Kita Bukan Orang Baik, Kita Hanya Orang yang Belajar untuk Jadi Baik

Anak muda biasa yang suka belajar
Kita Bukan Orang Baik, Kita Hanya Orang yang Belajar untuk Jadi Baik 29/12/2021 1135 view Agama Pexels.com

Subjektif, satu kata yang mewakili semua manusia. Benarkah demikian? Faktanya Allah telah menegaskan dalam Al-Qur'an bahwa tidak akan ada objektifitas dalam keadilan manusia. Mari merenung bersama! Sering kali kita tak suka dengan perbuatan orang lain yang menurut kita itu salah. Disadari atau tidak, kita sering berkata, “Seharusnya begini, bukan begitu!”, entah itu di belakang ataupun di depan.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa kita menganggap kebenaran adalah apa yang kita anggap benar secara pribadi. Akibatnya, di satu sisi kita terlalu banyak menghakimi, tapi di sisi lain kita tidak suka bila dihakimi. Kita terlampau banyak menuntut, tapi sangat sedikit memberi. Ini merupakan sebuah fenomena yang sudah umum. Manusia lebih suka memanjakan egonya sendiri.

Selain itu, rasa puas kita pun tak berujung. Oleh sebab itu, semakin kita memanjakan ego kita, semakin kita ingin lebih memanjakannya. Tujuannya apa? Mengejar kepuasan tanpa ujung. Lantas, apakah semua hal tersebut menstigmatisasi kita, menjadikan kita makhluk rendahan? Tidak. Kita adalah makhluk paling sempurna namun bukan karena hal di atas. Perangkat yang menjadikan kita sebagai makhluk paling sempurna adalah akal.

Dengan berbekal satu perangkat termaktub, manusia bisa menguasai segala bidang. Apa pun bisa kita taklukkan. Namun, perlu diingat bahwa penggunaan akal harus dengan metode yang benar. Tujuannya supaya akal kita tidak menjadi sumber bencana. Mungkin karena hal itulah mengapa ayat yang pertama turun berisi perintah untuk membaca (belajar). Dengan belajar, kita bisa tahu mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus dilakukan dan mana yang tak boleh dilakukan.

Begitulah faktanya. Tanpa belajar, seseorang―atau bahkan kita―akan bertingkah semaunya. Tak mau peduli dengan perasaan orang lain, tak pernah mengindahkan hal yang benar, hanya mengejar apa yang membuat hati senang. Akibatnya kezaliman akan merajalela, dan setiap orang akan menganggap bahwa dunia ini tak cukup luas bahkan untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, belajar adalah hal yang sangat penting bagi setiap pribadi. Bukan hanya demi keuntungan individu, tapi juga kemanfaatan terhadap orang banyak.

Apa gunanya belajar jika hanya menjadikan diri kita merasa superior dan memandang rendah orang lain? Bukankah tak ada manusia yang hebat di semua sisi? Alih-alih saling mengolok, akan lebih baik bila kita saling mengisi. Kita semua memiliki waktu yang sama dalam sehari, yakni 24 jam. Namun, dalam 24 jam tersebut, apa yang kita pelajari berbeda-beda. Hal inilah yang menjadikan manusia hanya hebat di bidangnya masing-masing.

Mengacu paparan tersebut, maka sangat penting bagi kita untuk menghargai setiap personal. Sayangnya, saat ini “menghargai orang lain” seakan sangat mahal harganya. Tak perlu mencari orang lain, mari bertanya pada diri sendiri, selama ini kita lebih banyak mencela atau menghargai? Faktanya, kita semua lebih sering memandang orang lain dengan sebelah mata. Selaras dengan apa yang pernah dinyatakan Gus Dur bahwa manusia (sekarang) banyak bicara tentang ketuhanan, tapi lupa akan kemanusiaan.

Dari sinilah akal kita memiliki peran yang sangat penting. Dengan akal kita bisa memikirkan bagaimana seharusnya menempatkan diri kita. Analogi sederhanyan begini, ketika kita menjadi pemimpin, maka tempatkan diri kita sebagai rakyat. Jadi sebelum melakukan sesuatu atau mengeluarkan kebijakan tertentu, kita akan berpikir, “Seandainya saya di posisi mereka (rakyat), akankah hal ini bermanfaat bagi saya dan teman-teman rakyat yang lain?” Sederhana. Namun, apakah kita mau melakukan hal tersebut? Belum tentu.

Tetap saja masih banyak dari kita yang lebih mendahulukan egonya dibanding kepentingan orang lain/bersama. Itulah yang menjadi bukti bahwa kita semua bukan orang baik. Kita lebih sering merasa diri kita baik, padahal belum tentu.

Meski begitu, dengan akal kita bisa belajar untuk jadi baik. Tak perlu buru-buru, alon-alon asal kelakon, kita bisa memulainya dengan hal kecil. Misalnya, bila selama ini kita selalu menyalahkan seseorang atas perkara tertentu―padahal orang tersebut tak bersalah―kita bisa menggantinya dengan lebih banyak diam atau pun introspeksi.

Langkah pertama memang tak mudah, sangat berat, tapi nantinya kita akan terbiasa. Seperti halnya seorang anak kecil yang belajar berjalan, awalnya sulit dan berkali-kali terjatuh, namun akhirnya ia berhasil melakukannya. Terakhir, sebagai pengingat untuk kita semua khususnya diri sendiri, jangan berhenti berbuat baik, jangan bosan menebar manfaat, jangan pernah merasa baik. Kita bukan satu-satunya orang yang hidup di dunia ini. Ada banyak orang di luar sana yang bahkan jauh lebih baik dari kita. Selalu ada langit di atas langit. Walau begitu, jangan minder, tetaplah belajar untuk jadi baik! Wallahu A‘lam.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya