Pesta Semua Orang Kudus dan Makna Panggilan Hidup Kristiani

Pesta Semua Orang Kudus dan Makna Panggilan Hidup Kristiani 02/11/2024 41 view Agama parokicikarang.or.id

Setiap tanggal 1 November, Gereja Katolik merayakan pesta semua orang kudus. Perayaan ini sekaligus mengingatkan seluruh gereja akan makna panggilan hidup sebagai orang Kristiani.

Gereja mengajarkan bahwa “orang Kristen dipanggil untuk mencapai kekudusan, yaitu kesempurnaan cinta kasih dan kepenuhan hidup bersama Allah Yang Maha Kudus. Kekudusan adalah kepenuhan hidup yang dinamis dan tidak bersifat statis, sehingga untuk mencapainya diperlukan usaha dan perjuangan yang terus-menerus.”

Ada beberapa hal penting yang perlu digaris bawahi dari ajaran tersebut. Pertama, kekudusan - yang merupakan panggilan kepada kesempurnaan cinta dan kepenuhan hidup bersama Allah - berlaku bagi semua orang Katolik. Pandangan ini membongkar cara pandang tradisional yang mengatakan bahwa panggilan menuju kekudusan itu hanya dieksklusifkan kepada mereka-mereka yang menjalani hidup membiara atau selibat seperti paus, para uskup, pada imam, para suster, dikon, dan frater. Dalam dan melalui definisi itu kiranya jelas bahwa panggilan menuju kekudusan merupakan panggilan universal untuk semua orang-orang yang telah dibabtis ke dalam iman Katolik.

Kedua, kekudusan adalah kepenuhan hidup yang dinamis dan tidak bersifat statis. Ini setidaknya jelas bahwa kekudusan itu bukan sesuatu yang tetap melainkan sesuatu yang senantiasa bergerak. Karena itu kiranya jelas juga bahwa untuk mencapainya diperlukan usaha dan perjuangan yang terus-menerus. Ini penting karena tanpa usaha dan penjuangan, kekudusan hanya menjadi mimpi yang tidak pernah terealisasikan.

Ketiga, hidup dalam kekudusan menyadarkan orang akan realitas tertinggi (Allah). Di tengah realitas hidup yang bising, hedonis, dan penuh kemewahan, hidup sederhana, berkurban untuk orang lain, dan solitude seperti yang umum dilakukan oleh-orang kudus memang terlihat aneh. Namun itu salah satu ekspresi hidup yang mau merevelasikan bahwa memang ada hal-hal dan realitas tertinggi yang jauh lebih bernilai daripada hal-hal yang kita lihat dan nikmati di dunia ini. Dan realitas itu adalah Allah. Tujuan menjalani hidup yang demikian adalah untuk merasakan penderitaan orang lain seperti yang dilakukan Yesus. Cara hidup yang demikian memang tidak menjadi jaminan keselamatan atau persekutuan yang sempurna dengan Allah karena keselamatan itu bergantung pada belas kasih Allah (the mercy of God). Namun demikian, cara hidup semacam itu setidaknya memenuhi undangan Yesus dalam injil untuk saling mengasihi, melayani, dan mencari kerajaan Allah terlebih dahulu karena itulah yang lebih penting dalam hidup sebagai orang Kristiani.

Keempat, panggilan sebagai orang Kristiani adalah sebuah panggilan untuk membentuk persekutuan yang direalisasikan dalam hidup sehari-hari atas dasar iman akan Yesus Kristus. Kekudusan hidup seorang Kristiani yang berpuncak pada persekutuan dengan Allah sejatinya dimulai dari persekutuannya dengan sesama dalam hidup sehari-hari atas dasar iman akan Kristus. Persekutuan yang dilandasi atas dasar iman akan Yesus itu merupakan ekspresi synodality yang menjadi grandnarative dalam kehidupan Gereja hari-hari ini. Bahwasanya perjuangan menuju kekudusan selalu dilihat dan dijalani dalam komunitas iman. Karena Gereja bukanlah realitas yang terfragmentasi. Gereja merupakan sebuah persekutuan. Karena itu, Gereja selalu berjalan bersama sebagai pilgrims of hope menuju kepada persekutuan dengan Allah.

Menjadi orang Kristiani - yang puncaknya adalah kekudusan - bukanlah sesuatu yang mudah karena mereka tidak hanya mengikuti Yesus yang bangkit (The resurrected Christ) tetapi juga Yesus yang menderita dan wafat di kayu salib. Dan karena itu selalu ada misteri paskah (pascal mystery) dalam hidup seorang Kristiani. Selalu ada tantangan yang menghadang. Tantangan hidup Kristiani dewasa ini sekurang-kuranya ada tiga, yakni: Pertama, materialisme. Pandangan hidup ini merupakan sesuatu yang sangat berbahaya dalam kehidupan iman Kristiani. Ia berbahaya karena ia cenderung mendeifikasi atau mendewa-dewakan hal-hal yang bersifat material. Bahwasanya hal-hal yang bersifat material lebih penting dan bernilai daripada hal-hal spiritual. Implikasinya terciptalah kehidupan sosial yang konsumtif dan hedonis. Dalam realitas hidup yang semacam ini orang cenderung bersikap barbar. Mereka akan selalu terdorong untuk memenui nafsu dan keinginanya. Sehingga tidak heran mereka sering mengeksploitasi alam secara liar, memakai obat dan barang-barang berbahaya, dan bahkan merusak tubuh sendiri dengan menjualnya secara murah meriah.

Kedua, hasrat untuk berkuasa. Dari sononya, manusia memang memiliki tendensi untuk berkuasa. Kekuasaan memang sesuatu yang baik karena ia bertujuan untuk mengatur, mengontrol, dan di atas segalanya untuk melayani kepentingan bersama. Namun, apa yang terjadi dalam realitas bukanlah demikian. Kekuasaan dimaknai secara elitis. Bahwa kekuasaan itu adalah sebuah privelese untuk mengatur dan mengontrol semata-mata. Dan karena itu tidak heran jika muncul corak kepemimpinan yang otoriter. Dan dalam sistem yang semacam ini, melayani kepentingan bersama bukan lagi menjadi tujuan utama karena semua pergerakan kekuasaan berorientasi pada kepongahan, kecongkakan, dan kepentingan pribadi seperti uang dan stutus quo.

Ketiga, pengakuan duniawi. Hidup manusia selalu berorientasi pada kebahagiaan. Namun kebahagiaan yang dicari manusia cenderung bersifat semu. Itu karena kebahagiaan yang dicari hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat duniawi seperti pengakuan sosial. Orang berloba-lomba berkuasa, mengejar prestasi, dan menjadi sukses hanya untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Namun apa yang diperoleh bukanlah kebahagian sejati melainkan kebahagiaan semu yang tidak memiliki kontribusi apa-apa dalam hidup.

Inilah tantangan yang membayang-bayangi kehidupan iman Kristiani dewasa ini. Dan bukan tidak mungkin banyak orang yang telah terjerembab dalam cara hidup yang demikian.

Pesta semua orang kudus yang dirayakan setiap tanggal 1 November hendaknya menjadi momen yang krusial bagi orang Kristiani karena itu bukanlah pesta biasa. Ada makna penting dibalik perayaan tersebut yakni supaya umat Kristiani yang hidup pada masa kini menghormati dan mengenang kembali kiprah orang-orang kudus dalam sejarah hidup Gereja dan yang lebih penting adalah untuk meneladani cara hidup mereka.

Keteladanan merupakan sesuatu yang penting bagi pertumbuhan iman Kristiani. Dan ini memang sudah terbukti dalam sejarah hidup Gereja sendiri. Segala kebijaksanaan dan kebajikan hidup yang dimiliki oleh orang-orang kudus dalam sejarah selalu ditiru oleh orang-orang masa kini sehingga mereka pun pada gilirannya, melalui kebijaksanaan dan kebajikan hidup yang demikian, mencapai kepenuhan hidup yang mereka dambakan.

Lantas, kebajikan seperti apa yang perlu dipelajari oleh Gereja masa kini? Hemat saya kebajikan yang penting untuk diteladani adalah: Pertama, kesetiaan (perseverance). Seperti yang telah disinggung pada bagian terdahulu bahwa menjadi orang Kristiani yang puncaknya adalah kekudusan bukanlah hal yang mudah. Ada banyak krikil, paku, dan salib yang senantiasa menemani perjalanan itu. Namun demikian, seperti orang-orang kudus, krikil, paku dan salib itu mesti ditanggung dengan setia dan penuh cinta. Karena hanya dengan itu kekudusan yang mereka dambakan itu tercapai.

Kedua, keberanian. Orang-orang kudus adalah orang-orang yang selalu berani untuk mengatakan “tidak” terhadap setiap godaan. Ini adalah langkah awal dalam menahan nafsu indrawi. Ketika komitmen itu dipraktikkan secara terus menerus, niscaya itu akan menjadi habit dan akan menjadi antidot dalam menangkal setiap godaan.

Ketiga, selalu mengikuti kehendak Allah. “Bukan kehendakkulah yang terjadi melainkan kehendakMulah yang terjadi”. Fiat Maria itulah yang selalu dipegang oleh orang-orang kudus sehingga mereka mampu menahan kecenderungan-kecenderungan hahiriah. Itulah yang diharapkan dari orang Kristiani masa kini supaya kekudusan yang menjadi tujuan panggilan hidupnya tercapai.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya