Tiga Daya Perempuan dan Capaian IDG Indonesia
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Indonesia pada tahun 2020 sebesar 75. Hampir satu dasawarsa, IDG Indonesia berada di rerata tujuh puluhan. Memang, penghitungan IDG versi BPS hanya mengungkapkan ketidakadilan pencapaian laki-laki dan perempuan dalam hal memainkan peranan aktif dalam kehidupan ekonomi dan politik. Namun, terlepas dari keterbatasan maknanya, stagnasi angka tersebut cukup menggelitik nurani. Belum lagi saat dilihat kondisi spasial per provinsi yang tidak merata. Kisaran capaian IDG dari 34 provinsi berada pada range 51 hingga 82.
Apa benar, perempuan Indonesia belum sepenuhnya berdaya?
Sambil merenungkan tentang apa sih makna berdaya yang sesungguhnya bagi kaum hawa, ingatan saya tertuju pada beberapa sosok perempuan di sekitar saya.
Pertama, tetangga. Kami biasa memanggilnya Oppung Bayu. Usianya sudah lebih enam puluh tahun. Ibu dari lima anak yang semuanya sudah berumahtangga dan baru dianugerahi cucu ke tujuh. Kemarin warung sayur yang digelar dengan meja sederhana di depan rumahnya tutup. Dia pamit untuk mengunjungi anak perempuannya yang baru melahirkan. Badannya sudah renta, kulitnya penuh keriput, namun kesigapannya tak kalah saing dengan inang-inang di pajak Sambu (nama pasar di Kota Medan: red).
Setiap pagi sebelum subuh, Oppung Bayu selalu berbelanja barang kebutuhan untuk dijual kembali di warungnya. Tak kurang dari 30 KM jarak yang ditempuhnya dengan mengendarai becak motor. Kendaraan bermotor yang dimodifikasi menjadi seperti becak untuk memudahkannya mengangkut barang. Barang dagangannya selalu segar, sikapnya tegas, namun juga ramah dalam melayani setiap pembeli. Selalu menebarkan aura positif bagi sekitar, meski cuma obrolan receh seputaran hidup sehari-hari. Kalau ditanya, kenapa masih mau berlelah jualan Oppung? “sakit badan kalo diam saja di rumah..” jawabnya sederhana dengan tanpa beban dan menyiratkan kebahagiaan.
Sosok perempuan berikutnya adalah seseorang yang pernah saya kenal di masa lampau. Perempuan biasa yang menanggung beban kehidupannya dengan luar biasa. Bukan orang tua tunggal, namun bekerja keras menjadi tulang punggung keluarga seorang diri. Sebut saja namanya Sophia. Ibu dari tiga anak perempuan yang masih balita. Ditakdirkan untuk bersanding dengan sosok suami yang sama sekali tidak mau terlibat dalam urusan rumah tangganya, baik dari sisi nafkah maupun pendidikan anak.
Bukan sekali dua kali dia bercerita mengalami KDRT. Karena solusi yang saya tawarkan adalah keluar dari lingkaran toxic rumah tangganya, akhirnya dia berhenti bercerita. Keluarga juga sudah menyarankan agar meninggalkan suaminya dan mulai memikirkan kebahagiaannya sendiri. Sikap keras kepalanya untuk tetap mempertahankan rumah tangga membuat saya berpikir bahwa dia terperdaya dengan situasi.
Jauh berbeda dengan Oppung Bayu tadi, adalah Ibu Keling. Sosok perempuan keturunan Tamil yang biasa dipanggil dengan sebutan Keling. Beliau adalah asisten rumah tangga harian yang bekerja di rumah tetangga sejak lebih dari 20 tahun lalu. Ibu dari 5 orang anak. Orang tua tunggal, tulang punggung keluarga, sejak anaknya balita. Hingga kini, saat kelima anaknya sudah berkeluarga, Ibu Keling masih menjadi tulang punggung keluarga. Bukan hanya untuk anak, namun juga menantu dan cucu.
Lain halnya dengan Oppung Bayu yang bekerja untuk mengisi kegiatan, Ibu Keling harus selalu bekerja keras, bahkan di beberapa tempat sekaligus, untuk memenuhi kebutuhannya. Tak jarang beliau meminta gaji di awal jika ada kebutuhan-kebutuhan mendesak. Seperti saat menantunya terancam untuk dipenjara karena terjebak kasus narkoba. Pernah suatu waktu, cucunya menjadi korban tabrak lari dan harus menjalani serangkaian operasi. Beliau membuat donasi terbuka untuk keperluan pemenuhan kebutuhan pendanaannya atas saran seseorang.
Jika ditanya, apakah beliau tidak lelah bekerja di usianya yang sudah lansia? Pernah beliau menjawab, “jika memungkinkan untuk memilih, bahkan kalau bisa saya berhenti hidup saja” bisiknya lirih. Miris. Kasihan. Beliau telah diperdaya oleh keluarganya sendiri, atas nama rasa tanggung jawab dan cinta keluarga.
Perjuangan dari ketiga perempuan hebat di atas mungkin mewakili tipe pemberdayaan perempuan yang ada di Indonesia. Berjuang untuk tetap berdaya, dengan caranya masing-masing.
Oppung Bayu adalah contoh konkrit untuk menjadi berdaya. Memilih tetap bekerja di usia lanjutnya, namun tetap bahagia karena orientasinya bukan lagi materi. Berdaya adalah pilihan. Memilih untuk berdaya berarti menentukan pilihan untuk tetap berkontribusi secara positif bagi sekitarnya. Hal itu dilakukan dengan kesadaran, suka cita dan kerelaan hati.
Sophia. Perempuan cantik yang sayangnya memposisikan diri menjadi terperdaya. Bukan keinginannya untuk berada pada posisi lingkaran toxic relationship. Meski pada akhirnya, bertahan untuk tetap konsisten menjalani janji pernikahannya adalah keputusan terberat yang harus di jalaninya. Mungkin bermula dari ketidaksengajaan, namun akhirnya terjebak dalam posisi terperdaya.
Berbeda dengan keduanya, Ibu Keling barangkali merupakan contoh dari sekian banyak perempuan yang diperdaya. Lebih parahnya lagi, proses diperdaya itu dilakukan dengan suka rela. Merasa bahwa memang itu merupakan kewajiban baginya, sebagai orang tua, sebagai bagian dari keluarga. Bahkan dirinya tidak lagi melihat adanya peluang atau kesempatan untuk menentukan sebuah pilihan.
Mungkin bukan hanya Ibu Keling. Banyak kasus perempuan yang secara tidak disadari menjadi sebuah komoditas. Mengurus rumah tangga diposisikan sebagai kewajiban seorang Ibu. Tradisi yang terus-menerus dilestarikan hingga menjadi sebuah budaya. Hingga menjadi sebuah hukum tak tertulis yang mendoktrin setiap rumah tangga bahwa urusan domestik rumah tangga adalah kewajiban seorang istri.
Berdaya, terperdaya atau diperdaya. Terkadang situasi menempatkan seorang perempuan bukan pada haknya, alih-alih kodratnya.
Barangkali hal itu yang menjadikan rendahnya pemberdayaan gender di Indonesia. Perempuan harus berani untuk berdaya untuk mencapai kesetaraan. Kesetaraan bukan berarti lebih unggul hingga melupakan kodrat. Kesetaraan berarti kesamaan hak dalam hal mengakses berbagai pilihan di segala lini kehidupan.
Pencapaian kesetaraan gender (Gender Equity) menjadi salah satu bagian yang harus dicapai dan merupakan ukuran keberhasilan dari suatu negara. Konsep kesetaraan sempurna yang diidealkan oleh UNDP (United Nations Development Programme) adalah kondisi setara secara kuantitatif (50:50) dalam hal pendapatan, pendidikan, atau proporsi aktif dalam politik. Dengan demikian, capaian angka IDG ideal adalah sama dengan 100, atau telah terjadi ”perfect equality”.
Kualitas perempuan salah satunya terlihat dari capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM)nya. Di tahun 2020, BPS menghitung besaran IPM Perempuan mencapai 69,19. Lebih rendah dari IPM laki-laki dengan capaian IPM sebesar 75,98. Capaian itu seolah menunjukkan bahwa akses untuk pilihan ada dan sama, namun kenyataannya tidak diberdayakan. Terlihat dari capaian Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) yang masih lumayan jauh dari 100 yang menggambarkan nilai kesetaraan gender yang sesungguhnya.
Pemberdayaan perempuan bukan hanya sebuah slogan. Perempuan harus berani untuk mengambil peluang yang ada di sekitarnya. Menjadi berdaya, bukanlah sebuah pilihan, melainkan keharusan.
Artikel Lainnya
-
209914/10/2021
-
80130/11/2024
-
98526/03/2022
-
202315/02/2020
-
Polemik Pembebasan Narapidana : Kriminal Lagi Demi Tetap Hidup
159826/04/2020 -
Senja Kala Bocah Miskin Kota, Bola Raya, dan Impian menjadi Arhan
124706/03/2022
