Menatap Kematian dengan Optimisme

Ketika kasus pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu naik secara drastis, berita kematian pun menjadi santer terdengar di telinga kita. Dari mulai kalangan selebritas, pejabat, ulama, bahkan orang-orang terdekat kita pun satu per satu menghadap Sang Pencipta.
Bila dipikirkan lebih dalam, kematian itu adalah sesuatu yang sangat dekat. Terlebih lagi kematian adalah sesuatu yang pasti terjadi, cepat atau lambat. Namun, sayangnya, tidak banyak yang sadar dengan hal ini.
Walaupun kematian itu dekat dan pasti, tidak banyak orang yang mempersiapkan kematiannya. Apalagi merasa bersemangat dalam menyambut kematian itu sendiri.
Padahal, jika diibaratkan sebuah perjaanan, kita seperti sedang menunggu di halte bus. Kita sedang menanti bus yang akan menjemput kita. Tiket sudah ada di tangan. Hanya saja, kita tidak tahu waktunya.
Seperti itulah kehidupan dan kematian. Ketika seseorang hidup, maka mati adalah sebuah kepastian yang tidak akan pernah terlewat. Jika seseorang pernah muda, maka belum tentu sampai tua. Jika seseorang pernah miskin, tetapi belum tentu bisa kaya. Namun, jika seseorang yang hidup, pastilah mati.
Kematian dipandang sebagai sesuatu yang mengerikan. Hampir semua orang takut mati. Walaupun ada juga yang mencari ketenangan dengan lebih dulu menyerahkan diri pada kematian.
Walaupun kematian itu sesuatu yang pasti, namun menyerahkan diri kepada kematian juga bukanlah sesuatu yang patut dilakukan. Sederhananya, jika sudah punya tiket, pergilah sesuai dengan tiket yang tertera, jangan mengambil tempat orang lain dengan menaiki bus yang salah.
Lalu bagaimana sikap kita seharusnya dalam menatap kematian? Haruskah kita ketakutan dan menghindarinya? Atau berputus asa sehingga mengambil nyawa kita sendiri?
Tidak, keduanya bukan sesuatu yang tepat untuk dilakukan. Ada hal-hal yang patut kita pahami agar kita bisa menatap kematian dengan optimisme.
Pertama, hidup di dunia hanya sementara. Saya pernah merantau ketika saya kuliah dulu. Tidak lama memang, hanya dua tahun. Namun, pengalaman merantau ini mengajarkan saya banyak hal.
Saat merantau, saya tidak punya keinginan punya tempat tinggal yang megah dan mewah, cukup yang sederhana. Selama kebutuhan dasar hidup terpenuhi, tidak masalah bagi saya.
Saya juga tidak punya keinginan untuk memiliki kendaraan yang canggih. Punya sepeda kayuh untuk berangkat ke kampus saja sudah cukup. Bila ingin pergi ke tampat yang jauh, saya bisa naik bus kota atau kereta. Tidak sulit. Tidak perlu mobil listrik apalagi pesawat jet pribadi.
Saya pikir, untuk apa saya punya fasiitas yang bagus di sana. Toh, semua itu akan saya tinggalkan ketika saya pulang. Di sana bukan tempat saya, dan saya akan pulang segera setelah dua tahun berlalu.
Begitu pula dengan hidup, dunia ini bukan tempat hidup, tetapi tempat meninggal. Memang kita hidup di sini, tapi tidak selamanya.
Memahami konsep ini akan membuat kita lebih dapat menikmati hidup. Kita jadi bisa lebih paham jika suatu saat apa yang kita kumpulkan akan kita tinggalkan. Bisa jadi kita sempat menikmatinya, bisa jadi juga orang lain yang akan menikmati selepas kita pergi.
Kedua, sejatinya hidup ini adalah perjalanan. Perjalanan panjang di mana kita harus melewati banyak tempat untuk bisa sampai di pemberhentian terakhir.
Seperti sedang menaiki bus, tujuan kita adalah surga, bukan dunia. Karena bukan menjadi tujuan, maka tugas kita di dunia adalah mengumpulkan bekal.
Seperti seorang musafir yang tahu jika perjalanan panjang yang akan ia tempuh, maka bekal yang akan ia siapkan juga akan jauh lebih banyak. Bukan malah menghabiskan bekal ketika menunggu bus datang.
Di dalam Islam, kita mengetahui jika kita sudah melewati dua alam, alam ruh dan alam kandungan. Sekarang, kita ada di alam kehidupan. Setelah ini masih ada alam akhirat yang jauh lebih berat dan panjang.
Ingat berapa umur Rosulullah saw. ketika beliau meninggal? Sekitar 63 tahun usianya. Berapa lama beliau ada di alam kubur? Sudah lebih dari 1400 tahun. Dan akan memakan waktu lebih lama lagi untuk sampai di surga.
Allah memberikan kita kesempatan hidup di dunia ini bukan untuk selamanya. Tetapi sebagai tempat mengumpulkan bekal untuk melanjutkan perjalananan panjang yang lebih melelahkan.
Ini juga yang saya pikirkan ketika saya merantau. Saya lebih memilih menabung uang yang saya hasilkan alih-alih menghabiskannya. Biar saja makan seadanya, selama halal dan kenyang, sudah cukup untuk saya. Bolehlah sesekali makan mewah sebagai reward diri sendiri. Namun, lebih baik uangnya ditabung. Toh setelah pulang saya akan lebih membutuhkannya.
Ketiga, merindukan pertemuan dengan sang kekasih. Pernahkan kita berpisah dengan orang yang kita cintai? Bagaimana rasanya? Bukankah kerinduan itu sangat membuncah dan tidak tertahan? Bayangkan orang tua yang sudah lama tidak kita temui, betapa rindunya kita pada mereka.
Kematian adalah selangkah lebih dekat dengan pertemuan abadi dengan sang kekasih. Sebagai seseorang yang mencintai Allah dan berharap untuk dicintai Allah, maka pertemuan dengan Allah adalah sesuatu yang amat sangat dinantikan.
Ketika kita masuk surga, ternyata kenikmatan tertinggi yang ada di surga bukanlah kenikmatan yang bersifat duniawi. Bahkan kenikmatan dunia ini ada di level surga paling rendah. Sedangkan, kenikmatan yang ada di Firdaus adalah kenikmatan bertemu langsung dengan Allah. Melihat wajahnya Allah adalah sesuatu yang tidak akan bisa ditukar dengan apapun.
Bayangkan jika seseorang yang merupakan penggemar berat K-Pop Idol, lantas diberi kesempatan untuk bertemu dengan idolanya. Bisa dibayangkan rasa bahaginya kan. Dan saya percaya kabahagian berjumpa dengan Allah akan jauh berlipat-lipat dari itu.
Hidup ini memang menawarkan banyak gemerlap-gemerlap kesenangan yang menyilaukan. Kematian memang nampak begitu menakutkan. Namun percayalah, di balik kematian ada banyak kebaikan juga yang bisa kita dapatkan.
Seperti kalimat yang sering saya baca di buku-buku sejarah Islam, “kami adalah orang-orang yang mencari kehidupan di balik kematian”. Karena kehidupan kita sesungguhnya bukan di sini, maka bersikaplah layaknya pengembara. Ambil sesuatu yang kita butuhkan, manfaatkan untuk kehidupan kita seperlunya, dan simpan sisanya untuk bekal kita melanjutkan perjalanan.
“Aku tidak memiliki kecenderungan terhadap dunia. Keberadaanku di dalam dunia seperti seorang musafir yang berteduh di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkan pohon tersebut.” (HR. Tirmizi).
Bila kita mengerti dengan tugas dan tujuan kita hidup di dunia ini, maka hidup kita akan lebih terarah. Kita sadar apa yang harus kita lakukan dan mempersiapkan apa yang terbaik untuk bekal pulang ke kampung halaman kita yang sesungguhnya, surga.
Kematian bukan lagi menjadi hal yang menakutkan. Justru di balik kematian ada harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Ada harapan untuk kebahagiaan hakiki. Karena sejatinya kebahagian hanya bisa diraih dengan rahmat dan kasih sayang Allah. Bukankah kasih sayang Allah lebih besar dari kasih sayang seorang ibu? Sayangnya, terkadang kita yang tidak memahaminya.
Artikel Lainnya
-
110621/08/2021
-
367613/10/2020
-
31008/07/2023
-
Perkara Membunuh Begal dan Pembelaan Darurat
87518/04/2022 -
Collaborative Governance untuk Lawan Corona
349117/05/2020 -
Menanti Kampus Ramah Lingkungan
26807/08/2024