Catatan Redaksi: Vaksin Digital Buatan Taiwan

Admin The Columnist
Catatan Redaksi: Vaksin Digital Buatan Taiwan 25/10/2020 801 view Catatan Redaksi Yuli Isnadi

Setiap pekan The Columnist menyajikan tulisan dari meja redaksi dengan mengangkat isu publik yang tengah berkembang dan patut diperbincangkan.

Kali ini catatan redaksi ditulis oleh Bung Yuli Isnadi, pengamat Internet Politics dan Ekonomi Politik Pembangunan, membahas mengenai rahasia keberhasilan Taiwan menghadapi pandemi Covid-19. Disampaikan secara ringan, namun membawa pesan penting khususnya bagi para milenial.

Selamat membaca !

Pada waktu itu, Taiwan berada di penghujung musim dingin Januari 2020. Ketika semburat kehangatan musim semi mulai menyapa. Rasa cemas justru datang membekap.

Media-media mulai bergunjing. Ada virus ganas yang tengah bangkit di Wuhan, China. Negara yang hanya sepelemparan batu dari Taiwan.

Ini virus bersifat pandemik dan punya reputasi sebagai pembunuh. Ribuan orang China bisa gugur dalam semalam. 

Kabarnya lagi, malaikat pembunuh ini tengah menjalar ke kota-kota lain. Bahkan beberapa negara telah ikut mencicipi kejamnya virus ini.

Di akhir musim dingin itu, saya amat yakin. Dalam waktu dekat ini virus pasti menyapu Taiwan. Negara ini akan terkapar. Lemas tak berdaya.

Empat tahun sudah bersekolah di Taiwan membuat saya mengerti bagaimana 'mesranya' hubungan China dan Taiwan. Kedua negara ini benar-benar mesra secara kultural dan ekonomi. Berbanding terbalik dengan hubungan politiknya dipenuhi pertengkaran itu.

Ratusan ribu orang Taiwan tinggal dan hidup di China. Perkawinan antara orang dua negara ini adalah lumrah. Orang Taiwan yang berinvestasi di China juga tak sedikit, begitu pula sebaliknya. Semua ini membuat lalu lintas manusia antara China dan Taiwan sangat tinggi. Apalagi jaraknya yang cuma 81 mil saja.

Mungkin ini terdengar semacam kabar gembira. Bahwa hubungan China dan Taiwan tak seburuk yang dibayangkan. 

Tapi di sinilah letak masalahnya. Saat si Covid-19 telah sampai di tepi perbatasan China dan siap melompat ke Taiwan, kebijakan Pemerintah Taiwan justru membuat saya tercekat.

"Orang China yang akan masuk ke Taiwan akan kami batasi..", kira-kira begitu kata pemerintah Taiwan. "...kecuali bagi mereka yang punya hubungan kekeluargaan maupun alasan bisnis."  Di "kecuali" inilah pokok persoalannya itu.

Sungguh saya tak paham betul alasan di balik pengecualian tersebut. Tapi yang jelas pengecualian ini membuat usaha pembatasan lalu lintas dua negara ini menjadi tak ada bedanya. Sama saja.

Orang China akan tetap bisa memadati bumi Formosa. Karena traveler kedua negara sebagian besar memang punya alasan keluarga dan bisnis, bukan wisata atau semacamnya.

Terlebih menjelang perayaan Imlek. Orang-orang perantau akan mudik untuk menghabiskan makan malam bersama keluarga di desa asal.

Otak saya lalu berdansa bersama kecemasan. "Ini virus bersifat pandemik. Sudah siap pula mendarat di sini. Tapi Pemerintah Taiwan membuat pembatasan yang tidak membatasi".

Lantas sebuah kasus mencuat di Kota Kaohsiung. Cuma satu jam dari kota tempat saya tinggal. Media bilang, "...kasus positif corona ditemukan. Pasien itu datang dari China untuk urusan bisnis di Taiwan."

Rasa cemas seolah berbisik sinis di telinga saya, "corona semakin dekat bung!"

Saya dan putri mungil kami pun terbang pulang ke Indonesia. Karena yakin bahwa Taiwan akan tersapu Covid-19. Kalaupun Indonesia juga ikut dilanda, maka menghadapinya di negeri sendiri akan lebih baik.

Namun maaf beribu sayang. Ternyata keputusan saya itu salah.

Hari ini Taiwan menjadi salah satu negara "teraman" di dunia. Covid-19 tampak enggan berlama-lama di negara pulau itu. Seolah Ia cuma ingin berkata, "halo apa kabar saja". Tak ada yang lain.

Saat tulisan ini dibuat, halaman virtual satgas Covid-19 Taiwan mengumumkan jumlah kasus Covid-19. Cuma lima ratus lima puluh kasus. Lima puluh lima kasus asli lokal, selebihnya kasus impor. Dan hanya tujuh di antaranya yang gugur.

Sedangkan di Indonesia, ahh... tak usahlah saya ceritakan. Karena sedemikian banyaknya sampai-sampai petugas pemberi kabar kematiannya saja sudah berapa kali berganti orang. Semacam kerja lembur, ada shif-shifan. Kalau yang tukang mengumumkan saja shif-shifan, bagaimana lagi jumlah kasusnya perhari.

Seorang teman kemudian berbisik. "Kalau kemarin-kemarin, orang Indonesia yang mencemaskan keluarganya di Taiwan. Kalau sekarang sudah terbalik. Orang Indonesia di Taiwan yang mencemaskan keluarganya di kampung halaman".

Maka dari itu saya selalu diikuti hantu penasaran. Si hantu yang kerap bertanya, mengapa, mengapa dan mengapa. Mengapa gerangan si virus tak sudi berakrab-akrab dengan negeri Formosa ini.

Selidik punya selidik, ternyata Taiwan berhasil membuat vaksin anti virus. Vaksin itu bernama teknologi informasi.

Taiwan paham betul sifat si Covid-19. Ia menular dari satu orang ke orang lainnya. Dan untuk membunuhnya, penularan harus dihentikan. Itu semua bisa dilakukan melalui teknologi informasi.

Sebelum Covid-19 datang berkunjung, pemerintah Taiwan dan perusahaan swasta berhasil mengintegrasikan data immigrasi dan data bpjs-nya Taiwan dalam beberap hari saja. Data itu kemudian bisa diakses oleh seluruh rumah sakit, puskesmas dan klinik.

Jadi kalau ada yang mengunjungi puskesmas, riwayat perjalanan empat belas hari sebelumnya akan muncul di komputer petugas puskesmas. Dari situ akan diputuskan, terindikasi Covid-19 atau tidak.

Jika iya, maka akan dilacak, sudah berinteraksi dengan siapa saja. Mereka-mereka itu lalu diperiksa.

Sedangkan si orang itu sendiri akan dikarantina selama 14 hari. Ia dipantau oleh Satgas Covid-19 dengan menggunakan jaringan seluler. Bila terlacak meninggalkan tempat ia dikarantina, atau sinyalnya tampak menghilang dari radar, maka dalam waktu 15 menit polisi akan tiba dilokasi tempat karantinanya buat memastikan. 

Kalau betul melanggar prosedur karantina, maka rekaman CCTV digunakan untuk melacak keberadaannya. Maklum, semua CCTV di lingkungan tempat pasien di karantina diaktifkan petugas. Dan begitu ketangkap, dendanya besar. Bisa mati berdiri mendengar angkanya.

Pemerintah juga membuat website khusus untuk memantau persediaan masker. Orang-orang bisa tahu titik-titik mana saja persediaan masker bisa ditemukan. Dan website yang sama juga bisa dipakai untuk melakukan pre-order masker.

Hanya itu. Tak ada yang lain. Vaksin teknologi informasinya Taiwan cuma itu. Tidak rumit, sederhana. Tapi meskipun sederhana, vaksin buatan Taiwan ini sangat efektif mengusir si Covid-19.

Lantas bagaimana gerangan dengan Indonesia? Bagi saya Indonesia itu lebih suka pada upaya penyembuhan ketimbang melawan penularan. Dan kalaupun ada pengembangan teknologi, sebagian besar berorientasi penyembuhan. Bukan menghentikan penularan. 

Bahkan siapa-siapa bisa melihat bagaimana Pemerintah Indonesia tampak enggan untuk benar-benar memutus sifat penularan. Masih bimbang, untuk tidak dikatakan bingung, saat memutuskan mendahulukan ekonomi atau kesehatan? Mau Lockdown atau tidak? Yang kemudian entah bagaimana-bagaimana pula akhirnya berakhir pada narasi "berdamai saja".

Saya paham situasinya. Apa yang dikatakan orang-orang pintar itu dalam batasan tertentu ada benarnya. "Inikan pengalaman pertama kita, sebelumnya belum pernah. Jadi kalau pemerintah banyak salahnya, yah dimaklumilah. Jangan dibanding-bandingkan dengan negara lain yang sudah punya pengalaman.".

Benar. Ini memang pengalaman pertama Indonesia bejumpa virus pandemi. Tapi inti persoalannya itu bukan bukan di sana. Bukan soal pengalaman pertama sehingga harus dimaklumi. Melainkan pembelajaran apa yang akan kita dapat dari pengalaman pertama itu. 

Adakah pengalaman pertama ini memberi pembelajaran kepada Indonesia bagaimana menggunakan teknologi informasi untuk melawan virus pandemi? Adakah pengalaman pertama ini menjadi penjamin bahwa ke depan jika virus pandemi menyernag lagi kita bisa berkelit?

Wabah SARS tahun 2002 lalu adalah pengalaman yang mengantarkan Taiwan pada sebuah pengetahuan. "Jikalau berjumpa lagi dengan virus pandemi, maka kita sudah tahu nyawanya. Yaitu sifat menular. Dan vaksinnya adalah teknologi informasi". 

Ini muncul dari pengalaman mereka melawan SARS dengan menggunakan teknologi informasi. Mereka membuat alat deteksi panas tubuh di bandara dan pelabuhan, mengintegrasikan data perjalanan pengunjung, dan upaya sejenis lainnya. Dengan pengalaman pada tahun 2002 inilah Taiwan bisa berkelit dari Covid-19 ditahun 2020.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apa pengalaman yang didapat ketika berjumpa Covid-19?

Sejauh ini sederhana saja. "Kalau besok-besok virus pandemi datang lagi, tenang aja bro.. itu adalah saat yang tepat untuk mengesahkan undang-undang kontroversial..". Pengalaman sukses dari Pemerintahan Indonesia ketika berjumpa virus pandemi adalah sukses membuat UU Omnibulas yang kontroversi itu.

Jadi kalau besok-besok Indonesia berjumpa virus pandemi lagi, janganlah berharap tapi waspadalah. Jangan berharap adanya vaksin teknologi informasi yang bisa menghentikan penularan itu virus, karena kita tak sedang melakukan itu saat ini. Tapi waspadalah akan adanya kebijakan kontroversial dari pemerintahan, karena inilah yang kita alami sekarang.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya