Mungkinkah Menyederhanakan Polemik Veronica Koman Sebatas Utang Piutang?

Salah satu urusan paling dilematik dan penuh intrik adalah penagihan utang. Mulai dari yang ditagih sampai yang menagih, yang profesional sampai ibu-ibu kantin, semuanya harus berhadapan dengan beban emosional yang berat. Apalagi kalau sudah masuk ranah utang antar teman yang legendaris itu.
Pokoknya yang namanya penagihan utang itu selalu membuat serba salah.
Contohnya bisa dilihat pada kasus antara Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan Veronica Koman. LPDP yang telah memfasilitasi dengan beasiswa, menuntut agar Veronica juga menepati utang kontraknya untuk pulang mengabdi dan berkarya di Indonesia. Dan kerena wanita yang sering berkutat dengan isu HAM di Papua tersebut dianggap tak menepati kontraknya, maka dia dituntut ganti rugi sebesar 773 juta lebih.
Akan tetapi, sebagaimana urusan utang lainnya, masalah tersebut membawa-bawa masalah lainnya. Mulai keterkaitan Veronica dengan isu di Papua, penetapannya sebagai DPO sampai kepada kontroversi dengan Menkopolhukam dan isu-isu lainnya seakan menjadi isu tak terpisahkan dengan isu kontrak beasiswa tersebut.
Padahal jika bisa membatasi masalah itu sebatas utang piutang saja, tentu semua akan lebih sederhana. Tapi, semua orang seakan sepakat menyikapi masalah ini dengan cara pandang yang sama. Kalau bisa diperumit, kenapa harus disederhanakan?
Buktinya bisa kita lihat mulai dari sisi pemerintah. Isu kontrak beasiswa tersebut dijadikan pemerintah sebagai alasan agar bisa memulangkan Veronica yang telah menjadi DPO sejak September 2019 silam
Penetapan Veronica sebagai DPO didasari statusnya sebagai tersangka yang diduga terlibat aktif menyebarkan informasi di media sosial bernada provokasi, terutama lewat akun Twitter pribadinya. Dan sejak itu telah banyak usaha yang dilakukan untuk membawa Veronica kembali ke Indonesia. Mulai dari pencabutan paspor, pemblokiran akun media sosial dan rekening pribadi.
Bahkan Menkopolhukam Mahfud MD pernah menyebut di media bahwa Veronica Koman itu adalah seorang pengingkar janji terhadap pemerintah RI sebab dia bersekolah, mendapat beasiswa dari Indonesia, dan tidak kembali. Artinya dia secara hukum dia punya utang terhadap Indonesia meskipun bentuknya beasiswa.
Maka wajarlah jika orang-orang melihat bahwa isu beasiswa LPDP ini adalah kelanjutan dari masalah-masalah tersebut.
Tidak hanya dari sisi pemerintah, Veronica sendiri juga punya andil untuk memperumit masalah ini.
Seakan membenarkan SOP pihak tertagih, Veronica membalas tuntutan yang diarahkan padanya dengan lebih garang. Memang bukan dengan serangan frontal seperti ketika ia berbicara isu diskriminasi di Papua, tapi dengan metode yang jauh lebih halus yaitu playing the victim.
Veronica menyebut dalam salah satu keterangannya bahwa Pemerintah Indonesia menerapkan hukuman finansial sebagai upaya terbaru untuk menekan dirinya berhenti melakukan advokasi HAM Papua. Selain itu, dia menyebut kepulangannya akan beresiko karena telah ada ancaman pembunuhan dan pemerkosaan terhadap dirinya.
Dampak dari pengakuan Veronica ini memang beragam. Ada yang bersimpati karena melihat hal ini sebagai pertikaian antara negara melawan aktivis HAM. Tapi di sisi lain, ada juga yang mencibir dan menyebutnya sebagai alasan yang dibuat-buat untuk mencari selamat. Namun yang pasti, hal ini menambah rumit masalah ini.
Tapi tentunya pihak yang paling berkontribusi menambah kerumitan masalah ini seperti biasa adalah warganet. Komunitas yang mampu mengubah kolom komentar menjadi arena tarung bebas. Berbagai isu tak akan lengkap jika tidak dikomentari. Dukungan paling tulus sampai hujatan paling menyakitkan disampaikan lewat berbagai akun media sosial.
Akhirnya, jadilah isu kontrak beasiswa Veronica Koman serumit-rumitnya pembahasan. Padahal jika bisa memilah persoalan dan melihatnya secara terpisah, masalah-masalah tersebut bisa disederhanakan dan lebih mudah menemukan solusinya.
Bagi LPDP atau pemerintah, jika membatasi masalah itu pada tuntutan kepada Veronica memenuhi kewajibannya, maka seharusnya isu ini sudah menemukan jalan keluar dengan penjatuhan sanksi yang mengharuskan pengembalian dana beasiswa.
Dengan demikian pemerintah tidak perlu disibukkan dengan tudingan kriminalisasi dan semacamnya.
Begitupun bagi Veronica, masalah akan lebih sederhana jika difokuskan kepada penyelesaian kontrak beasiswanya. Jika memang tidak mampu mewujudkan pengabdian yang sesuai dengan kategori yang ditetapkan pemberi beasiswa, maka sebaiknya tak perlu mengelak dan menerima konsekuensinya.
Apalagi, berdasarkan perkembangan informasi terakhir, ada gerakan mengumpulkan dana dari masyarakat pendukung Veronica untuk memenuhi tuntutan ganti rugi dari LPDP. Dan terlepas dari mana sumber dana untuk memenuhi ganti rugi tersebut, rasanya akan lebih melegakan bagi Veronica jika tak perlu berlarut-larut dalam polemik beasiswa ini. Menyelesaikan masalah ini malah akan memberi kesempatan untuk berfokus kepada isu lain yang lebih penting.
Hanya saja, meski cara seperti ini seakan mampu menyederhanakan masalah. Tapi, usaha menerapkannya takkan sesederhana itu.
Tantangan terberat tentu saja sebagaimana disampaikan di awal adalah kerelaan dan kemampuan masing-masing pihak untuk konsisten fokus pada satu isu saja.
Ternyata memang begitu sulit membiarkan utang tetap menjadi utang. Maksudnya bukan sulit untuk tidak melunasi, karena itu sangat gampang. Tapi sangat sulit untuk menjaga masalah utang tidak melebar ke masalah lain. Hal-hal yang sudah terjadi diungkit lagi, yang sekadar lewat dipaksa mampir. Bahkan yang tidak ada hubungannya pun bisa dibawa-bawa.
Artikel Lainnya
-
361013/12/2019
-
86512/02/2023
-
58915/04/2022
-
163723/04/2020
-
Merawat Nasionalisme Kaum Muda dalam Konteks Perkembangan Zaman
68320/12/2022 -
Catatan Redaksi: Radikalisme Good Looking
159413/09/2020