Perempuan Pahlawan

"Wahai kaoemkoe pehak perempoean, saja memperingatkan, djikalau boekan kita sendiri misti memperbaiki nasib kita dengan sekeras-kerasnja, dan bila kita asik masoek dengan kelemahan kita dan ketjantikan kita, soedah tentoelah kita akan tinggal tertjitjir selama-lamanja."(Perempoean Bergerak, edisi 1919)
Sejarah gemilang bangsa Indonesia tidak terlepas dari jasa para pahlawan. Hingga hari ini kita terus memperingati jasa-jasa para pahlawan. Sebagian di antaranya mendapat gelar pahlawan. Sebagian besar lainnya tidak tercatat. Termasuk di antaranya adalah jasa para pahlawan perempuan.
Penyebutan pahlawan tentu bukan dipilih secara acak namun karena terbukti sumbangsihnya pada bangsa dan negara. Peran dan jasa perempuan bukan hanya mereka yang tersebut sebagai tokoh dan pemimpin, banyak juga yang berjasa dalam bidang lainnya namun tidak dikenal sehingga tidak dikenang.
Dalam catatan sejarah bangsa kita terdapat banyak perempuan yang turut berjasa namun namanya tidak dikenal secara luas dan dengan demikian tidak dikenang. Ada lebih banyak lagi yang nama dan kisahnya pun tidak diketahui walaupun sudah banyak berbuat bagi sesama dan terutama, bangsa dan negara. Beberapa sosok di bawah ini adalah sosok perempuan hebat namun kurang dikenang.
Dari Bali ada Dewa Agung Istri Kanya, Lalu Ratu Kalinyamat atau Retna Kencana, Rd. Ayu Lasminingrat, Monia Laturina. Ada pula pahlawan literasi dari Perempoean Bergerak, yang terbit untuk menyokong pergerakan kaum perempuan Medan Deli. Terdapat sosok Boetet Satidjah, Anong S. Hamidah, Ch. Barijah, dan Siti Sahara. Di Sumatra Barat juga ada penulis perempuan seperti Sariamin Ismail. Dari sektor buruh, kita bisa mengenal nama Setiati Surasto. Selain itu ada pula Surastri Karma Trimurti (Soerastri Karma Trimoerti), seorang yang berprofesi wartawan, penulis dan guru Indonesia.
Beberapa tokoh perempuan keturunan Tionghoa juga turut andil dalam pergerakan kemerdekaan seperti Raden Ayu Tan Peng Nio. Ada juga Nyonya Liem Koen Hian, The Sin Nio. Selain itu ada Aw Tjoei Lan atau Njonja Kapitein Lie Tjian Tjoen, adalah seorang dermawan Tionghoa-Indonesia dan pendiri yayasan Ati Soetji (EYD: Hati Suci).
Tokoh perempuan lainnya adalah Tamu Rambu Margaretha, perempuan Sumba, yang bergerak di isu pembebasan budak di Sumba. Johanna Tumbuan Masdani, perempuan pembaca naskah Sumpah Pemuda 1928 asal Sulawesi Utara. Dan Ni Sombro seorang empu pembuat keris perempuan pada abad 10 dari Bumi Parahyangan era Padjajaran.
Para tokoh perempuan ini nyaris terlupakan. Buah perjuangan mereka membuat kita bisa menikmati berbagai kemudahan di masa kini. Namun di era kemerdekaan dan kemajuan teknologi saat ini, tidak semua perempuan bisa menikmati kesejahteraan. Bahkan dalam masyarakat modern yang patriarkis, perempuan terus dihantui oleh kekerasan. Kekerasan terjadi di lingkup domestik dan publik. Bentuk kekerasan pun beragam dari kekerasan seksual hingga kekerasan ekonomi dan politik. Bahkan sering terjadi kekerasan ekonomi dan politik diikuti pula dengan kekerasan seksual.
Sebagai contoh, kekerasan ekonomi yang dilakukan oleh kolektif seperti dalam koflik agraria. Selama 2021 terjadi 207 konflik agraria yang bersifat struktural. Ratusan konflik tersebut berlangsung di 32 provinsi dan tersebar di 507 desa dan kota serta berdampak pada 198.895 Kepala Keluarga (KK) dengan besaran tanah berkonflik seluas 500.062,58 hektar. Dari sisi korban terdampak terjadi kenaikan signifikan. Pandemi Covid-19 tidak menghentikan praktik perampasan tanah di lapangan. Bahkan, pandemi memberi alasan bagi pemerintah untuk memperluas ekspansi bisnis dan pembangunan berbasis sumber-sumber agraria dengan dalih pemulihan ekonomi.
Di hari pahlawan ini, selain mengenang jasa mereka, kita setidaknya juga dapat berbuat untuk memperjuangkan kaum perempuan yang masih terlanggar hak-haknya. Pelanggaran hak-hak perempuan menjadi catatan buruk yang tidak sebanding dengan perjuangan para pahlawan perempuan di masa lalu.
Di sekitar kita ada banyak perempuan yang juga peduli dan berjuang bagi perempuan lain di berbagai sektor. Para pejuang ini tidak dikenal dan mungkin tidak memiliki tujuan untuk menjadi terkenal. Perjuangannya semata demi kemanusiaan, demi kehidupan yang adil bagi semua.
Ketidakadilan dan sikap diskriminatif masih terjadi bukan hanya terhadap perempuan namun kelompok rentan yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat. Seperti ada banyak perempuan di masa kemerdekaan yang tidak tersebut namanya karena bukan tokoh dan sosok pemimpin namun turut berjuang dan mengorbankan nyawanya, kita juga bisa melanjutkan perjuangan mereka. Kita bisa mulai dengan hal-hal sederhana seperti peduli pada situasi perempuan saat ini, turut menyuarakan ketidakadilan melalui berbagai platform. Atau, jika tidak bisa menjadi pahlawan bagi orang lain, setidaknya jadilah pahlawan bagi diri sendiri.
Hingga kini, pemerintah masih belum menetapkan para tokoh perempuan ini sebagai pahlawan nasional. Namun tanpa perlu menunggu, kita bisa mengenal dan mengenang mereka. Lalu memperkenalkan kiprah mereka agar dikenal oleh kalangan luas. Kita masing-masing memiliki sosok pahlawan di sisi kita. Siapa pahlawanmu?
Artikel Lainnya
-
207405/10/2019
-
91819/03/2022
-
64813/04/2023
-
Natal-Tahun Baru, Momen Ganti Petasan dengan Puji-pujian
192624/12/2019 -
Pertambahan Penduduk dan Kerusakan Lingkungan
482315/02/2021 -
Menyoal Polemik Keperawanan Seorang Atlet
135330/11/2019