Patriarki : Penjara Hidup Bagi Perempuan

Dewasa ini, kekerasan terhadap perempuan tidak jarang ditemukan. Menurut catatan dari Komnas Perempuan yang diklasifikasi berdasarkan data provinsi, terdapat tiga kasus tertinggi tahun 2020 yang diduduki oleh DKI Jakarta dengan (2.461 kasus), disusul oleh Jawa Barat sebanyak (1.011 kasus), dan (687 kasus) dari Jawa Timur.
Salah satu faktor penyebab kekerasan pada perempuan adalah budaya patriarki. Patriarki merupakan sistem sosial yang didominasi oleh laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama.
Di Indonesia, budaya patriarki telah terjadi selama bertahun-tahun. Suburnya budaya patriarki menjadikan perempuan sasaran empuk. Kesewenang-wenangan kaum pria terhadap perempuan makin menjadi-jadi.
Perempuan dianggap lemah dan tidak bisa menjadi role model yang paripurna. Dia seolah dinilai hanya dari keelokan tubuhnya dan sebagai objek pemuas sesaat. Perempuan diharuskan menjadi pribadi yang manut, diam, dan tidak banyak protes.
Perempuan dalam mengambil keputusan cenderung dihantui perasaan bersalah oleh karena adanya stigma “melangkahi laki-laki”. Ambisi perempuan dianggap sebagai penyelewengan kodrat yang dibentuk oleh konstruksi sosial. Perempuan yang berpendidikan tinggi dan memiliki karier yang bagus dianggap membahayakan kedudukan laki-laki, sementara laki-laki dianggap keren dan maskulin.
Ketika telah menikah, beban domestik sepenuhnya ditangguhkan kepada perempuan, mulai dari memasak, mengurus anak, mengatur biaya kebutuhan rumah tangga, hingga melayani suami. Lain halnya dengan kaum pria, kebebasan seolah selalu berpihak padanya, kaum pria hanya dituntut untuk bekerja dan memberi nafkah ketika sudah menikah.
Emansipasi wanita yang telah lama digaungkan oleh RA. Kartini kini seolah termakan zaman. Begitu banyak subordinasi dan marginalisasi peranan wanita serta stereotipe bahwa wanita adalah makhluk yang lemah, cengeng, dan terlalu perasa. Mengakarnya budaya patriarki menyebabkan keterbatasan ruang gerak wanita.
Pelabelan "perempuan kotor" masih melekat pada korban pelecehan seksual. Cara berpakaian, sikap, hingga keberadaan korban di TKP digarisbawahi. Pelaku yang jelas bersalah dibela dengan alasan libido yang memuncak. Anak yang lahir dari hasil pemerkosaan dikatakan “anak haram”, dan seorang janda dilabeli “barang bekas”.
Hal ini sangat merendahkan harkat dan martabat perempuan. Sampai di sini terlihat jelas bahwa perempuan hanya dihargai dari selaput dara. Sementara pria tidak pernah dipertanyakan keperjakaannya.
Perempuan dan Ekonomi
Menurut penjelasan dari ibu Bintang Puspayogya (Menteri PPPA ), pada tahun 2019, (IPM) Indeks Pembangunan Manusia sekitar 69,18 bagi perempuan dan laki-laki sebesar 75,96. Beliau menyebutkan bahwasanya masih banyak ketimpangan yang dihadapi perempuan. Mulai dari ekonomi hingga kasus kekerasan.
Kondisi ini sejalan dengan budaya patriarki yang terus dilestarikan. Perempuan tidak mendapat posisi sebagai penggerak ekonomi yang mumpuni karena terus diposisikan sebagai subordinat. Kontribusi perempuan terhadap bidang ekonomi sering kali terhalang oleh stigma yang menyatakan bahwasanya kodrat perempuan adalah mengurus rumah, anak, dan suami.
Berdasar data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan pada tahun 2020 sekitar 53%, sementara laki-laki sebesar 80%. Hal ini berarti kontribusi perempuan sangat minim di bidang ekonomi.
Dalam revolusi industri 4.0 seharusnya tidak ada halangan bagi perempuan terus berkarya walau telah berkeluarga. Perempuan bisa dengan mudah mengembangkan kegiatan ekonominya melalui platform digital. Dan dengan adanya kontribusi perempuan, dapat meningkatan PDB suatu negara sehingga pertumbuhan ekonomi semakin membaik. Dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi dari tahun ke tahun otomatis akan meningkatkan pendapatan per kapita.
Perempuan dan Fenomena Sosial
Dalam berkembangan budaya patriarki di Indonesia, terdapat peranan orang tua yang memengaruhi. Pada kegiatan pola asuh anak tak jarang ditemui seorang anak perempuan diwajibkan mengerjakan seluruh pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak, membereskan rumah. Sementara anak laki-laki hanya diberi tugas membuang sampah. Hal ini bisa menjadi penyebab semakin suburnya budaya patriarki.
Begitu pun dengan korban-korban pelecehan seksual. Kendati dia dipandang sebagai pihak yang tertindas, kenyataannya malah dihakimi selayaknya pelaku. Keperawanan seseorang seolah menjadi kunci berharga dirinya. Masyarakat biasanya akan menyalahkan korban atas musibah yang menimpa.
Menurut data dari Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, menyatakan bahwa angka pernikahan dini di Indonesia menjadi peringkat kedua di Asia Tenggara. Terdapat sekitar dua juta dari 7,3 juta perempuan Indonesia di bawah umur 15 tahun putus sekolah dan telah menikah. Diperkirakan akan meningkat di tahun 2030. Komnas Perempuan berhasil menghimpun hampir 50% dari pernikahan dini di antaranya perempuan berusia 18 tahun dan pria di atas 30 tahun.
Hasil tersebut sejalan dengan mengakarnya budaya patriarki di Indonesia. Konstruk sosial yang dibuat untuk melindungi perempuan justru mengekang langkah dan gerak bebas perempuan.
Seorang perempuan yang tidak mau dinikahi oleh laki-laki yang telah dijodohkan akan dilabeli sebagai perempuan “pembangkang”, tanpa memikirkan kesiapan kedua calon mempelai akan memengaruhi fisik dan mental keduanya. Hal tersebut sebagai salah satu pemicu perceraian tinggi di Indonesia. Ketentuan bahwa perempuan harus menikah di bawah usia 25 tahun merupakan kemunduran budaya yang mesti direkonstruksi ulang.
Artikel Lainnya
-
159802/05/2020
-
89210/11/2022
-
162225/04/2020
-
Kita Bukan Orang Baik, Kita Hanya Orang yang Belajar untuk Jadi Baik
144329/12/2021 -
Senja Kala Bocah Miskin Kota, Bola Raya, dan Impian menjadi Arhan
119806/03/2022 -
Kemasan Baru Pariwisata NTB di Kala Pandemi
130329/12/2020