Prabowo Blunder: Hak Amnesti Koruptor

Praktisi Hukum
Prabowo Blunder: Hak Amnesti Koruptor 03/01/2025 283 view Hukum Ilustrasi Prabowo Blunder: Hak Amnesti Bagi Koruptor (foto/Arie Pratama/Bloomberg Technoz)

Korupsi telah menjadi salah satu masalah utama yang dihadapi Indonesia selama beberapa dekade. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantasnya, termasuk pembentukan lembaga anti korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam konteks ini, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Namun, jika pemimpin negara memberikan pengampunan kepada koruptor, hal itu bisa menimbulkan dampak yang merugikan, baik secara hukum maupun sosial. Prabowo Subianto sebagai presiden yang berpendapat tentang pengampunan terhadap koruptor memicu perdebatan tentang apakah langkah tersebut akan memperburuk atau justru memperbaiki situasi hukum di Indonesia.

Korupsi merupakan salah satu musuh utama dalam pembangunan negara yang menghambat kemajuan ekonomi, memperburuk ketidakadilan sosial, dan merusak integritas pemerintahan. Indonesia sebagai negara hukum memerlukan sistem peradilan yang kuat untuk menanggulangi masalah ini. Namun, pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebutkan mengampuni koruptor menimbulkan kontroversi. Pengampunan terhadap koruptor dapat mengubah paradigma penegakan hukum dan merusak upaya pemberantasan korupsi.

Menilik data yang dirilis oleh KPK melalui laman webistenya kpk.go.id menyebutkan, sepanjang 2020-2024, KPK telah menetapkan 691 tersangka individu dan 6 korporasi dalam berbagai kasus korupsi. Selain itu, sebanyak 541 perkara telah diselidiki, dengan 29 di antaranya menggunakan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk memulihkan kerugian negara. Upaya penegakan hukum tidak hanya bertujuan memberikan efek jera melalui pemidanaan, tetapi juga memastikan kerugian negara akibat korupsi dapat dikembalikan. Penanganan kasus TPPU menjadi salah satu langkah strategis untuk mengamankan aset yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi.

Dan, di tengah gempurnya ‘Lembaga Antirasuah’ untuk kerja keras berantas korupsi, Presdien Prabowo Subianto malah blunder. Dikatakan ‘blunder’ karena, Prabowo mengatakan ingin memberikan kesempatan kepada koruptor untuk bertobat. Di hari-hari terakhir tahun 2024, Presiden Prabowo kembali menjadi banyak perhatian publik. Pasalnya, Ia menjelaskan soal pengampunan koruptor sampai janjinya untuk tidak menyengsarakan rakyat. Pernyataan yang diucapkannya dalam Puncak Perayaan Natal Nasional 2024 yang diselenggarakan di Kompleks Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Sabtu, 28 Desember 2024, antara lain ia membantah akan memaafkan koruptor yang sudah merugikan negara, tetapi justru meminta mereka untuk bertobat sesuai dengan ajaran agama.

Pernyataan Presiden tersebut berkaitan dengan pidato sebelumnya yang disampaikan di hadapan mahasiswa Indonesia di Kairo, Mesir, pekan lalu, yakni soal memberi kesempatan koruptor bertobat selama mereka mengembalikan hasil curiannya kepada negara. "Ada yang mengatakan bahwa Prabowo mau memaafkan koruptor. Bukan begitu. Kalau koruptornya sudah tobat, bagaimana tokoh-tokoh agama? Iya 'kan? Orang bertobat, tetapi kembalikan dong yang kau curi. Enak aja," kata Prabowo dalam momen perayaan Natal Nasional.

Wacana mengenai pengampunan terhadap pelaku korupsi atau amnesti bagi mereka yang sudah menjalani proses hukum sangat kontroversial, karena bisa dianggap sebagai bentuk kompromi terhadap hukum yang berlaku. Jika negara mengeluarkan kebijakan pengampunan bagi koruptor, hal tersebut bisa menciptakan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum dan menurunkan moralitas publik. Di sisi lain, tanpa penegakan hukum yang tegas, justru akan sulit menciptakan sistem yang adil dan bersih dari korupsi lebih khusus lagi melemahkan KPK!

Teori dan Azaz Hukum

Teori kontrak sosial, yang dikemukakan oleh tokoh seperti Jean-Jacques Rousseau, berpendapat bahwa negara ada untuk melindungi hak-hak individu dan menciptakan keadilan sosial. Dalam teori ini, warga negara memberikan persetujuan mereka untuk tunduk pada hukum demi manfaat bersama. Jika negara memberikan pengampunan kepada koruptor, ini bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap kontrak sosial, karena negara gagal untuk melindungi kepentingan masyarakat yang dirugikan oleh tindakan korupsi. Pengampunan terhadap koruptor dapat menciptakan ketidaksetaraan dan merusak legitimasi negara dalam melindungi hak-hak rakyat.

Teori Hukum Realisme Teori ini lebih menekankan pada aspek pragmatis dalam penerapan hukum, dengan melihat bahwa hukum dipengaruhi oleh situasi sosial, politik, dan ekonomi. Dari sudut pandang ini, meskipun pengampunan bisa dianggap sebagai tindakan pragmatis untuk meredakan ketegangan atau memperbaiki situasi, dalam konteks korupsi, langkah tersebut berisiko mengabaikan efektivitas jangka panjang dalam memberantas korupsi dan menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum.

Jika kita merujuk pada teori Positivisme Hukum bahwa hukum adalah seperangkat aturan yang dibuat oleh negara dan harus diterapkan tanpa mempertimbangkan faktor eksternal, seperti moralitas atau keadilan. Dari perspektif positivisme, hukum harus ditegakkan secara konsisten. Pengampunan terhadap koruptor berpotensi merusak prinsip ini karena dapat menciptakan ketidakpastian hukum. Hukum yang tidak diterapkan secara adil kepada semua orang, termasuk para koruptor, dapat merusak kredibilitas sistem peradilan.

Teori hukum lainya seperti, Teori Hukum Naturalisme Menurut teori ini, hukum tidak hanya tentang aturan yang dibuat negara, tetapi juga tentang nilai-nilai moral yang mendasarinya. Pengampunan terhadap koruptor bertentangan dengan prinsip dasar hukum naturalisme, yaitu bahwa hukum harus mencerminkan keadilan moral dan menuntut pertanggungjawaban bagi pelaku kejahatan. Korupsi adalah kejahatan yang merugikan masyarakat secara luas, dan pengampunan tidak sesuai dengan nilai-nilai moral yang mendasari penegakan hukum yang adil.

Dalam sistem hukum Indonesia, terdapat beberapa azas hukum yang menjadi dasar dalam penegakan hukum yang adil dan berkeadilan: ‘Azas Legalitas’. Azas ini menyatakan bahwa suatu tindakan hanya dapat dihukum jika sudah diatur dalam undang-undang. Koruptor harus dihadapkan pada sanksi yang jelas dan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Pengampunan yang diberikan kepada koruptor bisa dianggap melanggar azas legalitas, karena hal itu mengabaikan aturan yang ada dan memberikan perlakuan yang tidak adil kepada para pelaku kejahatan.

Selain Azaz Legalitas, pengampunan terhadap koruptor juga akan bertentangan dengan prinsip Persamaan di Hadapan Hukum. Semua individu harus diperlakukan sama di hadapan hukum, tanpa memandang status, kedudukan, atau jabatan mereka. Nah, jika wacana Presdien Prabowo Subianto memberikan amnesti terhadap koruptor berpotensi menciptakan ketidaksetaraan di hadapan hukum, di mana pelaku korupsi mendapatkan perlakuan istimewa, sementara masyarakat biasa yang melanggar hukum tidak mendapatkan kesempatan yang sama.

Jika para koruptor diberikan hak amnesti tentunya akan bertentangan juga dengan Azas Keadilan. Pada prinsipnya ‘Keadilan’ adalah prinsip yang mendasari semua tindakan hukum. Jika pengampunan diberikan kepada koruptor, maka prinsip keadilan akan terganggu karena para korban dari praktik korupsi (yakni masyarakat yang dirugikan) tidak akan mendapatkan ganti rugi atau keadilan yang seharusnya mereka terima. Oleh karena itu, pengampunan dapat merusak prinsip keadilan yang menjadi dasar penting dalam sistem hukum.

Pernyataan Prabowo mengenai “Hak Amnesti” terhadap koruptor menimbulkan dampak besar terhadap sistem hukum Indonesia. Jika pengampunan diberikan, hal ini berpotensi merusak prinsip-prinsip dasar hukum yang telah ada, seperti azas legalitas, persamaan di hadapan hukum, dan keadilan. Dari perspektif teori hukum, pengampunan bertentangan dengan prinsip keadilan yang mendasari hukum naturalisme dan positivisme. Meskipun dalam konteks pragmatisme hukum realisme dapat memandangnya sebagai langkah yang mungkin mengatasi situasi tertentu, pengampunan terhadap koruptor berisiko merusak kredibilitas dan efektivitas sistem peradilan dalam jangka panjang. Sebagai negara hukum, Indonesia harus memastikan bahwa penegakan hukum berjalan dengan adil, transparan, dan tegas, tanpa memberikan ruang bagi praktik impunitas, agar tujuan pemberantasan korupsi dan pencapaian keadilan dapat tercapai.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya