RUU Pemilu 2021 : Perlukah Mengganti Sistem Proporsional Terbuka?

Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia, Analis Politik dan Kebijakan Publik
RUU Pemilu 2021 : Perlukah Mengganti Sistem Proporsional Terbuka? 17/02/2021 1079 view Politik Logo KPU Sumber Kabar24.Bisnis.com

Salah satu pasal krusial yang akan dibahas dalam RUU Pemilu adalah terkait dengan sistem pemilu. Pembahasan mengenai sistem pemilu ini penting. Pertama, karena akan menentukan masa depan pemilihan umum yang berlangsung di Indonesia.
Kedua, pembahasan ini akan bersinggungan langsung dengan keberlangsungan dua unsur penting dalam pelaksanaan pesta demokrasi pemilihan umum di Indonesia, yaitu partai politik sebagai peserta pemilu dan penyelenggara pemilu

Dalam teori ilmu politik, sistem pemilu adalah sekumpulan aturan yang menstruktur bagaimana suara diberikan pada wakil rakyat dan bagaimana suara ini kemudian dikonversi menjadi kursi ke dalam lembaga perwakilan. Indonesia sendiri sejak pemilu 2014 menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka. Pada dasarnya sistem proporsional terbuka adalah sistem perwakilan proporsional yang menggunakan suara terbanyak untuk menentukan calon legislator yang akan duduk di kursi parlemen.

Pada dasarnya penerapan sistem proporsional terbuka ini sesuai dengan semangat demokratisasi yang sedang dijalankan negara kita pasca peristiwa reformasi lalu.

Jika dibanding dengan sistem tertutup misalnya, sistem proporsional terbuka ini memang lebih demokratis karna tiap-tiap calon anggota legislatif mempunyai kesempatan yang sama dalam pemilu dan masyarakat pun lebih leluasa dalam menentukan pilihan.

Dalam sistem terbuka ini rakyat benar-benar memastikan bahwa para wakil rakyat nya nanti adalah murni pilihan rakyat bukan pilihan partai.

Berbanding lurus dengan hal tersebut ruang untuk partisipasi publik baik dalam hal mencalonkan diri maupun memilih dalam pemilu pun meningkat, kondisi ini merupakan kondisi yang ideal jika kita berkaca pada salah satu prinsip dalam demokrasi yaitu semakin tinggi partisipasi masyarakat maka semakin demokratis.

Akan tetapi setelah sistem ini diterapkan memang terdapat banyak catatan kelemahan dalam implementasinya di lapangan diantaranya adalah meningkatnya politik uang. Beberapa penelitian mencatat bahwa pasca diberlakukanya sistem terbuka ini praktik politik uang dalam pemilu cenderung meningkat.

Hal ini disebabkan sistem terbuka yang diterapkan justru membuat para calon anggota legislatif berlomba-lomba untuk mendapat suara tertinggi dengan berbagai cara salah satunya yang paling masif terjadi adalah dengan cara politik uang yaitu membagi-bagi uang kepada pemilih.

Dalam studi yang dilakukan oleh Burhanudin Muhtadi yang berjudul “Politik Uang dan New Normal Paska-Orde Baru” menegaskan bahwa sistem proporsional terbuka berkontribusi atas maraknya politik uang karena caleg dipaksa bertarung antarsesama caleg dalam satu partai untuk mengejar personal vote.

Kemudian, karena kursi yang diperoleh partai diberikan kepada kandidat dengan suara terbanyak, maka mereka hanya memerlukan “sedikit” suara untuk mengalahkan rival separtainya. Politik uang di sini merupakan mekanisme diferensiasi seorang caleg dalam rangka memberi nilai lebih di mata pemilih dibanding pesaing internal.

Persaoalan lainnya adalah penerapan sistem proporsional terbuka dinilai sebagai pintu masuk bagi jaringan oligarki bisnis. Berbanding lurus dengan meningkatnya politik uang maka biaya yang dibutuhkan para calon dalam sistem proporsional terbuka juga meningkat.

Maka dalam hal ini para calon yang mempunyai sumber daya kapital yang tinggi atau bagi mereka yang didukung oleh kelompok yang mempunyai sumber daya yang tinggi yang akan berpeluang lebih besar untuk lolos.

Imbas dari hal ini tidak mengherankan jika kita lihat dalam beberapa tahun ke belakang mayoritas penghuni parlemen berlatar-belakang para pengusaha dan tokoh populis seperti public figure dan artis, sementara para aktivis bahkan petinggi partai seringkali tersingkir dalam sistem proporsional terbuka ini.

Hal diatas dikuatkan oleh data yang dirilis oleh Majalah Tempo yang memaparkan dari 575 anggota DPR RI terpilih periode 2019-2024,sejumlah 262 anggota DPR diantaranya memiliki latar belakang sebagai pengusaha.

Mereka tercatat memiliki saham, menjabat komisaris, hingga menduduki kursi direksi di total; 1.016 perusahaan. Dari segi sektor bisnis mereka merambah sektor penyiaran, perdagangan umum, hingga industri ekstraktif.

Pada akhirnya data ini menyimpulkan bahwa sejak diberlakukanya sistem pemilu proporsional terbuka dari periode ke periode DPR-RI grafik anggota DPR-RI berlatar belakang pengusaha selalu mengalami kenaikan.

Indonesian Corruption Watch (ICW) mengindikasikan usaha yang dijalankan anggota dewan itu memiliki potensi konflik kepentingan karena berkaitan dengan jabatannya konflik kepentingan itulah yang menurut ICW sebagai pemicu utama korupsi yang dilakukan para anggota dewan.

Anggota DPR terpilih tersebut disinyalir bakal menduduki komisi-komisi di DPR sesuai dengan bidang bisnisnya dan di sinilah biasanya terjadi konflik kepentingan. Sehingga ditakutkan terjadi politik oligarki yaitu politik yang dijalankan oleh segelintir orang tertentu demi kepentingan kelompoknya.

Kemudian, penerapan sistem proporsional terbuka dinilai melemahkan institusi partai politik. Sistem terbuka ini berpotensi melemahkan kontrol partai politik terhadap anggotanya di parlemen sehingga para anggota legislatif memiliki keleluasaan dengan mengatasnamakan kepentingan konstituen atau yang lebih buruk kepentingan pribadi/ bisnis di belakang mereka.

Terakhir, dari sisi rekrutmen, imbas dari sistem terbuka ini partai politik cenderung lebih mengambil sikap pragmatis dalam hal rekrutmen calon anggota legislatif. Sehingga di beberapa partai sangat jelas terlihat calon-calon populis mendapat prioritas untuk dicalonkan partai dalam kontestasi dibanding kader internal partai.

Calon populis di sini merujuk pada public figure, artis dll. Terkadang mereka dicalonkan tanpa memperhatikan kapasitas dari sang calon tersebut karena di satu sisi partai pun harus pragmatis mendapatkan suara sebanyak-banyaknya dari calon populis tersebut.

Dari sisi internal persaingan dalam tubuh partai sendiri menjadi tidak sehat dikarenakan sistem proporsional terbuka menciptakan persaingan terbuka antar kader yang kadang membuat sesama kader dalam satu partai saling sikut satu sama lain demi mendapatkan satu kursi.

Pada akhirnya peneliti ilmu politik dari Universitas Leiden Ward Berenschot secara keseluruhan mengungkapkan pasca diterapkanya sistem pemilu proporsional terbuka proses demokrasi di Indonesia dinilai sudah berjalan baik terutama dalam hal perwakilan berbagai kelompok etnis dan agama. Namun, dari sisi kelas sosial, demokrasi masih belum representatif lantaran dominasi pelaku bisnis dan elite ekonomi yang menduduki posisi anggota parlemen, gubernur, hingga bupati.

Dari pemaparan di atas kemudian mucul pertanyaan, haruskah kita kembali ke model sistem proporsional tertutup dalam pemilu. Desakan penggantian sistem pemilu ini akhir-akhir ini bahkan muncul dari beberapa pakar dan pengamat di bidang ilmu politik bahkan beberapa fraksi di DPR telah mengusulkan untuk mengganti sistem pemilu kita kembali ke sistem proporsional tertutup

Memang beberapa catatan kelemahan dari sistem proporsional terbuka di atas dapat diatasi dengan sistem proporsional tertutup. Akan tetapi menurut pendapat penulis secara pribadi membandingkan kedua sistem ini “secara utuh” bukanlah jalan keluar bagi terciptanya demokrasi pemilu yang ideal karena masing-masing sistem punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Koordinator Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz dalam wawancaranya yang dikutip dari website hukumonline.com memaparkan meski terdapat beberapa kekurangan dalam sistem proporsional terbuka, ia menyarankan agar mempertahankan sistem proporsional terbuka. Alasannya, agar tetap dapat meningkatkan partisipasi politik pemilih. Kemudian menjaga relasi pertanggungjawaban pemilih dengan calon terpilih atau wakil rakyat, dan menekan oligarki partai politik.

Menurut pendapat penulis, pada akhirnya perlu dicari jalan keluar berupa sistem pemilu baru yang mengakomodir kelebihan dan meminimalisir kekurangan dari kedua sistem tersebut.

Beberapa saat lalu dilansir dari rilis rumahpemilu.org, LIPI merekomendasikan sistem pemilu campuran atau paralel dalam buku “ Adaptasi Sistem Pemilu Paralel bagi Indonesia”. Buku itu merupakan hasil kumpulan naskah riset yang sudah dijalankan LIPI selama tiga tahun.

Sistem pemilu campuran pada dasarnya adalah memilih anggota parlemen di mana sebagian dipilih melalui sistem proporsional dan sebagian dipilih melalui sistem mayoritarian. Sistem pemilu campuran ini disebut-sebut mampu menggabungkan kelebihan dari dua sistem sekaligus. Dia akan mendorong kebaikan dari sistem proporsional dan di sisi lain juga akan menerapkan tingkat kebaikan dari sistem mayoritarian.

Meskipun masih diperdebatkan dalam implementasinya namun menurut pendapat penulis pribadi sistem ini adalah yang paling mendekati ideal karena hasil penggabungan yang berdasarkan riset evaluasi dari kelebihan dan kekurangan dua sistem utama pemilu yang kita gunakan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya