Polemik Pembebasan Narapidana : Kriminal Lagi Demi Tetap Hidup
Kebijakan Kemenkumham Yasonna H. Laoly untuk membebaskan para narapidana di tengah pandemik Covid-19, memang sudah menuai pro dan kontra sejak kebijakan ini dicanangkan. Berbagai perspektif coba digunakan sebagai pertimbangan, untuk kemudian digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan mengenai nasib para narapidana. Meski dipenuhi kontroversi, pada akhirnya kebijakan yang diambil adalah membebaskan para narapida sebagai langkah pemutusan rantai penularan.
Keputusan Menteri Hukum dan HAM bernomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, adalah payung hukum yang melegalkan kebijakan ini. Sebanyak 38.822 narapidana dibebaskan dengan penegasan bahwa mereka dilarang melakukan tindakan kriminal lagi. Meski demikian, pembebasan para narapidana ini diprediksi akan gagal, bahkan tanda-tanda kegagalan sudah terlihat di depan mata.
Belum juga genap sebulan pembebasan dilakukan, beberapa narapidana asimilasi kembali berulah. Data terakhir, sebanyak 28 narapidana kembali melakukan tindakan kriminal dengan jenis kasus beragam. Pencurian adalah kasus yang menduduki urutan atas pada daftar tindakan kriminal yang dilakukan narapidana asimilasi.
Pertimbangan sisi kesehatan, tanpa mempertimbangkan sisi sosial dan ekonomi menjadikan kebijakan ini dinilai akan sulit untuk berhasil. Membebaskan para narapidana di tengah situasi ekonomi yang buruk, justru menjadi suatu keputusan yang fatal. Saat ini, masyarakat sedang dilanda bahaya kelaparan karena pendapatan masyarakat menurun, bahkan ada yang tidak berpenghasilan sama sekali. Situasi yang lebih parah akan dialami oleh para narapidana asimilasi. Kembalinya mereka pada keluarga justru akan menambah beban keluarga. Meningkatnya tanggungan keluarga yang berbanding terbalik dengan pendapatan yang diperoleh, akan membuat grafik tingkat kelaparan meningkat.
Di sisi lain, pembebasan narapidana yang belum waktunya, akan berbenturan dengan situasi sosial masyarakat. Pembebasan para narapidana asimilasi dilatarbelakangi oleh pandemik bukan karena masa hukuman serta selesainya program pembinaan. Hal ini membangun ketakutan pada masyarakat yang kemudian akan mendiskriminasikan para narapidana asimilasi.
Stigmatisasi yang kerap kali diterima oleh para narapidana, juga semakin menghambat interaksi sosial para narapidana asimilasi dengan lingkungan sosialnya. Dampak lanjutan dari stigmatisasi ini, berefek pada semakin sulitnya para narapidana asimilasi untuk memperoleh pekerjaan. Semakin berkurangnya lapangan pekerjaan, tuntutan hidup yang kian meningkat, pendapatan yang sama sekali tidak ada, ditambah situasi sosial yang tidak mendukung, memaksa para narapidana asimilasi ini, melakukan segala upaya untuk mendapatkan uang, termasuk tindakan kriminal.
Melihat programnya mulai memperoleh banyak keluhan dari masyarakat, Menkumham kemudian mengeluarkan pernyataan yang lebih mengarah pada bentuk pembelaan diri. Dilansir dari Liputan6.com (20/4/2020), Menkumham mengatakan bahwa, angka pengulangan ini masing sangat rendah, ia pun meminta jajarannya untuk mengevaluasi dan meningkatkan pengawasan terhadap warga binaan yang dibebaskan lewat asimilasi dan integrasi. Secara tidak langsung pernyataan ini mengarahkan kita pada suatu pandangan bahwa kuantitas kejahatan adalah tolak ukur segalanya.
Selama angka pengulangan tindakan kriminal oleh para napi masih rendah, hal itu bukanlah sebuah masalah besar. Padahal, jika kita melihat dampak tindakan para narapidana asimilasi di atas, sesungguhnya sangat besar. Substansinya bukan hanya sekedar angka kejahatannya, namun lebih dari itu, pengulangan tindakan kriminal para narapidana asimilasi telah membangun kepanikan dan ketakutan di masyarakat. Selanjutnya, para narapidana asimilasi yang tidak terlibat dalam pengulangan kriminal, akan mendapat getahnya juga. Segala kejahatan di tengah pandemik ini, akan selalu dikaitkan dengan para narapidana asimilasi.
Pernyataan lain dari Menkumham tentang pengulangan tindakan kriminal oleh para narapidana asimilasi adalah memasukan mereka (napi pengulang kejahatan) ke straft cell (sel pengasingan). Selain itu, skema hukuman berat bagi narapidana yang kembali melakukan tindakan kejahatan sedang disiapkan namun belum disampaikan ke publik.
Melihat arah pernyataan dari Menkumham, hemat saya, selain untuk menghukum narapidana yang melakukan pengulangan kejahatan, tujuan dari pernyataan di atas adalah untuk mencegah narapidana lain melakukan kejahatan. Ketegasan hukum dan sanksi yang diberikan menjadi faktor penentu pencegahan pengulangan kejahatan. Jika tujuannya demikian, maka sesungguhnya tidak ada jaminan kuat hal itu akan mencegah terjadinya pengulangan tindak kriminal.
Situasi pandemik yang kian meresahkan, keadaan ekonomi yang semakin buruk, serta beban tanggungan hidup yang besar, akan terus memaksa seseorang melakukan apa pun. Para tikus berdasi (para pejabat), yang hidup dengan kemewahan saja masih mencuri (korupsi), lantas apakah di tengah situasi seperti ini kita boleh sepenuhnya mengatakan bahwa seseorang tidak akan melakukan tindakan kriminal, termasuk mencuri?
Persoalan perut yang tidak bisa dikompromi memaksa seseorang akan melakukan segala hal demi mempertahankan kelangsungan hidup. Kita berbicara tentang persoalan hidup dan mempertahankan hidup. Jika berbicara tentang hal ini, bukan saja para narapidana asimilasi yang akan mencatatkan namanya pada aksi kriminal, orang lain pun akan melakukan segala hal demi tetap hidup.
Persoalan saat ini, bukan hanya sekedar masalah kesehatan, namun persoalan sosial dan ekonomi saat ini sedang menjadi masalah yang paling serius bagi narapidana asimilasi. Tidak sedikit juga dari mereka akan mengatakan lebih baik dikurung jeruji besi, ketimbang dikurung masalah sosial dan ekonomi.
Karena persoalan yang lebih urgen saat ini adalah masalah sosial dan ekonomi, maka untuk mengoptimalkan program pembebasan napi dan mencegah pengulangan kasus, harus memperhatikan kebutuhan ekonomi dan sosial para narapidana. Kita tidak sedang memanjakan para narapidana, namun ini berhubungan dengan HAM (Hak Asasi Manusia) yang harus diberikan kepada semua warga negara tanpa terkecuali. Selain itu, ini juga demi keselamatan kita bersama.
Persoalan sosial yang dihadapi para narapidana asimilasi, dapat diatasi melalui pengedukasian masyarakat. Stigmatisasi yang selalu diterima para narapidana, berlahan-lahan harus dihilangkan. Bentuk simpati dan empati masyarakat di tengah pandemik ini, juga harus menyasar pada para narapidana asimilasi. Pemerataan sosial tanpa diskriminasi akan menghadirkan rasa nyaman bagi para narapidana.
Di sisi lain, pemerintah melalui program bantuan sosialnya perlu memperhatikan para narapidana asimilasi juga. Beberapa bantuan sosial selama ini masih salah sasaran, seperti pada wilayah DKI Jakarta yang mana bantuan pemerintah malah nyasar pada anggota DPRD dan beberapa rumah mewah. Pemberian beberapa bantuan juga terkesan pukul rata, pertimbangan jumlah anggota keluarga, tingkat kebutuhan, serta tingkat konsumsi yang berbeda kurang dipertimbangkan. Hal ini harus diperbaiki, mengingat ketika narapidana asimlasi kembali pada keluarga, maka tingkat kebutuhan keluaraga turut meningkat.
Pihak keluarga, pihak keamanan dan pegawai lapas (lembaga permasyarakatan) harus meningkatkan pengawasan dan menghadirkan rasa kekeluargaan. Pembinaan lanjutan juga perlu untuk terus dilakukan, misalnya penguatan iman, penguatan psikologi, dan menciptakan lingkungan sosial yang kondusif juga sangat bermanfaat dalam mencegah pengulangan kasus kriminal.
Artikel Lainnya
-
164912/10/2019
-
200309/09/2019
-
34403/09/2023
-
Provinsi Jambi, No Viral No Action
86804/03/2023 -
Komunisme: Jualan Politik Hari Ini
90428/06/2020 -
Dehumanisasi di Tengah Pandemi
280610/05/2020