The Little Mermaid: Kontroversi Dibalik Keberagaman Disney

The Little Mermaid adalah film penting untuk Disney karena untuk pertama kalinya mengadaptasi film animasi ke live action dengan mengganti ciri khas ikonik si tuan putri. Ariel si putri duyung yang digambarkan di animasi aslinya pada tahun 1989 sebagai tipikal perempuan kulit putih dengan mata biru dan rambut merah yang lurus berkilau. Hal ini diubah drastis oleh Disney dengan mengcasting artis perempuan kulit hitam yang terkenal dari duo Chloe x Halle, yaitu Halle Bailey yang berusia 23 tahun.
Pemilihan casting ini pun menimbulkan berbagai macam reaksi, baik positif maupun negatif. Kontroversi casting ini merupakan headline berita di berbagai media massa lokal maupun internasional. Bahkan di dunia internasional, seruan boikot film ini berkumandang dengan lantang. Penyebab utamanya tentu isu blackwashing yang ada di film ini. Orang-orang berasumsi bahwa tuntutan progresif dan keberagaman Disney terlalu dipaksakan dan sama sekali tidak sesuai dengan film yang mengangkat kisah putri duyung yang ditulis oleh Hans Andersen ini. Tagar #NotMyAriel menjadi trending topik yang bertahan sangat lama di Twitter bahkan sampai filmnya sudah tayang.
Menanggapi berbagai kritikan itu, Walt Disney Company sampai turun tangan. Melalui akun media sosial resminya, Disney membuat pernyataan alasan memilih sosok Halle Bailey sebagai Ariel yaitu karena cerita ‘The Little Mermaid’ merupakan dongeng masa kecil anak-anak Denmark. Ini artinya Princess Ariel itu juga seperti orang Denmark, juga ada yang berkulit hitam. Sutradara Rob Marshall pun sempat mengklaim bahwa Halle adalah aktris paling cocok untuk peran Ariel. Menurut sang sutradara Halle adalah aktris yang punya paket komplit. Sementara itu sang aktris mengatakan, dirinya hanya akan berfokus pada hal positif terkait reaksi terhadap casting. Saat kabar troll rasis menyerbu internet setelah trailer film rilis, Halle malah membagikan video gadis kulit hitam muda. Gadis itu begitu antusias dan tersentuh saat tahu sosok Ariel adalah seperti dirinya, kulit hitam.
Hal ini dapat menjadi langkah maju menuju representasi yang lebih inklusif dalam perfilman. Representasi yang beragam dalam media adalah sesuatu yang penting karena mencerminkan keberagaman yang ada dan memungkinkan lebih banyak orang untuk merasa diwakili dan terhubung dengan karakter-karakter tersebut. Perubahan seperti ini juga dapat memberikan kesempatan kepada para penonton untuk melihat interpretasi baru dari karakter yang sudah akrab dan menikmati cerita yang disukai dengan cara yang baru serta memperluas daya tarik dan relevansi film tersebut bagi khalayak yang lebih luas.
Isu soal rasisme, tentu kita sepakat menolak dan tidak membenarkan siapa pun yang melakukannya. Termasuk fans fanatik The Little Mermaid sampai reviewer dadakan yang bikin konten setelah nonton filmnya. Tetapi sekarang isu soal keberagaman termasuk soal dominasi ras jadi tren. Itulah yang kemudian dimanfaatkan kapitalis barat, termasuk industri perfilman Hollywood “Disney” melalui istilah “Woke”.
Istilah “Woke” mengacu pada kesadaran akan isu-isu keadilan sosial. Pertama kali digunakan pada 1940-an. Namun pada akhir 2010, “Woke” dipakai secara lebih luas soal keadilan sosial kritis, politik sayap kiri, aktivis progresif sampai lingkungan. Tapi konsep “Woke” kemudian bergeser ke konotasi negatif. Woke pada awalnya dikaitkan dengan orang kulit hitam Amerika yang melawan rasisme, namun sekarang malah disalahmaknai oleh generasi muda menjadi sikap agresif terhadap politik progresif dan hanya memperburuk keadaan. Hal ini tentu merupakan pengaruh dari pergeseran pola pikir, mental dan perilaku generasi muda di seluruh dunia. Pengaruh negatif media sosial terhadap generasi kita tidak dapat dipungkiri merusak makna-makna perjuangan para pendahulu di setiap bidang begitu pula dengan media dan perfilman.
Sebenarnya isu rasial telah dilakukan dan ditampakkan di Hollywood dalam berbagai situasi. Adaptasi karakter dari kulit putih ke kulit gelap dalam film telah menjadi hal yang umum dalam industri perfilman. Istilah yang digunakan untuk hal ini disebut sebagai blackwashing, yang merupakan kebalikan dari whitewashing. Perusahaan-perusahaan besar dalam hal ini Disney mencari cara untuk mengembangkan keterikatan dengan audiens target mereka melihat peluang lebih dari mengadopsi sifat-sifat kerendahan hati, semangat, kecanggihan manusia untuk mengadopsi perilaku manusia.
Disney berharap dengan memunculkan putri duyung kulit hitam dapat menjadi simbol keberagaman dalam korporasi Disney, walaupun menurut saya, ada cara yang lebih baik dibanding mengganti putri duyung ikonik di masa kecil kita. Misalnya, dengan sedikit kreatif dalam memunculkan cerita orisinil kisah asli perempuan kulit hitam.
Sebenarnya masalah blackwashing dalam perfilman Hollywood bak pisau bermata dua. Dalam sisi positifnya, blackwashing dapat menjadi langkah awal dan positif dalam menghadirkan representasi kulit hitam dalam industri film Hollywood. Namun, di satu sisi, blackwashing bukanlah solusi yang sempurna untuk masalah kurangnya representasi tersebut. Bahkan, bisa mengakibatkan kesalahan dalam merepresentasikan karakter 'kulit hitam' dalam jangka panjang. Misalnya, mengakibatkan pemaksaan pada karakter film dengan mengubah ras mereka, alih-alih mencari cara kreatif untuk menghadirkan film yang sensitif terhadap keragaman dan inklusivitas. Serta tidak termakan oleh dorongan kapitalis untuk pasar tren “Woke”.
Artikel Lainnya
-
168019/07/2020
-
71418/11/2022
-
39311/05/2025
-
134814/11/2020
-
164123/04/2020
-
Sheila On 7: Eksistensialisme dalam Nada dan Ketulusan
18107/12/2024