Peran Perempuan dan Revolusi Mental Bung Karno
Perempuan merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang diberikan kesempatan untuk melakukan roda kehidupan yakni Amar Ma’ruf Nahi Munkar, dengan makna menjalankan perintah Tuhan yang baik dan menjauhi larangan-Nya.
Perempuan mempunyai andil dalam membangun suatu peradaban bangsa dan Negara. Baik dan buruknya dari suatu Negara adalah Karena peran dari wanita. Hal tersebut dilontarkan oleh Bung Karno dalam buku Pengantar Sarinah yakni “Kita tidak dapat menyusun negara dan tidak dapat menyusun masyarakat jika kita tidak mengerti soal wanita. Itulah sebabnya, setibanya saya di Yogyakarta, segera mengadakan kursus-kursus wanita itu”.
Pada abad ke-20, gerakan perempuan muncul di Indonesia ketika pemerintah kolonial Belanda hendak membangun sekolah modern atau sekolah formal. Organisasi yang didirikan oleh pribumi yang bernama “kaoem bumi putera” pada saat itu sedang mengalami pasang surut. Gagasan sebelumnya yang akan diperjuangkan oleh kaum perempuan tentang “Hak Perempuan” masih belum menjawab problem penindasan yang dialami oleh kaum perempuan sendiri.
Perempuan mempunyai “Hak Berpendapat dan Berekspresi” dalam kegiatan yang tidak menimbulkan dampak negatif kepada rakyat Indonesia. Perempuan juga mempunyai kewajiban dalam membangun peradaban bangsa dan Negara Indonesia yaitu dengan mampu berperan dalam membangun jiwa karakteristik yang baik kepada anak bangsa yang akan ikut andil dalam membangun peradaban. Dengan demikian, perempuan juga ikut menjalankan amanat pembukaan UUD 1945 “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” dan ikut menjaga perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Gagasan tentang revolusi mental telah ada sejak digagas oleh Bung Karno dengan memperbaharui cara berfikir dan bertindak suatu masyarakat. Bahkan dalam agama Islam pun ada gagasan revolusi mental yakni konsep ‘kembali ke fitrah’ atau suci atau tanpa dosa. Oleh karena itu, jalan ‘revolusi mental’ menjadi solutif karena bangsa Indonesia sedang membutuhkan sosok yang piawai dalam mendongkrak karakter bangsa Indonesia yang berkemajuan.
Perempuan mempunyai kewajiban dalam mendidik anak yang berkarakter serta berfikir konstruktif dan komprehensif guna menghadapi tantangan zaman yang destruktif. Selain itu, perempuan hadir sebagai manusia yang mempunyai jiwa keikhlasan dan ketabahan sebagai ibu yang menjadi pelaku pertama dalam pendidikan.
Marhaenisme sebagai Azaz Perjuangan Revolusi Mental
Gagasan revolusi mental digagas oleh Bung Karno pada tahun 1950-an, lebih tepatnya pada tahun 1957 di saat revolusi nasional Indonesia sedang ‘mandek’ dengan alasan revolusi nasional masih belum tercapai. Ada beberapa faktor yang mendasar mengapa revolusi itu mandek, yaitu: Pertama, adanya penurunan semangat jiwa revolusi baik rakyat maupun pemimpin nasional. Kedua, masih kental dengan nuansa karakter pemimpin politik di Indonesia yang cenderung melekat mental warisan kolonial seperti “hollandsdenken” (gaya berfikir ala penjajahan Belanda).
Ketiga, di kalangan rakyat merasakan kehilangan kepercayaan karena muncul mentalitas ‘nrimo’ atau yang artinya menerima apa adanya dengan kondisi yang lemah dihadapan penjajah. Keempat, penyelewengan secara ekonomi, politik dan kebudayaan di lapangan, karena merasa tidak percaya diri dengan kemampuan sendiri yang cenderung mempunyai pemikiran yang statis dan liberal serta textbook thinkers (berpikir berdasarkan apa yang dituliskan di dalam buku-buku).
Ide dasar yang digaungkan kembali oleh Presiden Joko Widodo mengenai gerakan revolusi mental yang terpenting adalah jiwa yang merdeka. Membangun jiwa yang merdeka dengan cara pandang pikiran, sikap dan perilaku pada kemajuan dan hal yang modern sehingga Indonesia mampu berkompetisi dengan bangsa lain di dunia.
Menurut Bung Karno, membantu suatu negara bukan hanya sekedar melaksanakan pembangunan secara fisik yang sifatnya material, namun sesungguhnya membangun jiwa bangsa. Gerakan revolusi mental semakin relevan bagi bangsa Indonesia yang saat ini tengah menghadapi tiga problem pokok bangsa yaitu; merosotnya wibawa negara, merebaknya intoleransi, dan terakhir melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional.
Kata ‘Marhaenisme’ menurut Bung Karno adalah lambang penemuan kembali kepribadian nasional. Sebelumnya Bung Karno menemukan kata Marhaenisme bermula ketika pada saat umur 20 tahun diilhami dengan pemikiran politik yang sangat kuat. Berkeliling dengan mengunakan sepeda menuju Bandung Selatan, ia memperhatikan sosok petani yang berpakaiannya lusuh sedang mencangkul di tanah miliknya.
Bung Karno menanyakan nama sosok petani muda yang bernama ‘marhaen’. Ia memakai nama tersebut untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti si petani muda. Marhaen merupakan korban dari kaum feodal yang tertindas oleh sistem yang semula diperas oleh kaum bangsawan yang pertama, dan seterusnya sampai ke anak-cucunya selama berabad-abad. Rakyat yang bukan petani menjadi korban dari penghisapan kaum imperialisme penjajahan Belanda. Rakyat Indonesia yang hampir secara keseluruhan tertindas adalah Marhaen.
Sosio-Nasionalisme
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau yang disingkat dengan KBBI, kata nasionalisme yakni kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan. Kata ‘Sosio-Nasionalisme’ sudah dikenal sejak awal tahun 1930-an. Ide tersebut bermula dari berbagai macam sifat maupun karakter dari sifat nasionalisme.
Namun menurut Bung Karno, ide kebangsaan maupun nasionalisme selamanya tidak benar. Alasan tersebut merujuk pada nasionalisme Eropa yang cenderung agresif, chauvinis, dan berorientasi pada imperialistik. Oleh karena itu, Bung Karno menggagas “Nasionalisme Indonesia” yang mempunyai kandungan bahwa faham ini berorientasi pada memberikan nilai kebermanfaatan terhadap bangsa lain dan tidak boleh merugikan. Serta bangsa Indonesia tidak berhaluan nasionalisme yang sempit baik akal maupun budi.
Nasionalisme Indonesia harus bergandengan dengan persaudaraan antar semua bangsa dan umat manusia di seluruh dunia atau yang dikenal dengan ‘internasionalisme’ yang tidak membedakan suku, ras, maupun agama yang seharusnya menjalin ukhuwah perdamaian dunia serta hidup rukun dan harmonis. Bung Karno merujuk pernyataan dari Mahatma Ghandi yang merupakan tokoh dari India. Gandhi mengatakan “My Nasionalisme is Humanity” yang mempunyai makna yaitu nasionalisme saya adalah perikemanusiaan.
Sosio-Demokrasi
Sosio-Demokrasi lahir sebagai representatif dari kritik terhadap demokrasi barat yang memuliakan parlemen dan pemilu yang gagal dalam memberikan keadilan bagi rakyatnya. Sukarno memberikan pandangan bahwa kesetaraan dalam politik itu ada, namun tidak untuk sektor ekonomi melainkan adalah keadilan ekonomi.
Demokrasi hadir dan diperlukan karena adanya kegelisahan rakyat atas kaum borjuis yang mempunyai alat produksi serta kekayaaan yang mempunyai kuasa lebih untuk membeli suara pemilih bahkan propaganda politik yang dapat mempengaruhi hasrat maupun kemauan rakyat atas sikap politik melalui media massa, lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, bahkan bisa membeli penyelenggara pemilu.
Demokrasi yang sejati hanya bisa kokoh jika bertumpu di dua kaki: demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Sosio-demokrasi itu menghendaki demokrasi politik sekaligus kesejahteraan sosial. Hanya masyarakat yang sejahtera bersama, yang setara secara ekonomi, bisa berdemokrasi secara sehat.
Ketuhanan Yang Maha Berkebudayaan
Kalimat “Ketuhanan yang berkebudayaan” ada dalam pidato 1 Juni 1945. Bukan tanpa penjelasan. Sukarno menjelaskan soal sila Ketuhanan. Pandangan Soekarno tentang ketuhanan merupakan keyakinan rakyat yang ia anut dengan keberagaman Agama di Indonesia, tidak adanya diskriminatif dan tidak adanya egoisme agama yang menjatuhkan atau menjelekkan agama-agama lain.
Pernyataan Soekarno yakni “Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat–menghormati satu sama lain,” merupakan salah satu Mengacu pada semboyan negara “Bhinneka Tunggal Ika” yang mempunyai berbeda-beda tetap satu jua. Jalan daripada Tuhan yang dimaksud adalah tidak menginginkan perpecahan atau konflik dari hamba sebagai makhluk yang harus menjaga perdamaian.
Penyampaian aspirasi tentang keagamaan sangat diperbolehkan dengan cara yang berkepribadian dalam berbudaya serta beradab. Tidak ada indikasi-indikasi yang berujung pada konflik kekerasan serta anarkis. Sukarno menunjukkan jalannya: jalan demokrasi. Bukan penggunaan paksaan, apalagi kekerasan (teror). Kalimat “Ketuhanan yang berkebudayaan” tidak menanggalkan prinsip “Ketuhanan yang maha esa”. Berkebudayaan di sini berarti cara berelasi antar pemeluk agama dan keyakinan.
Artikel Lainnya
-
252419/04/2020
-
102006/01/2022
-
25704/11/2023
-
48830/10/2023
-
Menyoal Sistem Patron-Klien di Indonesia
249401/09/2021 -
RUU Pemilu 2021 : Perlukah Mengganti Sistem Proporsional Terbuka?
101117/02/2021