Menghilangkan Politik Kekerabatan, Sebuah Kemustahilan (?)

Menghilangkan Politik Kekerabatan, Sebuah Kemustahilan (?) 27/07/2020 1670 view Opini Mingguan republika.co.id

Putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka akhirnya ditetapkan sekaligus mendapat mandat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk maju sebagai calon walikota Solo. Sebagian menganggap ini kejutan. Namun sebagian lagi bahkan sejak awal sudah menduga hal ini akan terjadi saat melihat manuver-manuver politik yang dilakukan Gibran.

Majunya Gibran praktis menjadikannya sebagai orang pertama berstatus anak Presiden RI yang ikut bertarung di Pilkada. Sementara itu, adik ipar Gibran yaitu Bobby Nasution (menantu Jokowi) juga dikabarkan akan mencoba peruntungan di Pilwako Medan.

Pergunjingan soal praktik politik dinasti (selanjutnya saya akan lebih memilih istilah politik kekerabatan) muncul lagi. Sebenarnya bukan hanya keluarga Jokowi saja yang sedang mendapat sorotan.

Selain Jokowi, masih ada Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang merestui putrinya, Siti Nur Azizah maju menjadi calon Wali Kota Tangerang Selatan, Banten. Siti kemungkinan besar akan berhadapan dengan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, keponakan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto.

Bicara daerah Banten, tentu kita jadi ingat mantan Gubernur Ratu Atut Chosiyah -terpidana kasus korupsi- yang pernah disorot media karena banyak kerabatnya yang menduduki jabatan strategis sebagai kepala daerah dan DPRD di beberapa kabupaten/kota di provinsi tersebut.

Tersiar kabar, pada Pilkada di Tangerang Selatan nanti, Putra Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah (adik Atut), Pilar Saga Ichsan, dikabarkan bakal ikut berkontestasi. Begitu pun adik Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diani (adik ipar Atut), Aldrin Ramadian, yang dikabarkan tertarik menggantikan posisi kakaknya.

Kembali ke lingkaran istana, ada nama Hanindhito Himawan Pramana, merupakan putra Menteri Sekretaris Negara, Pramono Anung juga dikabarkan akan maju menjadi calon Bupati Kediri, Jawa Timur. Di luar Jawa, sejumlah kepala daerah juga menyokong sanak-familinya bertarung dalam pilkada serentak tahun ini.

Etika Politik

Ihwal boleh tidaknya kerabat pejabat negara maju dalam Pilkada jelas tak perlu diperdebatkan lagi. Aturan dan ketentuan yang ada jelas membolehkan, tidak ada regulasi yang dilanggar. Mahkamah Konstitusi pada 2015 pun sudah menghapus pasal antipolitik dinasti pada UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang menerangkan syarat calon kepala daerah tak boleh mempunyai konflik kepentingan dengan petahana. Sehingga jelas, merupakan pelanggaran hukum sekaligus praktik diskriminasi ketika misalnya kita ingin mengatakan kerabat pejabat dilarang keras maju di Pilkada. Ada hak konstitusional warga negara yang dilanggar.

Bila boleh atau tidaknya sudah ada jawaban, bagaimana bila bicara elok atau tidak? Pikiran dan perasaan sebagian kalangan dalam menilai praktik politik kekerabatan ternyata masih cenderung bernada negatif. Politik kekerabatan dinilai sangat berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan sebagian orang. Demikian halnya, prinsip check and balance antar pemangku kekuasaan berpotensi hilang.

Baru-baru ini kita dikejutkan kasus korupsi di kabupaten Kutai Timur. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati sekaligus Ketua DPRD nya, yang tak lain merupakan pasangan suami-istri. Seharusnya, dalam praktik berdemokrasi, salah satu tugas penting lembaga legislatif adalah mengawasi kinerja eksekutif. Pada kasus di Kutai Timur, hampir dapat dipastikan fungsi pengawasan tidak berjalan, yang ada justru kongkalikong.

Ihwal majunya kerabat pejabat publik dalam kontestasi Pilkada juga menimbulkan banyak tanya dalam benak kita. Apakah partai politik sudah melakukan praktik demokrasi yang sehat dan tidak diskriminatif saat akan mengambil keputusan memilih calon yang akan diusung? Apakah sudah ada uji kompetensi dan pertimbangan matang terkait rekam jejak/pengalaman, dan lain sebagainya, guna memilih kandidat terbaik tanpa adanya intervensi dari pihak lain? Apakah sudah menjadikan pertimbangan kemaslahatan bagi rakyat sebagai hal yang paling utama dibandingkan sekadar urusan memenangkan kontestasi?

Dalam konteks Pilkada Solo misalnya. Agak mengherankan ketika PDIP akhirnya menganulir putusan Pimpinan Cabang, menggantikan Achmad Purnomo, kader senior partai yang sudah berpengalaman sebagai wakil walikota, dengan seorang anak muda yang rekam jejak politiknya (apalagi di birokrasi) nyaris nihil untuk maju di Pilkada.

Memang, Solo bisa dikatakan sebagai “kandang banteng”. Siapapun calon yang dimajukan PDIP biasanya hampir dapat dipastikan akan memenangkan pertarungan. Indikasinya, saat ini pun partai politik yang ada justru berlomba memberikan dukungan pada Gibran. Sampai muncul prediksi, Gibran tidak akan punya kompetitor di Pilkada nanti, alias hanya akan melawan kotak kosong.

Sekali lagi, sangat wajar bila kita bertanya-tanya dengan proses pengambilan keputusan di PDIP. Pertanyaan lainnya, benarkah Presiden Jokowi tidak punya andil sama sekali dalam proses pengambilan keputusan tersebut? Uniknya, sesuai pengakuan Purnomo, Presiden Jokowi justru menjadi orang pertama yang mengabarkan pada dirinya mengenai keputusan partai terkait pencalonan Gibran. Purnomo dipanggil langsung oleh Jokowi ke kantor kepresidenan.

Saya sangat sepakat, atas nama etika politik, rasanya akan lebih elok bila kerabat-kerabat pejabat publik yang masih aktif agar bisa menunda ambisi politiknya untuk maju di kontestasi Pilkada. Lain hal bila pejabat tersebut sudah tidak menjabat lagi.

Pilihan Rakyat

Mungkinkah praktik politik kekerabatan itu dihentikan atau minimal direm? Ataukah jangan-jangan, itu cuma kemustahilan? Bila secara legal-formal sudah tidak bisa diganjal, secara etika pun tidak dimaknai apa-apa?

Tentu saja bisa. Tidak ada yang mustahil. Pilkada adalah salah satu bentuk ajang pesta demokrasi yang menjamin daulat rakyat. Partai politik bahkan kandidat boleh berharap, tetapi rakyat selaku pemilih yang akan menentukan.

Andaipun seluruh partai politik sudah berkoalisi mendukung satu kandidat, bila mayoritas pemilih memang tidak berminat, apapun bisa saja terjadi. Kita pernah punya pengalaman ketika ada pasangan kandidat yang justru dikalahkan “kotak kosong” saat pemungutan suara Pilkada.

Bila pemilih sudah jengah dengan praktik politik kekerabatan, bukan tidak mungkin satu persatu kandidat yang dijagokan akan berguguran. Pemilih punya kuasa dan sangat bisa untuk menjatuhkan hukuman pada partai politik bila dianggap sudah menciderai hakikat berdemokrasi.

Tentu akan sangat berbeda ceritanya bila mayoritas pemilih justru tidak mempermasalahkan praktik politik kekerabatan itu. Entah karena sangat yakin kandidat yang diajukan parpol memang pilihan terbaik dan paling berkualitas. Entah karena apatis. Atau entah karena sudah menerima amplop “serangan fajar”? Siapa yang tahu?.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya