Surat Terbuka Untuk Tun Mahathir Mohamad

Kolumnis
Surat Terbuka Untuk Tun Mahathir Mohamad 23/09/2019 2661 view Opini Mingguan kemendagri, 2016

Assalammualaikum, Tun Mahathir Mohamad.

Saya Yuli Isnadi, rakyat Indonesia. Lahir dan besar di Kota Bertuah, Pekanbaru Riau. Negeri Melayu yang cuma sepelemparan batu saja dari negeri Tun, Malaysia.

Benar kata Tun bila dulu diinterview perempuan paling populer di negeri kami, Najwa Shihab. Walau Malaysia dijajah Inggris sedangkan Sumatera (Riau) dijajah Belanda, tak ada soal. Sesiapun tahu bagaimana kuatnya hubungan emosional kita.

Kami di Sumatera, dan tak mungkin pula tidak orang-orang Kalimantan sana, ada punya sanak famili di Malaysia. Begitupun orang-orang Malaysia. Mereka punya keluarga yang tinggal di negeri-negeri kami.

Jika berhari raya, tak sedikit dari kami yang mengunjungi Malaysia. Pun demikian pula sebaliknya. Dan mungkin sekali dua kali istri Tun juga ada mengunjungi tanah kelahiran orang tuanya di Pasaman, Sumatera Barat.

Dalam urusan kesehatan dan ekonomi tak jauh beda. Kalau rumah sakit di sini tak lagi bisa menangani, Malaka dan Kuala Lumpur lebih akrab bagi kami dibanding Jakarta. Mungkin karena dekat juga. Selain itu, barang-barang Malaysia lebih mudah kami temukan dibanding produk Jawa.

Demikianlah. Semacam ada ikatan emosional yang kuat.

Saya pun begitu. Amat dekat rasanya dengan Tun Mahathir. Agak-agaknya itu karena ayah saya dulu sering menceritakan Perdana Menteri Malaysia sebelum tidur siang. Melayu, Islam, modernisasi, dan kepemimpinan adalah empat kata yang mewakili sosok Tun di kepala saya.

Tun Mahathir, bagaimana Putra Jaya punya kabar hari ini? The Star sekira minggu lalu bilang ada asap di sana. Udara Putra Jaya tidak sehat. Sama situasinya dengan Johan Seria di Klaung, Selangor, Sri Aman, Samalahan dan Kuching.

Asap itu kuat dugaan dari Sumatera. Atau juga dari Kalimantan. Dari kami di sini.

Lahan gambut terbakar. Apinya dalam, di bawah tanah sana. Sedangkan asap terbang menari-nari di udara. Maka dari itulah beberapa minggu ini kami dibekap asap.

Jangan di tanya bagaimana kondisi sekarang. Bayi dan anak-anak menderita sesak napas. Di Jambi langit merah. Belum lagi di Kalimantan. Ah, mencekam. Seram kami punya kampung.

Asal Tun Mahathir tahu saja. Bencana asap itu mengerikan. Banjir akan menyapu tenggelam kita. Gempa membuat batu dan bangunan menimbun manusia. Demikian pula jenis bencana lain. Kematian datang secepat kilat. Semua terjadi begitu saja.

Tapi asap. Kematian datang pelan dari arah muka, belakang, kiri, kanan, atas dan bawah. Merambat lambat. Seolah Izrail sedang menikmati tugasnya. Sedikit demi sedikit dada semakin bergelombang. Mencari-cari oksigen yang semakin tipis. Mata berair, badan membiru. Tak bisa mengerang sakit, karena oksigen untuk memproduksi suara terbatas. Lalu kemudian pergi berlayar selamanya.

Siapa-siapa beruang, bisa pergi mengungsi. Ke hotelkah dia, ke provinsi lain kah, atau ke pulau lain. Tapi mau sampai kapan berbulan-bulan meninggalkan kehidupan normal?

Ah, setidak mereka masih beruntung, Tun.. Entah bagaimana mereka-mereka yang tak beruang. Mau bersembunyi ke mana? Asap sudah menyelinap ke rumah-rumah. Ada terbersit juga di kepala, terkadang bencana alam bias kelas sosial. Agak ramah kepada orang berduit, tapi kejam kepada kaum melarat.

Tun, saya ingin meminta bantuan. Tapi bukan sebagai Perdana Menteri Malaysia. Melainkan sebagai kawan dekat presiden kami. Presiden Joko Widodo, Jokowi.

Tun dan Tuan Jokowi bersahabat karib. Saya tahu itu. Sebulan lalu presiden kami berkunjung ke Putra Jaya. Lalu dibawa oleh mobil merah hati ayam milik Tun. Tun pula yang menyopiri. Bukan main senang presiden kami punya hati. Tersenyum di dalam vlog yang dipostingnya di twitter. Diajak pula makan siang dan pergi ke masjid di lingkungan kantor Perdana Menteri di Putra Jaya.

Memang begitulah setahu saya seorang Melayu memperlakukan tamu karib. Dan kami di Indonesia, pantang hati untuk tak mendengar nasehat kawan akrab. Kata-kata Tun Mahathir pastinya didengar sungguh oleh presiden kami.

Ini tentang bencana yang sedang kita rasakan, asap. Saya ingin meminta Tun untuk bilang kepada Tuan Jokowi supaya menyelesaikan bencana ini secepatnya mungkin. Karena kami sudah tak tahan lagi menghirup partikel itu.

Agak-agaknya ada kata di benak Tun, "mengapa engkau tak minta langsung saja ke Pemerintah Indonesia?"

Sudah. Kami sudah berteriak minta tolong. Tapi pemerintah bilang, bencana datangnya dari Allah SWT. Maka bersabarlah. Sebuah jawaban yang amat menyakitkan. Seolah kita orang Melayu ini apa-apa tak paham agama.

Kami memanggil tolong ke pemerintah menuntut ikhtiar. Kalau berdoa, baiklah kepada tuhan.

"Hanya asap saja musti minta tolong sampai kemari?", mungkin ada terpikir demikian.

Tun Mahathir. Saya mahfum Tun barangkali tak sempat ke Indonesia untuk melihat langsung situasi kami. Bekerja hanya dalam tiga tahun memperbaiki persoalan Malaysia sungguh berat. Tun harus bekerja 18 jam sehari, padahal usia kurang sedikit satu abad.

Oh, saya punya ide. Bagaimana kalau panggil perusahaan sawit Malaysia yang mencari makan di Sumatera dan Kalimantan. Seperti Sime Indo Agro, Sukses Karya Sawit, Rafi Kamajaya Abadi, dan Adei Plantation and Industry. Tanyakan kepada orang-orang tersebut seberapa parah asap di sini. Darinya Tun akan punya bayangan bagaimana betul keadaan kami di sini.

Tapi Tun, saya hendak mengingatkan. Tuan Jokowi sangat berbeda dengan sahabat karib Tun dulu, Presiden Soeharto. Jadi butuh usaha agak lebih untuk meyakinkannya mampu menyelesaikan urusan ini.

Kalau Soeharto dulu, Tun. Ia cukup tersenyum saja. Senyum dingin khasnya itu. Masih ingatkah?

Senyum sedikit. Maka semua yang tak sesuai dengan keinginannya menghilang dari bumi. Persoalan selesai sudah.

Tetapi Tuan Jokowi ini berbeda. Sejak beberapa tahun lalu ia terus mengancam lepas jabatan bawahannya yang tak kerja bagus melawan asap. Malangnya, ancaman terus, asap pun jalan. Entahlah mengapa pula bisa begitu.

Jadi, cukup bisikan saja ke Tuan Jokowi. "Rakyat mu di Sumatera dan Kalimantan sesak napas karena asap. Tolonglah, bantu mereka terbebas dari kutukan sumber daya alam".

Dan kalau tak keberatan, tambahkan pula, "hukum berat perusahaan sawit Malaysia yang bersalah, sebagaimana perusahaan Indonesia jika bersalah". Mudah-mudahan presiden kami bisa paham.

Demikian surat ini. Tak perlu berpanjang-panjang.

Terima kasih atas bantuan yang Tun berikan. Tentu semua itu tak dapat dikira. Entah bagaimana kami akan membalas kebaikan hati Tun Mahathir. Wassalammualaikum.

Ctt: kalau Tun sudi, saya mau minta tolong satu lagi. Mohon diintipkan dari jendala kantor Putra Jaya. Pandanglah langit sebelah selatan. Arah Riau. Lalu telepon Jakarta. Kabarkan kepada mereka, tak ada warna biru di langit kami.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya