Bukan Saja Local Lockdown, Kita Butuh Solidaritas Nasional!

Corona Virus Disease 19 (COVID-19) mengemuka sejak akhir tahun lalu. Tepatnya, ia muncul pertama kali di Wuhan, Tiongkok, Cina. Sejak Desember 2019 hingga sekarang, wilayah tersebut mengakumulasi total sejumlah 81.394 kasus, dengan total kematian mencapai 9.134 jiwa. Wabah ini kemudian menjalar ke berbagai penjuru dunia, dan ditetapkan WHO sebagai pandemi global.
Tak kenal ampun, ia menjangkiti berbagai negara, yang bahkan tergolong maju sekalipun. Di Italia, hingga detik ini, wabah ini mengoleksi total 86.498 kasus, jauh lebih tinggi dibanding Cina. Dengan akumulasi korban yang berguguran mencapai 9.134 jiwa. Parahnya, dan barangkali menjadi negara dengan total kasus terbanyak di dunia saat ini adalah Amerika Serikat. Hingga kini, negara adidaya tersebut telah mengumpulkan sejumlah 105.726 kasus, dengan total kematian sekitar 1.730 jiwa.
Tentu, bukan hanya negara-negara di atas saja yang telah terjangkit wabah menakutkan ini. Setidaknya telah tercatat kurang lebih 199 negara, dengan total kasus mencapai 622.343, di mana 28.802 jiwa di antaranya tak dapat terselamatkan. Dan, ini bukanlah total akhir. Nyawa yang akan berjatuhan tiap harinya seketika dapat bertambah drastis, dengan belum ditunjukkannya gejala-gejala mereda dari wabah ini.
Merespon wabah global tersebut, pemerintah Indonesia awalnya tak ambil peduli, jika tak ingin dikata meremehkan. Elite-elite politiknya justru menampiknya dengan hal serupa banyolan dan sikap anti pengetahuan. Alih-alih mengambil langkah sigap dan antisipasi, Presiden Jokowi justru hendak berencana memanfaatkan wabah yang telah meneror beberapa negara ini, khususnya Cina saat itu, dengan memberikan insentif tiket penerbangan dan tarif hotel untuk 10 daerah pariwisata di Indonesia. Dalam kesempatan lain, dengan respon serupa, ia justru merisaukan iklim dan kondusifitas investasi di tengah mengganasnya wabah. Ketimbang mempersiapkan langkah antisipasi untuk menangkal ataupun menekan wabah tersebut jika benar-benar menjalar ke Indonesia.
Hasilnya, tak butuh waktu lama untuk mendengar berita buruk itu datang. Pada 2 Maret lalu, pemerintah lantas mengumumkan penemuan kasus pertama wabah ini yang menjangkiti dua warga Depok, Jawa Barat. Dari sini, mulailah episode-episode buruk bergilir tayang, dengan peningkatan penyebaran masif dan terus berlipat ganda hari ke hari. Hanya berselang tiga mingguan setelahnya, detik ini, total kasus tercatat mencapai 1.155 orang, dengan jumlah korban meninggal mencapai 102 jiwa. Sebuah peningkatan yang sangat cepat dan drastis.
Sekalipun ini bukanlah fakta sesungguhnya, mengingat keterbatasan akses kesehatan tak merata negara ini, khususnya alat Rapid Test, yang baru menyentuh sekian ribu dari total ratusan juta jiwa rakyat Indonesia. Dengan kata lain, terdapat potensi besar korban yang sesungguhnya telah terjangkit wabah, jauh melampaui akumulasi total yang terdata sekarang. Hanya saja belum menunjukkan gejala-gejala kesakitan yang ditimbulkan oleh wabah ini.
Sebuah lembaga Pusat Pemodelan Matematika Penyakit Menular (CMMID) di Inggris, bahkan memperkirakan kisaran total korban terjangkit yang tidak atau belum terdeteksi, dapat mencapai puluhan atau bahkan ratusan ribu jiwa. Secara kasar menurut perkiraan pemodelan ini, setidaknya kurang lebih terdapat 70.848 kasus, jika ukuran tingkat penularannya adalah dua orang. Jika ukuran tersebut dinaikkan, maka akan naik pula perkiraan jumlah yang telah terjangkit wabah ini (CNN Indonesia, 27/03). Jumlah ini tak terdeteksi akibat ketidaksiapan pemerintah, buruknya fasilitas kesehatan, dan tingkat pengetesan wabah yang rendah, yang baru dilakukan pemerintah sampai saat ini.
Akibat tak memiliki ancang-ancang dan langkah antisipasi, pemerintah terlihat jelas kalang kabut menunjukkan ketidaksiapannya. Berbagai himbauan pun muncul. Menghindari keramaian, sekolah dan kampus diliburkan sementara, aktifitas kerja dilakukan di rumah, dan lain-lain. Sayangnya, itu juga belum menunjukkan tanda-tanda keefektifan, di tengah-tengah wabah yang menjangkiti berlipat-lipat rakyat hari ke hari. Himbauan tetaplah himbauan, tak lebih. Seruan-seruan kosong belaka, tanpa upaya konkret berdaya gerak untuk menekan laju wabah dan korbannya, takkan berarti apa-apa. Data soal korban terpapar terus saja merangkak naik.
Beberapa daerah kemudian menanggapinya dengan melakukan local lockdown, dengan niat menekan mobilitas manusia untuk tidak beraktifitas sebagaimana biasa, yang dapat memperparah dan menambah jumlah korban terpapar wabah ini. Beberapa yang telah memulainya adalah Papua, Maluku, Bali, Tegal dan Solo. Seakan merasa dilangkahi, Presiden Jokowi, sebagai representasi pemerintah pusat menanggapinya dengan penekanan ketus. Garis besarnya, otoritas keputusan lockdown baik nasional maupun daerah merupakan wewenang dan kekuasaan pemerintah pusat. Pemerintah daerah tak memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan tersebut.
Ketika keadaan semakin bertambah parah; korban terjangkit menyentuh seribuan dan ratusan tak terselamatkan, negara ini justru memperkeruhnya dengan soal-soal administratif dan tarik ulur kewenangan. Namun, setidaknya ini memberikan beberapa gambaran pada kita. Pertama, kegaduhan politik ini sekali lagi menunjukkan kondisi ketidaksiapan pemerintah menghadapi pandemi global ini. Dengan sikap meremehkan dan tanpa persiapan, pemerintah pusat alhasil gagap membaca potensi kerusakan yang diakibatkan dari wabah ini. Bisa dilihat dari pilihan keputusannya ketika wabah mengganas di negara-negara lain dan sangat berpotensi menyebar ke Indonesia, alih-alih menyiapkan langkah dan strategi menghadang. Pemerintah justru melapangkan kebijakan-kebijakannya untuk menggenjot ekonomi dan investasi semata. Ini patut dipertanyakan, sekaligus untuk melihat posisi dan peran negara ini. Sedangkan di sisi terjauh, korban paling rentan adalah mayoritas rakyat yang secara kekuatan ekonominya sangat lemah. Titik akhirnya, pemerintah tak memiliki apapun tameng kebijakan yang terstruktur dan sistematis soal bagaimana menghadapi wabah itu.
Kedua, dengan penyebaran wabah yang makin masif, dan tak ada kebijakan yang jelas soal menanggulanginya, dalam beberapa hal memperbesar kemungkinan dan potensi pemerintah daerah untuk mengambil langkah antisipasi secara mandiri.
Ketiga, dan barangkali menjadi kecenderungan purba sistem pemerintahan negara ini, adalah lemah dan tak terorganisirnya kesatuan pusat dan daerah. Ini dapat dimaklumi, jika sudut pandang yang digunakan tak mereduksinya melalui pendekatan normatif belaka. Dengan melihat keduanya sebagai dua entitas dalam sebuah sistem yang saling menguatkan satu sama lain. Namun jauh melampaui itu, bahwa kedua-duanya merupakan instrumen ekonomi politik yang memiliki kecenderungan bersaling silang kepentingan antar aktor yang berbeda.
Di tengah-tengah pandemi global yang makin menakutkan ini, meributkan soal-soal administratif adalah sesuatu yang kontra-produktif, jika tidak ingin dikata sia-sia. Dengan respon yang terlambat dan belum ada satu kebijakan nasional darurat pun yang terlihat efektif menekan laju penyebaran wabah ini, rezim Jokowi harus melibatkan banyak elemen yang dapat membantu secara signifikan upaya penekanan wabah ini, termasuk pemerintah daerah.
Ketika pemerintahnya asik meributkan hal-hal di atas, menghadapi wabah yang makin mengganas, mayoritas rakyat bahkan telah membentuk solidaritas skala lokal maupun nasional; tanpa campur tangan dan kehadiran negara. Mereka membagikan masker secara gratis, handsanitiser, hingga tempat karantina secara mandiri. Menghadapi wabah yang makin ganas seperti sekarang, hal-hal samacam inilah yang seharusnya dilakukan.
Kebutuhan mendesak negara ini adalah membangun solidaritas nasional. Kita perlu secara bersama bahu membahu untuk melawan pandemi global yang telah menumbangkan ribuan nyawa ini. Tentu saja, menghadapi virus ini, takkan berarti signifikan jika tak ada upaya membangun solidaritas skala global. Untuk berbagi informasi secara terbuka, produksi dan distribusi alat medis sekaligus tenaga medisnya, sebagaimana disuarakan Yuval Noah Harari, ataupun siapapun dengan gagasan serupa.
Terakhir, yang patut digarisbawahi, lockdown semata baik yang dilakukan pemerintah pusat maupun daerah, dengan sebatas aturan kerja dari rumah (work from home). Tanpa diiringi subsidi dari pemerintah adalah ibarat menciptakan masalah baru. Sebab, golongan yang paling tidak diuntungkan dalam kondisi ini adalah kategori rakyat rentan, kelas pekerja, lebih-lebih pekerja informal yang melabuhkan kekuatan ekonominya dari pendapatan harian. Pun, tanpa desakan kuat pemerintah untuk menekan pemilik pabrik meliburkan aktifitas produksi bagi pekerja formal, ataupun memberi insentif tertentu pada pemilik pabrik, upaya memutus rantai penyebaran virus ini hanyalah omong kosong belaka.
Artikel Lainnya
-
57618/09/2021
-
98209/08/2020
-
48702/05/2021
-
Covid-19 dan Ketergantungan Ekonomi Nasional
109522/04/2020 -
Moralitas Kant dan Pendidikan Budi Pekerti di Indonesia
106621/12/2020 -
94523/03/2020