Novel dalam Dekapan Hukum Fiksi

Kasus yang menimpa penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, kembali menuai pandangan kritis dari berbagai kalangan yang menaruh simpati atas misteri tersebut. Perkara kian memanas lantaran Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Jakarta Utara yang menangani kasus Novel, menjatuhkan hukuman terhadap kedua terdakwa yang kini berstatus Brigadir Polisi nonaktif. Sungguh kejadian ini tak melibatkan norma keadilan.
Padahal, jika diamati dengan kacamata krimonologi, kasus tersebut merujuk pada penganiayaan berencana atau pembunuhan berencana, karena bersifat sistematis. Sangat mustahil jika terdakwa hanya diberi hukuman 1 tahun penjara. Sedangkan proses investigasi memakan waktu 3 tahun.
Mengutip pernyataan Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty) di Kompas.com bahwa “Pelaku yang bisa saja membunuh Novel, tetap dikenakan pasal penganiayaan. Sementara Novel harus menanggung akibat perbuatan pelaku seumur hidup. Jika dibandingkan dengan kasus-kasus serupa, misalkan yang terjadi di Bengkulu, JPU memvonis Heriyanto selaku terdakwa penyiraman air keras kepada isterinya dengan tuntutan 20 tahun penjara.
Sedangkan pada kasus Novel, tampak jika keadilan itu dicampakkan, dan demokrasi telah “dikebiri”. Jadi, tak bisa pungkiri jika negara sendiri telah melanggar HAM, karena pada kasus ini negara tidak memberikan warga negaranya untuk memperoleh keadilan dan penegakan hukum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Tragedi yang dialami Novel Baswedan, sungguh tak seromantis alur cerita dalam novel karya Mira W dengan judul “Merpati Tak Pernah Ingkar Janji”. Kasus ini sangat dramatis bak sinetron dalam stasiun TV Indosiar yang acap kali membuat para penonton jadi emosi, lucu dan kecewa atas adegan yang tidak memberi dampak edukasi.
Sebagaimana yang dirasakan Novel ketika JPU membacakan tuntutan 1 tahun penjara. Padahal dalam dakwaan primer, kedua terdakwa terancam maksismal 12 tahun penjara sesuai Pasal 353 ayat (1) juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan berat berencana.
Tentu publik sangat menyesali ketika JPU menuntut terdakwa menggunakan dakwaan subsider Pasal 353 ayat (2) juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan berencana dengan pidana maksimal 1 tahun penjara. Inilah yang menuai pertanyaan bahkan kecurigaan terhadap JPU. Sebenarnya apa yang memicu JPU sehingga memvonis para terdakwa menggunakan dakwaan subsider?
Publik tentu sangat menyesali tindakan otoriter JPU, yang memberikan hukuman pidana ringan terhadap Ronny Bugis dan Rahmat Kadir selaku terdakwa. Dengan alasan, bahwa kedua terdakwa tersebut belum pernah dihukum, mengakui perbuatan, bersikap kooperatif, dan mengabdi sebagai anggota Polri selama 10 tahun.
Alasan ini sungguh sangat tidak masuk akal dan sangat keterlaluan. Yang lebih membingungkan, JPU mengatakan bahwa kedua terdakwa terbukti tidak sengaja. Perspektif hukum yang digunakan JPU tersebut seolah sedang menunjukan “kedunguan”. Dan kini Jaksa tersebut menjadi representasi negara dalam perlindungan korban kejahatan, yang malah berbalik menjadi aktor pelindung pelaku kejahatan.
Ini sangat kontradiktif dengan norma keadilan dan kredo hukum sebagai alat untuk mengatur dan mengangkat harkat dan martabat warga negara berdasarkan asas keadilan.
Jika kita mengikuti misteri kasus penyiraman air keras terhadap Novel sejak 2017 lalu, memang menuai teka-teki. Banyak desas-desus skeptis bermunculan, salah satunya adalah luka bakar pada mata bagian kiri yang mengalami kebutaan, merupakan sebuah rekayasa untuk mengelabui publik.
Akan tetapi mengapa oknum-oknum skeptisisme itu tidak membuktikan pernyataan mereka. Yang lebih membingungkan, mengapa buku merah KPK yang sempat viral dan diduga sebagai barang bukti di balik kasus Novel Baswedan, sebagaimana hasil ulasan dari Tim Investigasi Indonesia leaks bahwa telah terjadi perusakan barang bukti di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada April 2017 lalu.
Penegasan ini penting karena sampai sekarang, pelaku peristiwa pidana itu masih melenggang bebas. Aparat penegak hukum belum menjatuhkan sanksi apapun untuk pelanggaran berat tersebut. Barang bukti yang dirusak ini memang bukan sembarangan. Buku merah adalah buku laporan keuangan perusahaan CV Sumber Laut Perkasa milik pengusaha impor daging Basuki Hariman.
Basuki ditangkap KPK pada Januari 2017 setelah menyuap hakim konstitusi Patrialis Akbar. Suap berkaitan dengan uji materi Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang akan menentukan nasib pengusaha importir daging seperti Basuki.
Ketika kantor Basuki Hariman, di daerah Sunter, Jakarta Utara, digeledah, penyidik menemukan setumpuk buku berisi laporan keuangan. Di salah satu buku bersampul merah itu ada catatan pengeluaran uang ke sejumlah pejabat dari berbagai instansi negara, termasuk petinggi polisi (Tempo.co).
Lantas yang menjadi pertanyaan, apa hubungan buku tersebut dengan petinggi kepolisian? Apa hubungannya buku merah itu dengan Novel? Mengapa buku itu dibuat rusak? Dan apa yang memicu batin kedua terdakwa dalam kasus novel sehingga melakukan kejahatan?
Tentu ini sebuah teka-teki yang mudah dipecahkan jika diselesaikan dengan mengesampingkan unsur politik. Atau tak menturutsertakan kepentingan indivudualistik (kekuasaan) dan mengutamakan sisi kemanusiaan.
Dalam peristiwa ini, Novel Baswedan seolah berada dalam dekapan hukum fiksi. Hukum yang seharusnya berlaku sebagai alat yang meracik tegaknya keadilan, kebenaran, kesamaan demi tercapainya bonum comune. Justru malah hukum dijadikan sebagai senjata untuk melindungi kezaliman.
Aparat penegak hukum yang seharusnya berfungsi sebagai explaneri center malah berakrobat mengkali proses hukum demi melindungi kejahatan. Sungguh ini mengecewakan jutaan masyarakat Indonesia yang menyimak peristiwa tersebut di sosial media.
Perlindungan hukum yang diterima oleh Novel terkesan bagaikan sebuah rekaan atau fiksi semata, layaknya cerita-cerita dongeng. Banyak kejanggalan dan sandiwara yang ditemukan dalam persidangan 11 Juni 2020 lalu. Mengutip catatan khusus Tim Kuasa Hukum Novel Baswedan, Pertama, dakwaan Jaksa mengaburkan fakta. Penyerangan Novel dianggap penganiayaan saja.
Kedua, saksi-saksi penting tidak dihadirkan oleh Jaksa. Padahal setidaknya ada 3 saksi yang sebelumnya sudah diperiksa penyidik Polri, Komnas HAM, dan Tim Pencari Fakta bentukan Polri.
Ketiga, peran penuntut umum terkesan seperti pembela terdakwa. Terlihat jelas ketika Jaksa melayangkan pertanyaan terhadap Novel dan menjatuhkan tuntutan. Catatan ini relevan dengan pernyataan dari Haris Azhar (Direktur Lokataru) bahwa nuansa rekayasa dalam persidangan tersebut sangat kental. Sebagaimana ciri pengadilan rekayasa, banyak keanehan dalam persidangan.
Sungguh sangat disayangkan moralitas aparat penegak hukum yang menangani kasus tersebut. Lebih miris jika negara mengabaikan hal ini. Apakah ini akan menjadi sebuah batu loncatan bagi kasus-kasus serupa, misalkan peristiwa penganiyaan terhadap masyarakat Papua.
Di manakah keadilan itu tegakan? Ketika para mahasiswa Papua melakukan demonstrasi anti rasisme, lantas mereka dituntut belasan tahun penjara. Akan tetapi, ketika aparat penegak hukum melakukan kejahatan sistematis malah hukum berfungsi sebagai alat pelindung kejahatan. Ini sangat ironis. Hal ini menunjukan bilamana norma keadilan, manipulasi hukum, moralitas penegak hukum, dan nilai kemanusiaan kian tergerus dalam konstitusi Indonesia.
Maka untuk menemukan titik keadilan dalam kasus Novel Baswedan, yang pertama, Jaksa Agung harus segera mengevaluasi JPU terkait materi tuntutan dalam kasus tersebut. Yang terindikasi sarat kejanggalan.
Kedua, Presiden Joko Widodo segera mengevaluasi kinerja Polri dan Kejaksaan Agung. Serta membentuk Satgas independen untuk membuka seluruh fakta kasus penyerangan terhadap Novel, termasuk mengungkap aktor intelektual dibalik penyerangan.
Inilah yang harus dan segera mungkin dilaksakan oleh negara. Sebab, menurut pandangan Spinoza bahwa negara dan hukum merupakan konsekuensi dari adanya peralihan, dari kehidupan alami ke kehidupan yang serba terikat oleh peraturan perundangan. Untuk itulah manusia membutuhkan atau membentuk negara dan hukum. Dengan adanya negara dan hukum, maka terjadilah peralihan dari status naturalis ke status civilis (JJ von Schmid, 1965).
Artikel Lainnya
-
140203/05/2021
-
24302/11/2024
-
76802/07/2021
-
Hakikat Kebahagiaan Sesungguhnya
526324/07/2020 -
Menatap Kematian dengan Optimisme
76201/10/2021 -
Etika Al-Ghazali: Mencapai Kebahagiaan di Akhirat
112122/05/2022