Aksi Massa dan Imajinasi Politik Alternatif

Mahasiswa S1 Teknik Industri. Sobat ambyar.
Aksi Massa dan Imajinasi Politik Alternatif 03/10/2019 1392 view Politik tempo.co

Pada 30 September lalu,gelombang aksi massa besar-besaran terjadi di banyak kota di Indonesia. Aksi massa yang dilakukan elemen mahasiswa itu barangkali adalah demonstrasi dengan mobilisasi massa terbesar oleh mahasiswa pasca reformasi 1998.

Perlu kita pahami, bahwa aksi massa yang terjadi tersebut bukan hanya tentang masalah penolakan RUU yang dianggap tidak melibatkan partisipasi masyarkat sipil dalam penyusunannya. Lebih dari itu, aksi massa #Reformasidikorupsi, #GejayanMemanggil dan berbagai aksi massa di kota lainnya di Indonesia adalah sebuah bentuk akumulasi kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap pengelolaan negara serampangan oleh pemerintah.

Makanya, akan terdengar sangat lucu mendengar bagaimana generasi baby boomers atau mereka yang mendaku aktivis ’98 mengatakan bahwa aksi massa yang diadakah pada tangga 30 September yang lalu sudah tidak relevan lagi karena RUU yang coba ditolak sudah ditunda dan dibatalkan dan Presiden sudah berencana untuk mengelarkan Perppu terkait UU KPK.

Jika saja mereka sedikit membaca tuntutan yang disuarakan dalam aksi massa yang berlangsung, barangkali mereka akan paham kenapa para demonstran masih memiliki alasan untuk turun ke jalan. Atau barangkali mereka memang dengan sengaja ingin mengkerdilkan aksi yang berlangsung.

Salah satu akumulasi kekecewaan para demonstran adalah persoalan konflik agrarian yang tidak kunjung menemui penyelesaian. Hampir di seluruh wilayah Indonesia, terjadi konflik agraria yang melibatkan masyarakat kecil. Kita bisa melihat bagaiman konflik agraria yang terjadi di Urutsewu wilayah pesisir Kebumen selatan. Konflik perebutan hak atas tanah antara petani lokal dengan TNI AD yang mengklaim bahwa tanah sepanjang 22,5 km di sepanjang pantai Urut Sewu adalah milik mereka.

Hingga hari ini, konflik di Urut Sewu masih belum menemui titik terang. Beberapa minggu yang lalu, kita masih menyaksikan di media sosial bagaimana para tantara memukuli para petani yang menolak pemagaran di wilayah mereka.

Selain itu, penyelesaian kebakaran lahan hutan di Sumatera dan Kalimantan tidak kunjung menemukan penyelesaianya. Sedangkan di Papua, aparat militer diturunkan dalam jumlah besar untuk meredam gerakan masyarakat sipil yang menuntut terciptanya demokrasi di tanah mereka.

Imajinasi tentang demokrasi alternatif

Besarnya eskalasi konflik yang muncul dalam waktu belakangan, memuncul akumulasi kekecawaan publik terhadap tata kelola negara yang syarat akan kritik. Pengambilan kebijakan yang diambil oleh pemerintah pun menunjukan kepada kita bahwa ruang masyarakat sipil untuk ikut terlibat memberikan saran diamputasi. Dengan melihat rangkaian eskalasi konflik yang muncul belakangan ini apakah belum mampu untuk memunculkan kesadaran kita bersama?

Negara atau state bukanlah sesuatu yang homogen, dan negara bukanlah sebuah konsep yang utuh. Ada begitu banyak kepentingan yang sarat dengan tarik ulur kepentingan dalam penyelenggaraan negara.

Hal itu menyebabkan munculnya aktor-aktor yang dapat memanipulasi kebijakan negara sehingga hanya menguntungkan sebagian kelompok saja. Para ilmuwan ekonomi-politik menyatakan bahwa kebanyakan negara hari ini dikuasai oleh aktor-aktor politik oligarki, termasuk Indonesia. Sehingga imajinasi tentang demos dalam demokrasi hanya terlihat seperti bualan semata.

Dalam studinya, Winters (2013) mengatakan, satu-satunya yang berubah di Indonesia pasca reformasi hanyalah; Indonesia tidak lagi dikuasai oleh satu orang diktator. Sementara itu, para kroni-kroni Soeharto dan orang-orang lingkaran orde baru lainnya tetap bertahan hingga menciptakan politik. Desentralisasi kekuasaan yang ada saat ini memudahkan para kartel-kartel politik tersebut untuk mendapatkan kontrak-kontrak dan konsesi.

Dari hal di atas, kita dapat melihat bahwa gerakan demostrasi beberapa waktu yang lalu bukan hanya dipengaruhi oleh kebijakan atas RUU yang dianggap merugikan masyarakat. Gerakan aksi massa tersebut mencoba untuk turut serta menyampakain aspirasi tentang narasi demokrasi alternatif yang melibatkan masyarakat sipil di dalamnya.

Dalam rilis kajian aksi yang dibuat oleh Aliansi Rakyat Bergerak, dapat kita lihat bahwa gerakan massa #GejayanMemanggil merupakan sebuah bentuk manifesto untuk mengkonsolidasikan partisipasi publik untuk mengajukan klaim terhadap demokrasi.

Saya yakin, bahwa aksi-aksi tersebut tidak hanya akan berhenti di jalanan. Diperlukannya perumusan yang lebih mendalam untuk menciptakan public engagement yang terstruktur untuk memperkuat bargaining position masyarakat sipil untuk menentukan arah kebijakan negara.

Partisipi publik yang dirumuskan dalam civic engagement tersebut merupakan kunci untuk merobohkan tembok-tembok sentralisasi kekuasaan yang selama ini hanya menjadi permainan rekayasa para oligarki.

Oleh karena itu, narasi demokrasi alternatif menjadi sangat vital. Untuk mewujudkan kesadaran mayarakat untuk mampu terlibat aktif dan berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan public tersebut dibutuhkannya pendidikan politik yang mampu membongkar hegemoni yang ditatanam oleh para penguasa. Sehingga nantinya, kita semua mampu untuk menarasikan klaim atas demokrasi alternatif, entah itu di sudut-sudut kantin kampus, di pojokan pasar, dan mengisi ruang demokrasi dengan aksi langsung turun ke jalan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya