuk mempasifkan masyarakat. Dapat dilihat pembicaraan mengenai multifungsi ini hampir tidak ada dalam media masa kita karena masyarakat terbius dengan kata "multifungsi". Publik kita mungkin mengira multifungsi ini tidak sama dengan dwifungsi padahal intinya sama saja, memberikan jabatan politik kepada prajurit yang masif aktif. Kondisi demokrasi akan semakin memburuk jika RUU ini disahkan. Warisan era reformasi yang diraih dengan susah payah tampaknya akan hancur sebentar lagi. Memang benar kata seseorang bahwa, "Orde Baru memang runtuh, akan tetapi orang-orang di dalamnya akan tetap menduduki singgasana yang sama."
Profesionalisme tentara dalam hal ini juga boleh diragukan. Padahal dalam suatu negara berbentuk republik dan berlandaskan demokrasi, angkatan bersenjata tidak boleh sedikit pun ikut campur dalam politik. Dengan disahkannya RUU ini bisa dibilang NKRI sedang terancam eksistensinya. Mirisnya, ini dilakukan bukan dengan serangan invasi negara luar atau juga kudeta, akan tetapi dilakukan oleh elite pemerintah kita sendiri. NKRI pada akhirnya juga jatuh dalam permainan bahasa karena kata "Republik" dalam NKRI sebentar lagi akan tiada.
Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dengan fenomena akhir-akhir ini yang pertama adalah cermati setiap bentuk penggunaan bahasa. Entah itu bahasa lisan maupun bahasa tulisan atau bahkan mungkin bahasa isyarat. Bahasa yang digunakan oleh pemerintah apalagi dalam keadaan negara demokrasi yang sakit selalu digunakan untuk menyelebungi kepentingan-kepentingan biadab mereka. Jangan sampai kita dininabobokkan oleh kata-kata puitis mereka yang intinya sama saja. Anda tidak perlu menjadi seorang sarjana atau profesor linguistik untuk bersikap kritis terhadap bahasa. Yang diperlukan adalah sikap hati-hati dan skeptis dalam segala hal. Tuhan menciptakan akal budi manusia untuk hal-hal semacam ini agar manusia tidak dibodohi oleh sesamanya. Maka hendaknya kita menggunakan akal budi kita dengan maksimal.
Himbauan untuk para angkatan bersenjata dalam hal ini TNI dan Polri untuk kembali dalam profesionalitasnya sebagai penjaga kedaulatan negara dan keamanan masyarakatnya. Wibawa angkatan bersenjata tidak akan turun walau hanya mengemban satu tugas saja. Menjaga kedaulatan negara adalah pekerjaan mulia dan para prajurit harusnya menyadari akan hal ini. Memang dulu ada kelindan antara politik dan militer. Tapi itu dulu ketika negara Indonesia masih muda ditambah dengan kondisi darurat invasi militer negara lain. Akan tetapi, invasi pihak luar itu sulit untuk terjadi bahkan hampir tidak mungkin.
Catatan
* Tulisan ini dibuat sebelum RUU disahkan dan tampaknya pemerintah berhasil membawa dwifungsi kembali ke NKRI. Sayonara
Artikel Lainnya
-
341314/11/2021
-
1235125/01/2022
-
20316/12/2024
-
Urgensi Prinsip dan Pembinaan Pemasyarakatan
83913/04/2023 -
Strukturasi ala Bourdieu atas Gerakan Mahasiswa
63710/08/2022 -
Zona Euro dan Masa Depan Pembesaran Uni Eropa
32307/07/2024
