Ambisi Para Capres

Ambisi Para Capres 05/12/2021 760 view Politik manadopost.jawapos.com

Berangkat dari kehendak bangsa yang dituangkan dalam konstitusi bahwa setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan dipilih dalam pemilihan umum untuk mengisi berbagai jabatan publik, mulai dari presiden hingga kepala daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota, maupun anggota legislatif ditingkat pusat dan daerah. Maka dari itu, publik selalu dihadapkan kepada berbagai tokoh yang menawarkan diri untuk memimpin haluan dan membawa perubahan. Membawa perubahan, setidaknya begitu narasi yang selalu dibangun hampir setiap tokoh.

Pemilihan presiden langsung yang dimulai sejak tahun 2004 mengantarkan rakyat Indonesia untuk dapat secara langsung memilih presiden melalui pencoblosan surat suara yang dilakukan di TPS. Metode ini berbeda dengan era sebelumnya karena dulu presiden dipilih tidak secara langsung oleh rakyat melainkan melalui sidang MPR.

Dari masa ke masa, tokoh yang berkeinginan untuk maju sebagai calon presiden berasal dari berbagai latar belakang yang beragam. Mulai dari politisi, pengusaha, tokoh agama, mantan militer, hingga akademisi. Semua tokoh yang memiliki nama dan masa serta mendapatkan dukungan partai dan memiliki cukup dana telah tampil dipanggung pemilihan presiden.

Pasca pilpres 2019, hari-hari media selalu diramaikan oleh berbagai tokoh yang diberitakan berkeinginan maju pada pilpres 2024 atau tokoh yang namanya muncul pada survei elektabilitas. Dari kalangan menteri muncul nama seperti Airlangga Hartarto, Sandiaga Uno, dan Erick Thohir, lalu ketua DPR RI Puan Maharani, kepala daerah seperti Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, dan Khofifah Indarparawansa, juga tokoh partai seperti Cak Imin, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Zulkifli Hasan, bahkan Nidji dari PSI. Pilpres mendatang ini menarik karena tidak ada petahana. Jokowi sudah dua periode dan tidak dapat mencalonkan diri kembali. Namun ada pemain lama yang telah beberapa kali mencalonkan diri sebagai presiden namun gagal yaitu Prabowo Subianto yang dikabarkan akan maju kembali.

Beberapa tokoh tadi ada yang memang menyampaikan niatnya secara langsung dan terbuka, ada juga tokoh yang tidak menyampaikan maksudnya secara langsung tetapi muncul dukungan-dukungan yang berasal dari arus bawah berupa deklarasi relawan. Beragam survei elektabilitas tokoh-tokoh pun dilakukan oleh lembaga-lembaga survei. Beberapa waktu yang lalu bahkan terdengar sudah ada konflik yang terjadi di internal partai perihal pengusungan tokoh yang memiliki elektabilitas tinggi namun terganjal sikap dari partai.

Sepertinya lini massa pun akan selalu diramaikan oleh isu ini hingga 2024 nanti. Dari waktu ke waktu, tokoh-tokoh ini pun pasti akan mengerucut seiring survei elektabilitas yang dilakukan. Mereka yang disukai oleh publik akan terus maju dan mungkin akan terus melaju ke gelanggang pilpres, sebaliknya mereka yang tidak terlalu mendapatkan simpati publik ataupun partai akan mundur teratur.

Waktu yang masih cukup lama menjelang 2024 masih membuka ruang yang sangat lebar bagi tokoh-tokoh lain yang barangkali hari ini belum muncul dan belum mendapatkan sorotan.

Presidential treshold menghendaki untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden, paslon harus mendapatkan dukungan dari 20% kursi partai yang ada di DPR RI. Penolakan terhadap syarat ini dulunya cukup keras, tetapi sekarang tidak terdengar lagi gemanya. Syarat ini mengharuskan partai-partai yang memiliki sedikit kursi di parlemen tidak dapat mengusung calonnya sendiri, melainkan harus berkoalisi terlebih dahulu, kalaupun sudah berkoalisi belum tentu partai dapat mengusung kadernya karena nanti akan tergantung kesepakatan partai-partai yang berkoalisi. Secara tidak langsung juga syarat ini mengharuskan tokoh-tokoh yang berkehendak maju tetapi tidak memiliki partai harus merapat ke partai tertentu. Syarat ini juga yang nantinya akan membuat partai-partai otomatis berkoalisi, dan sepertinya akan kecil kemungkinan terdapat banyak paslon mengingat pilpres sebelumnya.

Maju sebagai calon presiden bukanlah ambisi yang murah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa politik adalah barang mahal karena segala macam kegiatan kampanye membutuhan uang. Pada pilpres 2019 yang lalu CNBC Indonesia mengabarkan bahwa total dana kampanye paslon Jokowi-Amin adalah senilai 606 miliar dan Prabowo-Sandi senilai 213 miliar. Sumber dananya beragam, mulai dari sumbangan paslon sendiri, sumbangan dari partai, sumbangan masyarakat, maupun sumbangan pengusaha.

Pencalonan presiden tidak hanya melulu soal survei elektebilitas, melainkan juga soal deal-deal politik yang dilakukan dibalik layar. Publik pun sebenarnya tidak punya kuasa secara langsung untuk memilih siapa yang mereka inginkan, melainkan publik hanya dapat memilih tokoh-tokoh yang sudah disediakan. Bahkan ada adagium yang sering terdengar “pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa”. Adagium yang menggambarkan keputusasaan dan ketidakberdayaan publik dalam memilih pemimpinnya sendiri.

Beberapa tokoh sudah curi start untuk mencari simpati publik dan mencoba menaikkan elektabilitas. Mereka yang sedang menjabat pada jabatan publik tertentu cukup diuntungkan karena dengan leluasa mendapatkan atensi publik karena selalu muncul dan diberitakan media. Jalanan dan media massa pun juga diramaikan oleh poster-poster yang mencoba membangun citra dari beberapa tokoh, ada yang menuai pujian dan ada juga yang menuai ejekan. Bagi mereka yang sedang berkausa dan berkeinginan nyapres, hendaknya tetap fokus untuk bekerja dan menjalankan tugas. Jangan sampai terlalu sibuk pencitraan sampai lupa pekerjaan.

Di 2024 nanti berarti Indonesia sudah yang ke-5 kalinya menyelenggarakan pemilihan presiden langsung. Masyarakat pun harusnya sudah belajar banyak dari pengalaman dalam hal bagaimana bersikap dan menentukan pilihan. Elit politik pun juga harusnya dewasa dalam menentukan strategi kampanye nantinya, sudahilah menggunakan politik identitas dan isu SARA untuk mendapatkan suara karena tidak baik untuk publik.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya