Perang Melawan Pengrusakan Lingkungan

Belum usai kekecewaan publik karena Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menerima tawaran mengelola tambang. Kini disusul pula oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) terbesar kedua yakni Muhammadiyah yang menyambut gembira tawaran tersebut.
Sebelumnya ketika PBNU menerima tawaran konsesi tambang dari pemerintah isu tersebut tiba-tiba mencuat ke permukaan dan menjadi polemik di masyarakat luas, demikian juga apa yang terjadi pada Muhammadiyah ketika memutuskan untuk menerima tawaran itu pada Ahad, 28 Juli lalu.
Sebagaimana PBNU, Muhammadiyah juga dengan alasan demi kepentingan umat tidak ragu-ragu mengambil kesempatan dan peluang yang ada tersebut. Keputusan dua ormas Islam di Indonesia tersebut dapat dipahami karena alasan yang membolehkan hal itu cukup jelas.
Bukan hanya alasan keagamaan yang dipakai untuk membenarkan hal tersebut, melainkan berasal dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam pasal 83A ayat 1 berbunyi "Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan". Dengan pasal tersebut maka tindakan yang diambil oleh sebagian ormas punya dasar yang cukup kuat.
Namun, jauh sebelum aturan tersebut diterbitkan pada awalnya yang memiliki izin untuk mengelola tambang hanyalah badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. Aturan tersebut terdapat dalam Pasal 68 sampai Pasal 75 PP Nomor 96 Tahun 2021. Aturan itu baru diubah dan diganti dengan PP Nomor 25 Tahun 2024, yang isinya memberikan kesempatan pada ormas untuk memiliki izin tambang.
Pemerintah mengklaim aturan tersebut diterbitkan sebagai bentuk apresiasi karena ormas keagamaan telah memiliki jasa yang penting pada masa-masa perjuangan Indonesia melawan penjajah. Jika dilihat dari tahun berdirinya Muhammadiyah lahir pada 1912 dan NU pada 1926. Artinya dua ormas besar ini memang terlibat langsung dan melalui masa-masa melawan penjajah dan ini memang fakta keras yang diketahui banyak orang.
Namun, memberikan apresiasi dengan izin tambang setelah 78 tahun Indonesia merdeka agaknya alasan yang terlalu sulit untuk diterima. Apalagi Indonesia saat ini sedang mengalami fase transisi pergantian pemerintahan baru.
Berbeda dengan sebagian orang yang membaca tawaran ini sebagai suatu bentuk kesempatan dan peluang, bagi saya apa yang dilakukan pemerintah itu harus dicurigai dan dipahami lebih dalam secara kritis. Sebagaimana ujar-ujar lama mengatakan tidak ada makan siang gratis. Ini berarti bahwa ada sebentuk tukar tambah kepentingan antara ormas di satu sisi dan pemerintah di sisi lain.
Lebih jauh lagi, menurut saya kemurahan hati untuk memberikan izin tambang adalah upaya untuk menjinakkan masyarakat sipil agar pemerintah dapat leluasa mengeruk kekayaan alam, menggunduli hutan dan mengangkangi konstitusi, tanpa perlu khawatir mendapat kritik atau ancaman dari masyarakat sipil.
Klaim ini bukan omong kosong mengingat dua ormas yang menyambut gembira tawaran tersebut adalah ormas yang paling memiliki massa terbanyak di Republik ini. Hasil riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mencatat jumlah pengikut NU mencapai 56,9% di tahun 2023 dan jumlah pengikut Muhammadiyah sekitar 5,7 persen dari total populasi penduduk Indonesia.
Niat baik dua ormas tersebut yang menerima tawaran konsesi tambang, sebagai ikhtiar untuk memenuhi kebutuhan umat itu akan berbanding terbalik dengan ekses yang akan didapat. Alih-alih memberdayakan keputusan tersebut justru berbahaya dan dapat membawa bencana.
Ada tiga alasan yang bisa dikemukakan di sini mengenai bahaya yang akan timbul jika ormas tetap bersikukuh untuk menerima konsesi tambang tersebut.
Pertama, ormas akan terkooptasi oleh negara dan akan mudah disetir atas nama kepentingan nasional. Begitu ormas mendapat izin untuk mengelola tambang maka akan terjalin hubungan yang anomali antara ormas dan pemerintah.
Ormas yang semula adalah unsur yang di luar pemerintahan kini secara tidak langsung akan terjerumus ke dalam politik praktis. Masuknya ormas keagamaan dalam politik praktis akan membuat mereka lebih mudah didikte dari dalam.
Hal ini berbahaya bagi demokrasi karena akan membuat negara cenderung otoriter dan anti kritik. Mikal Hem (2023) mengatakan salah satu ciri khas negara otoriter adalah dengan menciptakan oposisi yang dapat dikendalikan. Dengan begitu seorang pemimpin dapat melanggengkan kekuasaannya.
Kedua, ormas sebagai masyarakat sipil akan berhadap-hadapan langsung dengan anggota mereka sendiri. Dari total 280 juta rakyat Indonesia 159 juta di antaranya adalah anggota NU (LSI, 2023) dan 60 juta anggota Muhammadiyah (Kemenag, 2019). Artinya keputusan untuk mengelola tambang akan berpotensi besar bersinggung dengan massa mereka sendiri di akar rumput.
Konsekuensi dari keputusan tersebut tidak ringan karena akan memicu meletusnya konflik horizontal dan memakan banyak korban. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat sepanjang 2014-2019, ada 62 konflik tambang yang melibatkan masyarakat-perusahaan, masyarakat-pemerintah, dan sesama masyarakat. Tercatat 269 orang menjadi korban kriminalisasi akibat konflik.
Ini berarti bahwa klaim ormas yang menerima tambang dengan alasan kepentingan umat nyatanya malah akan menjadi bumerang bagi umat itu sendiri. Tidak ada tambang seharga nyawa manusia.
Ketiga, hilangnya independensi ormas keagamaan dan melekatnya stigma buruk sebagai ormas perusak lingkungan. Tidak ada agama yang tidak mengajarkan untuk menjaga lingkungan. Ormas mestinya menjadi teladan bagaimana seharusnya menjaga lingkungan itu bukan malah merusaknya.
Tidak sepatutnya ormas main-main dalam sektor yang bukan domain mereka. Alih-alih menyambut tambang ormas seharusnya menyatakan perang pada pengrusakan lingkungan termasuk tambang. Kemudian menuntun umat untuk melakukan pertobatan ekologis.
Tobat ekologis adalah perubahan cara kita memandang, berinteraksi dan berperilaku dengan alam. Artinya segala macam upaya untuk melakukan eksploitasi pada alam harus dihilangkan. Dengan cara itulah independensi ormas keagamaan akan tetap terjaga.
Sudah saatnya ormas keagamaan kembali ke khitahnya untuk memelihara dan memperdalam penghayatan iman umatnya yang bermuara pada dijunjungnya HAM dalam hidup bermasyarakat.
Artikel Lainnya
-
139509/10/2020
-
147530/03/2020
-
54122/12/2023
-
169307/05/2020
-
Intensionalitas Kelas dan Represi Kapitalisme atas Cogitatum
94309/09/2022 -
Kelas Tatap Muka di Kala Pandemi, Benarkah Sebuah Solusi?
134423/11/2020