Sudahkah BPSP-RTLH Tepat Sasaran?

Mahasiswa
Sudahkah BPSP-RTLH Tepat Sasaran? 09/11/2022 129 view Lainnya lensakalbar.co.id

Indonesia merupakan salah satu negara termiskin di dunia. Menurut data versi World Bank, Indonesia menempati posisi ke 88 dari 100 negara termiskin di dunia. Dari databoks, pada Maret 2022, persentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 9,54 persen, menurun 0,41 persen poin terhadap September 2021 dan menurun 0,60 persen poin terhadap Maret 2021. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 menurun 0,34 juta orang terhadap September 2020 dan menurun 1,38 juta orang terhadap Maret 2021.

Dalam upaya mengurangi angka kemiskinan di Indonesia, pemerintah pusat telah menyalurkan berbagai bantuan kepada pemerintah daerah. Pada tahun 2022 ini, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menganggarkan dana untuk sektor rumah sebesar Rp 2,23 triliun. Angka ini setara dengan 38,02% dari total anggaran keseluruhan Kementerian PUPR yang sebesar Rp 6,9 triliun. Anggaran ini disalurkan dalam bentuk Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) untuk Rumah Tidak Layak Huni (RTLH).

Di berbagai daerah di Indonesia bantuan ini sangat membantu masyarakat. Khususnya di pedesaan, banyak rumah yang sekarang ini sudah direnovasi sehingga mereka mendapat tempat yang layak huni. Bagi masyarakat, bantuan pemerintah menjadi bukti sekaligus tanda bahwa pemerintah sungguh memperhatikan mereka. Di lain sisi, ada oknum yang memanfaatkan dana BSPS-RTLH untuk kepentingan pribadi. Banyak di antara mereka yang justru menyalurkan dana pada pihak yang seharusnya tidak mendapatkannya. Di berbagai tempat pula, dana BSPS-RTLH menjadi problema yang sering muncul dan menimbulkan keresahan di tengah kehidupan masyarakat.

Seperti yang terjadi di Lamongan, Jawa Timur. Kelompok masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Peduli Lamongan (Ampela) berunjuk rasa di depan gedung Kejaksaan Negeri (Kejari), Lamongan (Lamongan, Kompas-Jumat, 20 Mei 2022). Mereka menyoroti ada dugaan korupsi Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) untuk Rumah Tidak Layak Huni (RTLH). Koordinator lapangan aksi, Rois Putra mengatakan, ada empat poin tuntutan dalam unjuk rasa tersebut. Salah satu yang paling utama adalah mendesak Kejari Lamongan untuk menindaklanjuti dugaan korupsi dana BSPS-RTLH di Desa Sungegeneng, Kecamatan Sekaran, Lamongan.

Peristiwa yang terjadi di Lamongan, saya rasa juga terjadi di desa saya, yakni di Seneban, Kalimantan Barat. BSPS-RTLH yang dicairkan oleh pemerintah desa belum ada transparansi yang jelas. Artinya apa? Masyarakat tidak mengetahui secara pasti apakah dana yang ditetapkan oleh pemerintah sudah sesuai atau belum dengan material yang diberikan oleh pemerintah setempat.

Saat saya mencoba melihat, penyaluran BSPS-RTLH di kampung saya juga sangat memprihatinkan. Saya merasa bahwa dana yang diberikan kepada masyarakat tidak tepat sasaran. Orang-orang yang mendapatkan bantuan ini, justru mereka yang mempunyai penghasilan yang cukup. Sedangkan sasaran utama yang sebenarnya adalah mereka yang benar-benar tidak mampu. Hal ini menjadi indikasi bahwa pemerintah setempat belum melayani masyarakat secara maksimal. Mereka hanya bekerja karena tuntutan, bukan berdasarkan fakta dan realita di lapangan. Mereka hanya memikirkan keluarga mereka, tanpa pernah memperdulikan mereka yang sungguh menderita.

Melihat BSPS-RTLH menuai banyak kontroversi adalah tanggung jawab pihak berwajib untuk mengusutnya. Pemerintah pusat perlu berkoordinasi secara serius dengan pemerintah daerah. Sebab kalau tidak, kasus atau penyelewengan BSPS-RTLH bisa terus berlanjut. Jikalau hal ini terus terjadi, dampak buruk yang ditimbulkan akan sangat besar.

Pertama, bagi pemerintah. Pemerintah akan sia-sia mengalokasikan dana kepada masyarakat. Mereka tidak akan pernah sampai pada tujuan utama dari alokasi dana. Akibatnya, tingkat kemiskinan akan terus merajalela. Mereka hanya akan membuang waktu dan kehilangan anggaran karena oknum yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, mereka juga akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Masyarakat yang mengharapkan kesejahteraan dari pemerintah akan sangat kecewa, apabila janji yang telah mereka terima tidak mampu terpenuhi dengan baik.

Kedua, bagi masyarakat. Masyarakat tentu mengharapkan yang terbaik dari pemerintah. Masyarakat akan merasa sangat bahagia apabila kondisi dan situasi hidup mereka diperhatikan oleh pemerintah. Namun sebaliknya, apabila masyarakat tidak mendapatkan haknya, mereka tidak akan pernah lagi percaya pada pemerintah. Mereka akan berkesimpulan bahwa pemerintah tidak pernah mempedulikan hidup mereka. Pemerintah hanya sibuk dengan urusannya sendiri. Mereka hanya ingin meraup kekayaan dari uang rakyat.

Maka, untuk mencegah tikus-tikus beraksi perlu ada bukti yang jelas terkait pencairan dana. Jangan sampai ada pihak-pihak yang bermain di dalamnya. Jangan sampai kemiskinan rakyat bertambah dan hak mereka dirampas oleh oknum yang rakus. Jikalau pun ada yang tercium busuknya, hendaknya pihak yang berwajib segera bertindak. Mereka harus mengusutnya sampai tuntas. Jangan sampai masyarakat yang harus turun tangan untuk mencari kebenaran dan menjadi hakim.

Begitu pula dengan pihak-pihak yang berada di lapangan. Seharusnya, mereka mempunyai data yang valid atau akurat terkait data penduduk. Sebab yang menjadi permasalahan adalah adanya ketidaksesuaian antara penerima bantuan dengan fakta di lapangan. Pemerintah daerah perlu menyaring secara detail terkait data penerima bantuan. Dengan adanya data yang akurat, bantuan tidak akan salah sasaran. Dengan demikian, tingkat kemiskinan akan teratasi dan pemerintah tidak perlu mengeluarkan anggaran dalam jumlah yang sangat besar terkait pembangunan “rumah” di Indonesia.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya