Perkuat Toleransi Otentik

Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, NTT
Perkuat Toleransi Otentik 15/02/2020 1495 view Agama canstockphoto.com

Semboyan Bhineka Tunggal Ika merupakan suatu imperatif akan ke-Indonesia-an kita. Ke-Indonesia-an itu lahir dari rahim keberagaman. Berbeda-beda, tetapi tetap satu, merupakan ungkapan yang menyatakan toleransi sebagai penyanggah utama kehidupan bangsa Indonesia.

Prinsip toleransi ini kemudian dituangkan dalam dasar negara yaitu Pancasila. Soekarno menyebut Pancasila sebagai Philosophische Grandslag, yakni fondasi bagi kehidupan negara Indonesia. Pancasila dilihat sebagai supra-identitas dan perekat seluruh entitas.

Kendatipun demikian, norma dasar kehidupan bersama itu nyatanya belum menjanjikan hidup yang damai.

Patologi intoleransi tumbuh dan berkembang dalam ranah entitas agama. Heterogenitas sosial telah menciptakan atomisasi dan kejahatan dalam negara (Fukuyama, 2002:130-131). Terjadi benturan kebudayaan, sehingga melahirkan konflik. Perbenturan ini diakibatkan oleh pandangan sempit terhadap agama lain.

Agama kemudian menjadi momok lahirnya rasa iri, dengki bahkan kekerasan destruktif terhadap agama lain.

Para pemeluk agama beperan sebagai pengadilan yang mereduksi kesalehan agama dengan perilaku kurang terpuji. Narasi-narasi Kitab Suci agama-agama yang penuh dengan nilai-nilai kekudusan serta pengajaran tentang Tuhan penuh kasih dan penyayang diraib oleh keegoisan manusia.

Apakah kita sedang mewartakan Tuhan yang penuh amarah dan dengki? Saya hakul yakin setiap agama selalu mewartakan Tuhan-nya yang mulia, tanpa dengki dan iri. Tuhan itu melampaui segala kebaikan di dunia.

Di negeri ini, “Tuhan mati” dalam hati pemeluknya. Para pemeluk agama tidak mampu lagi memantulkan tanda kasih Tuhan yang disembah itu.

Penolakan renovasi Gereja di Karimun yang menggegerkan belakangan ini merupakan salah bukti bahwa Tuhan itu tidak lagi hidup dan bersemayam di hati para pemeluknya. Yang ditampilkan ialah “tuhan alien” yang menciptakan kekacauan.

Toleransi yang diagung-agungkan dan digaungkan semakin memudar. Kita cenderung terjebak dalam proseduralisme, lupa akan substansi konstruksi bangunan Indonesia.

Boleh saja di media sosial pun tulisan-tulisan kita memunculkan jargon-jargon nasionalis. Semuanya itu adalah retorika yang tidak bermakna, kalau tidak diimplementasikan.

Kita saksikan dalam pidato-pidato kebangsaan, Presiden selalu menyuarakan tentang pentingnya keharmonisan dalam hidup bersama. Ada jargon menarik misalnya “ Saya Indonesia, Saya Pancasila”. Tentu sebagai pemimpin tertinggi dalam negara ini, Presiden mesti mengingatkan dan merangkul berbagai perbedaan yang ada.

Sayangnya, warga Indonesia kurang tanggap dan apatis terhadap pluralitas bangsa ini. Warga tidak lagi mampu menginstitusionalisasi nilai-nilai Pancasila dalam hidup bersama.

Akibatnya, terjadi kekerasan antar agama. Kita mengharapkan agar negara (baca: Presiden) bertindak adil terhadap setiap orang yang tidak menghargai agama lain. Negara atau pemerintah mesti membuka mata serta menjamin hak-hak dasar setiap orang tanpa dicaplok oleh orang lain. Dalam kaitan dengan itu, negara juga menjamin kenyamanan ibadah dan tempat ibadah bagi setiap pemeluk agama.

Krisis Epistemologis

Hemat saya, ada beberapa faktor penyebab benturan antar agama dan menguatnya sikap intoleransi di negara ini. Pertama, kurang berakarnya nilai-nilai Pancasila dalam diri para pemeluk agama.

Kita haya bisa melafalkan Pancasila, minus realisasi. Sila Ketuhanan yang Maha Esa mestinya berkorespondensi dengan nila kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan. Sikap religiusitas yang termuat dalam sila pertama berlum terinstitusionalisasi dengan baik oleh pemeluk agama. Agama-agama atau pemeluk agama tidak mampu menerjemahkan ketuhanan dalam kaitan keberagaman.

Kedua, akibatnya ialah semakin menguatnya nasionalisme keagamaaan. Rendahnya konsep ketuhanan dalam perjumpaan agama-agama akan selalu menghadirkan pandangan agama yang esklusif.

Pandangan agama yang esklusif itu dipaksakan berlaku secara universal. Karena itu, muncul klaim kebenaran para pemeluk agama terhadap ajaran-ajaran agamanya. Klaim kebenaran ini kemudian melahirkan gerakan radikalisme dan ekstremisme.

Ketiga, pendakuan kebenaran partikularitas agama menyebabkan pereduksian identitas manusia ke dalam afiliasi identitas tunggal, yaitu agama (Sen, 2006:33). Kaum beragama kemudian mengabaikan identitas-identitas yang lain. Konstruksi identitas tunggal agama sering kali memunculkan dikotomi “orang kita-orang asing”. Dikotomi semacam ini mampu menghadap-hadapkan agama satu dengan lain. Puritanisme agama pun muncul. Lalu berusaha membanding-bandingkan setiap teologi dan ajaran agama. Membandingkan-bandingkan teologi berbeda adalah kesalahan paling fatal.

Rejuvenasi Pancasila

Kebangkitan dan benturan antar agama hanya mungkin ketika terjadinya peremajaan nilai-nilai Pancasila dalam negara-bangsa Indonesia. Hal yang paling penting dari pendidikan multikulturalisme formal maupun infomal ialah perjumpaan agama-agama di altar Pancasila.

Pendidikan itu terarah pada pemahaman yang memadai tentang entitas budaya, agama lain sambil mendukung secara penuh dalam karateristik masing-masing. Entitas budaya, agama, suku dilihat sebagai preseden terciptanya iklim toleransi otentik.

Toleransi otentik itu adalah omnia obique dan/atau konsekuensi logis dari pengakuan. Axel Honneth, Charles Taylor menekankan bahwa setiap pengakuan mesti berasal dari subjek yang terarah pada subjek lain. Pengakuan berarti proses mengidentifikasi diri. Mengidentifikasi berarti membedakan satu dengan yang lain. Itu berarti dalam pendidikan multikulturalisme setiap orang memiliki konsep dan pemahaman yang baik akan agama lain. Sebab, keberadaan manusia sangat ditentukan oleh yang lain (inter homines esse).

Untuk itu sangat penting Pancasila dijadikan sebagai muatan materi dan spirit dakwah (missionary) bagi setiap agama dan aliran kepercayaan di Indonesia. Hal ini berkenaan dengan pendidikan keagamaan. Tanggung jawab ini diembankan kepada pemimpin agama-agama. Pengajaran, kotbah maupun penekanan pada teologi agama mesti dimasukkan aspek nilai-nilai Pancasila.

Pemimpin agama memiliki otoritas dan privilese dalam kehidupan masyarakat beragama. Pengaruh dan legitimasi bagi tindakan sosial pun mendapat tempat terdepan. Ada semacam gerakan akselerasi membumikan Pancasila dalam agama-agama melalui proses dialektis-epistemologis.

Deklarasi PBB 1981 tentang penghapusan semua bentuk intoleransi dan diskriminasi menggarisbawahi korelasi antara pemajuan toleransi dan kebebasan beragama melalui pendidikan agama yang kritis.

Pendidikan agama yang kritis mampu mengintegrasikan prinsip egaliter masing-masing individu serta prinsip moral universal ke dalam konteks doktrin agamanya yang holistik (Kleden dan Sunarko 2010:89).

Agama-agama mesti mempertahankan karakter keagamaan ala Nusantara. Artinya orang beragama yang ber-Pancasila sudah selayaknya menunjukkan diri sebagai penganut agama yang berbudaya. Menggali nilai-nilai lokal Pancasila dalam perjumpaan agama-agama. Nilai-nilai lokal itu dimunculkan dalam kehidupan bersama. Dengan demikian, terjadi semacam rejuvenasi Pancasila dalam tatanan hidup bersama.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya