Pandemi Covid, Revolusi Mental dan Nasionalisme

Pandemi Covid, Revolusi Mental dan Nasionalisme 24/04/2020 2228 view Lomba Esai bbc.com

Merebaknya penularan pandemi covid-19 telah menggegerkan dunia internasional. Peristiwa ini mengakibatkan dunia terguncang yang menyebabkan stabilitas ekonomi, politik, pendidikan dan sosial di lapisan masyarakat mengalami kocar-kacir. Sementara di sisi lain, persoalan ini telah menyebabkan ribuan nyawa manusia menjadi korban.

Indonesia mengalami situasi yang sama dengan negara-negara yang terdampak kasus serupa dan termasuk negara yang ‘terlambat’ mengantisipasi wabah corona hingga menyebabkan penularan virus yang cepat (epidemi) hingga menyasar beberapa daerah yang sebelumnya belum terkena dampak. Untuk itu di tengah kondisi seperti ini tentunya sikap tanggap dan solutif amat sangat diperlukan.

Persebaran pandemi covid-19 menimbulkan gejala ekonomi, politik, sosial yang semakin parah jika tidak ditangani dengan serius. Malah justru saat ini kita sedang berada di ambang ‘krisis’ yang sewaktu-waktu mudah kolaps karena stabilitas dalam negeri kian memuncak dan tergoncang. Kita berada di posisi yang sangat buntu untuk melakukan upaya membalikkan situasi menjadi lebih baik jika tidak terlebih dahulu membangun sikap solidaritas sosial dengan mengokohkan diri melalui revolusi mental dan penguatan rasa nasionalisme.

Tulisan ini mengerucut dan berpijak pada analisis dinamika sosial masyarakat kita hari ini dalam memahami pandemi covid dan upaya untuk keluar dari wabah corona. Harus diakui bahwa aspek sosial kita hari ini tengah mengalami situasi sulit. Masyarakat dalam menghadapi wabah corona sejauh yang saya amati, terpolarisasi dalam beragam sikap. Saya melihat di tengah ancaman corona, dampak sosial terutama di kalangan masyarakat akar rumput (grass root society) ada pembiakkan sikap ekslusif yang cenderung mudah menerima sesuatu yang didengar ataupun dilihat dengan emosional yang terlampau buruk.

Hal ini pada situasi tertentu akan berubah menjadi jauh lebih ekstrem yang dapat menumpulkan rasa solidaritas sosial. Alih-alih dalam masa-masa sulit seperti ini sikap solidaritas sosial musti digalakan, namun kondisi saat ini memaksa sebagian (jika tidak mengatakan semua) justru tidak mampu mengepakkan sayap solidaritas. Kita terjebak dalam suatu perspektif dan sikap yang bagi saya (barangkali bagi kalian) tengah mengarah pada sikap ketergantungan sosial (social dependency) terhadap sesuatu yang kita rasa harus bertanggung jawab penuh menyelesaikan wabah ini (otoritas publik).

Pada gilirannya, pasca corona berakhir sikap sosial seperti ini menurut hemat saya jauh lebih berbahaya yang ditandai dengan kemunculan sikap sosial yang mendasarkan diri pada segelintir pihak tanpa mengupayakan dirinya menjangkar dan keluar dari situasi sulit. Bagi saya entitas sosial kita pasca corona tidak lagi memberikan suatu jaminan bahwa rasa solidaritas akan terus tumbuh dan mengikat ke dalam pribadi kita tetapi justru bagi saya entitas sosial itu melahirkan bentuk-bentuk sikap baru yang pada situasi tertentu tidak lagi mampu mengikat kita dalam sikap solidaritas.

Saya melihat persoalan ini akan semakin serius jika tidak dipahami dalam kerangka pemahaman yang utuh tentang upaya bersama menghadapi virus corona. Tentu implikasi dari sikap ini tidak datang begitu saja, yang pasti ada semacam akumulasi perilaku yang awalnya membentuk sikap sosial seperti ini. Sebut saja sikap mawas diri yang cenderung terlalu “arogan” sehingga meniadakan sikap orang lain dalam bentuk-bentuk sikap kita sendiri. Suasana ini pada banyak tempat akan semakin membuat kita mudah menstigma sesuatu sebagai sebuah kesalahan.

Bagi saya ini merupakan suatu sikap yang nanti akan kita temukan dalam masyarakat (pasca corona) jika hari ini di tengah pandemi covid kita tidak terbiasa untuk mengambil peran sebagai warga negara yang mandiri. Saya harus mengakaui sikap sosial seperti ini tidak secepat kilat terjadi dalam lingkungan sosial, tetapi secara perlahan sikap ini akan mengikis ruang sosial masyarakat yang menyebabkan tumpulnya rasa solidaritas, mudah meniadakan manusia lain dan ketergantungan sosial yang cukup tajam. Saya bisa mengatakan kita akan terdegradasi dari domain sosial masyarakat jika hal ini terus diakumulasi ke dalam logika dan cara bertindak yang sempit dan dangkal memahami pandemi covid.

Keluar Dari Jebakan

Bagi saya, situasi sosial kita yang lahir dan dibentuk di tengah wabah corona telah mendepak kita begitu jauh dari sikap solidaritas sosial. Alih-alih rasa solidaritas musti dikokohkan, kita malah membentuk sikap baru yakni mengekslusifkan diri dengan cara yang paling arogan. Ini jelas akan memperparah kondisi sosial jika ketergantungan sosial lebih berpihak pada sikap kita ketimbang mengambil kesempatan di tengah ujian wabah seperti ini untuk mengaktifkan mental kerja dan menumbuhkan rasa nasionalisme.

Kita harus mampu belajar dari krisis yang melanda kita hari ini. Meminjam ungkapan Winston Churchill, “jangan biarkan krisis menjadi sia-sia”. Ungkapan ini sangat bernada provokatif yang merujuk pada kemampuan kita untuk belajar dan memanfaatkan masa krisis sebagai satu cara keluar dari masa krisis selanjutnya. Bagi saya, belajar dari masa krisis hari ini akan lebih memudahkan kita untuk membangun dan membentuk tatanan sosial masyarakat yang lebih fleksibel dan tentunya mengedepankan kepentingan bersama.

Dalam konteks seperti ini menurut hemat saya kita harus keluar dari jebakan sikap yang akan memperparah dinamika sosial kita hari ini dan di masa mendatang. Saya beralasan bahwa sikap ini tidak akan membentuk kita menjadi warga negara yang mandiri melainkan lebih jauh dapat menempatkan kita pada mentalitas warga negara yang kurang mampu berdiri di atas kaki sendiri seperti ungkapan Soekarno. Momentum hari ini harus menjadi bahan refleksi yang kita kembangkan melalui revolusi mental seperti yang dikemukakan Presiden Jokowi.

Revolusi mental harus dibangun dan dikokohkan diatasnya sehingga mentalitas sosial (pasca wabah corona) tidak melahirkan dinamika sosial yang katakanlah seperti yang saya kemukakan, namun dapat lebih mengedepankan rasa tanggung jawab sebagai warga negara dan dengan bertumpu pada rasa nasionalisme. Korelasi keduanya, revolusi mental dan mengokohkan nasionalisme bangsa dapat lebih menciptakan dinamika sosial yang jauh lebih baik untuk kita belajar dari kejadian hari ini dan dapat meningkatkan solidaritas sosial jika sewaktu-waktu kejadian seperti ini dan sejenisnya terulang kembali.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya