Solusi Konfrontasi Lahan di Dayak Modang Long Wai

Mahasiswa
Solusi Konfrontasi Lahan di Dayak Modang Long Wai 12/03/2021 1763 view Budaya kupastuntas.co

Dua pihak yang memiliki kepentingan dan orientasi yang berbeda pada dasarnya sulit untuk hidup bersama. Hal itulah yang dialami oleh masyarakat Dayak Modang Long Wai (Long Bentuk), Kutai Timur, Kalimantan Timur ketika berhadapan dengan kepentingan perusahaan sawit PT. Subur Abadi Wana Agung (SAWA) yang beroperasi di daerah tersebut.

Konflik yang terjadi ialah soal penggusuran tanah ulayat Dayak Modang Long Wai seluas 4.000 hektar oleh pihak PT. SAWA tanpa seizin masyarakat setempat; kemudian tanah gusuran itu ditanami sawit oleh pihak perusahaan. Masyarakat Dayak Modang merasa kecewa dengan kesewenangan PT. SAWA, sehingga mereka melakukan pemortalan jalan guna menghentikan sementara aktivitas operasional perusahaan dan meminta pertanggung jawaban atas apa yang telah dilakukan terhadap tanah ulayat mereka (TribunKaltim.co 07/02/2012).

Namun pihat PT. SAWA tidak setuju dengan tindakan pemortalan dan tuntutan yang dilakukan pihak masyarakat Dayak Modang. Pihak perusahaan menyatakan telah mengganti rugi atas seluruh bidang tanah yang dipersoalkan oleh masyarakat Dayak Modang Long Bentuk. Untuk menjaga status quo, pihak perusahaan menurunkan pihak aparatur untuk membubarkan aksi demo, bahkan menangkap tiga tokoh masyarakat Dayak Modang, mereka adalah: Daud Luwing, Benediktus Beng Lui, dan Elisason; tapi kemudian mereka dibebaskan atas tuntutan masyarakat Dayak Modang (TribunKaltim.co 07/02/2021, 22:04). Berbagai pihak telah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan mengusahakan solusi yang tepat atas persoalan yang terjadi.

Konflik sengketa lahan di atas sebenarnya merupakan konflik kepentingan: yang satu memiliki kepentingan ekonomis-kapitalis (PT. SAWA), sedangkan yang satu memiliki kepentingan humanis-tradisional (berkaitan dengan hak-hak, budaya dan tradisi nenek moyang Dayak Modang).

Sekilas Pandang Tentang Kapitalisme

Kapitalisme secara etimologis berasal dari Bahasa Latin; ‘caput’, yang berarti kepala, kehidupan, dan kesejahteraan. Dalam anatomi tubuh manusia, kepala merupakan bagian tubuh yang sangat penting dan krusial; ketika kepala itu hancur maka manusia akan mati. Maka, seseorang akan menjaga kepalanya dengan berbagai cara agar ia bisa bertahan hidup.

Berdasarkan etimologi dan analogi tersebut, dapat dipahami bahwa kapitalisme adalah upaya untuk mengusahakan kesejahteraan, menjaga kehidupan dan survival (bdk. dosenpedidikan.co.id, 30/12/2020). Dalam pengertian awal ini makna kapitalisme masih bersifat positif, namun ketika kapitalisme menjadi sebuah ideologi maknanya pun berubah, yakni mengejar keuntungan sebesar-besarnya demi kepuasan diri pribadi.

Kapitalisme pertama kali berkembang di Inggris pada abad 18 M dan menyebar luas ke kawasan Eropa Barat laut dan Amerika Utara. Adam Smith disebut-sebut sebagai bapak kapitalisme atau pelopor semangat kapitalis dalam sistem ekonomi. Dalam bukunya The Wealth of Nations (1776), Smith mengekspresikan gagasan laissez faire dalam ekonomi yang berarti kebebasan penuh individu-individu untuk mengejar kepentingan-kepentingan pribadi - ekonomi (bdk. Kristeva, 2015: 15). Gagasan ini pun meluas ke berbagai kawasan dan merasuk ke berbagai sektor perekonomian.

Gagasan ekonomi-kapitalis yang diusung oleh Adam Smith kemudian banyak diadopsi oleh lembaga perekonomian, perusahaan-perusahaan. Memang awalnya perusahaan-perusahaan yang ada mencanangkan program kesejahteraan bersama, tetapi akibat kapitalisme bukan kesejahteraan umum lagi yang diusahakan melainkan kesejahteraan pribadi dengan mengeksploitasi alam demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Semangat kapitalisme membuat perusahaan-perusahaan memandang alam dari sisi utilitasnya.

Kapitalisme PT. SAWA

PT. Subur Abadi Wana Agung (SAWA) merupakan salah satu perusahaan sawit yang beroperasi di daerah kecamatan Busang, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Lahan yang dimiliki cukup luas tapi hal itu tentu dirasa belum cukup untuk mengisi ‘dompet’ mereka. Ketidakpuasan mereka itu pertama-tama disebabkan oleh dorongan kapitalisme. Hal itu terbukti dengan kasus sengkata lahan dengan masyarakat setempat; pihak perusahaan hendak memperluas lahan sawit agar pendapatan mereka bertambah.

Semangat kapitalisme yang telah merasuki seluruh sistem ekonomi perusahaan membuat mereka tidak lagi mementingkan keutuhan ekologis dan eksistensis masyarakat setempat yang sangat bergantung pada alam. Mereka mengeksploitasi alam (hutan) secara laissez faire karena dengan cara itulah keuntungan akan bertambah. Alam tidak lagi dipandang sebagai ‘ibu bumi’, pemelihara kelangsungan hidup manusia, tetapi sebagai objek dan komoditas yang dapat memberikan keuntungan ekonomis semata.

Keinginan untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya, pihak perusahaan akan melawan setiap orang yang menghalangi mobilitas operasional mereka. Siapa yang berani melawan mungkin akan ditangkap atau disiksa. Itulah yang terjadi dengan tiga tokoh masyarakat Dayak Modang yang sempat ditangkap oleh pihak perusahaan. Tindakan kriminalisasi ini seakan menjadi budaya yang telah mengkristal dalam tubuh perusahaan, yang tujuannya tidak lain untuk menjaga status quo.

Dayak Modang dan Alam (Tanah)

Masyarakat dayak pada umumnya memiliki hubungan yang erat dengan alam. Alam dipandang bukan sebagai objek belaka tapi subjek; artinya memiliki jiwa/roh, otonominya sendiri. Mungkin hal ini berbau panteistis-mitis, tapi itulah budaya yang hidup di tengah masyarakat dayak pada umumnya. Sehingga alam tidak akan pernah diperlakukan sebagai bahan komoditas belaka dan objek eksploitasi. Masyarakat dayak justru akan memperlakukan alam sebagai ‘ibu’, pemelihara hidup, budaya dan tradisi nenek moyang.

Eksistensi alam sangat penting dan fundamental bagi orang dayak. Dari alam, orang-orang dayak memperoleh bahan-bahan untuk melakukan ritual, obat-obatan, makanan, melangsungkan tradisi nenek moyang dan lain sebagainya. Bayangkan ketika alam mereka hancur, semua yang mereka miliki akan hilang. Alam itu bagian dari identitas diri orang dayak.

Semua itu berlaku juga bagi masyarakat Dayak Modang Long Wai. Bagi mereka, alam adalah segala-galanya: tempat untuk hidup, mencari makan, melestarikan adat, budaya dan tradisi, dan terlebih sebagai penjamin masa depan generasi mendatang. Masyarakat Dayak Modang, dan dayak pada umumnya, akan berjuang mati-matian untuk mempertahankan keutuhan alam ciptaan agar tetap harmonis. Mereka tidak hanya mementingkan kepentingan generasi sekarang, tapi juga untuk generasi mendatang. Mereka sangat terbuka terhadap tamu yang datang di daerah mereka, tapi mereka bisa saja menjadi ‘monster’ untuk melawan ‘penjajah alam’ yang mencoba mengeksploitasi budaya dan tradisi nenek moyang yang telah lama dijaga dan dilestarikan.

Maka tidak mengherankan jika masyarakat Dayak Modang Long Wai menuntut pertanggung jawaban dari pihak PT. SAWA atas semua akibat mobilitas operasional yang terjadi. Alam dan tanah ulayat mereka dieksplotasi secara laissez faire oleh pihak asing dan mencoba untuk cuci tangan atas semua akibat yang terjadi. Tidak hanya itu, tokoh-tokoh adat yang mencoba untuk mempertahankan hak dan budaya masyarakat pun ditangkap, dikriminalisasi layaknya penjahat yang melakukan kejahatan besar. Mereka akan berani mati demi menjaga saudara-saudara mereka dan alam (hutan) karena itulah budaya yang telah mengkristal dalam diri mereka.

Solusi Damai Antar Dua Kepentingan yang Berbeda

Dua orang yang berbeda kepentingan memang sulit untuk hidup bersama, tapi bukan berarti tidak bisa. Dua orang itu dapat hidup bersama bila ada konsensus yang dirumuskan bersama dan bersifat bonum commune. Dalam kaitannya dengan konflik yang terjadi antara pihak PT. SAWA dengan masyarakat Dayak Modang Long Wai, solusi yang dapat ditempuh ialah dengan merumuskan ‘Aturan Bersama’ yang bersifat ballance. Namun, kedua belah pihak tidak cukup hanya merumuskan aturan bersama, tapi harus ada konsistensi dan kesetiaan untuk menaati aturan itu. Karena aturan yang tidak disertai konsistensi hanya akan menjadi formalitas belaka; itu artinya kelak akan terjadi konflik yang sama.

Jika ‘Aturan Bersama’ yang besifat ballance, dalam artian tidak merugikan salah satu pihak, sulit untuk dirumuskan, maka kepentingan masyarakat Dayak Modang lah yang harus diutamakan, karena mengingat mereka sebagai tuan rumah. Selain sebagai tuan rumah, kepentingan masyarakat setempat memiliki sifat bonum commune, memiliki kepentingan umum dan futuris, sedangkan kepentingan perusahaan hanya sekedar untuk mengisi dompet sebagian orang.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya