Catatan Redaksi: Radikalisme Good Looking

Admin The Columnist
Catatan Redaksi: Radikalisme Good Looking 13/09/2020 1508 view Catatan Redaksi Smol.id

Setiap pekan The Columnist menyajikan tulisan dari meja redaksi dengan mengangkat isu publik yang tengah berkembang dan patut diperbincangkan.

Kali ini catatan redaksi ditulis oleh Bung Fajar Ruddin mengenai polemik pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi. Disampaikan secara  ringan, namun membawa pesan penting khususnya bagi para milenial.

Selamat membaca!

Lagi-lagi gaduh. Menteri Jokowi yang satu ini sepertinya hobi betul cari perhatian. Seolah tak cukup dengan belalak mata rakyat se-nusantara di awal penunjukannya sebagai menteri agama, Fachrul Razi mencuat lagi dengan kegaduhannya yang lain.

Radikalisme good looking tema besar kegaduhannya kali ini. Bahwa radikalisme dibawa masuk oleh agen dengan “penampilan menarik”, katanya. Karena itu, instansi pemerintahan perlu memperketat seleksi masuk supaya tidak disusupi radikalisme. 

Jika sedikit menafikan kontroversinya, petuah menteri agama ini sebenarnya cukup out of the box cum solutif. Dia seolah mau bilang, BKN tak perlu melakukan asesmen jelimet dalam menyeleksi pegawai. Cukup dilihat dari fotonya saja. Sesiapa yang rupawan, haramlah baginya diloloskan. Tetapi selagi merenungkan petuah yang out of the box ini, saya jadi teringat pada isu purba yang rasanya penting untuk diulas lagi. 

Begini, salah satu perangai paling purba dari ras manusia adalah menilai orang lain berdasarkan atribut fisik yang melekat padanya. Warna kulit, ukuran tubuh, bentuk mata, hingga tipe rambut adalah objek yang seringkali menjadi landasan penilaian tersebut. Orang hitam misalnya, acap dilekatkan dengan kriminalitas. Atau orang gemuk, kerap diidentikan dengan lamban dan malas. Psikologi mengenal keyakinan yang demikian dengan sebutan stereotip.

Sebenarnya stereotip tidak melulu negatif. Dalam beberapa kasus kita dapat menjumpai stereotip positif. Sebagai misal masyarakat keturunan etnis tertentu disebut pandai berdagang. Tetapi, sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa manusia lebih menggandrungi hal yang berbau negatif. Barangkali karena yang negatif-negatif lebih dapat memuaskan hasrat berghibah manusia daripada yang positif. 

Tidak jelas betul kapan awal mula kemunculan stereotip di kehidupan manusia. Tetapi rasa-rasanya umur stereotip sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Karena itu, di awal tulisan saya menyebut stereotip sebagai bentuk perangai purba. Itu sebetulnya bentuk halus dari kata “primitif” yang mungkin kurang enak didengar. 

Psikologi sebenarnya punya “saham” dalam menguatkan beberapa stereotip negatif yang beredar di masyarakat. Dulu sekali, ketika psikologi masih merangkak menuju “ilmiah”, ada pembagian tipe kepribadian berdasarkan bentuk tubuh manusia. Tubuh kurus, jangkung, gemuk, pendek, hingga atletis punya tafsirannya masing-masing. 

Akan tetapi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan psikologi telah sampai pada masa “pencerahan”nya, teori tersebut perlahan ditinggalkan. Selain dianggap kurang saintifik, teori tersebut juga menguatkan stereotip di kepala manusia. 

Stereotip muncul sebagai akibat kemalasan berpikir manusia. Orang yang suka menstereotip orang lain cenderung mencari jalan pintas untuk sampai pada kesimpulan. Kebutuhan berpikirnya (need for cognition) rendah dengan pola yang biner. Baginya hanya ada dua kemungkinan atas segala sesuatu; baik-buruk, hitam-putih, pandai-bodoh. 

Meski fatal, pola pikir seperti ini nyatanya lebih disukai. Karena dengan usaha yang minimalis, manusia akan diantarkan pada hasil akhir. Mental “ilmiah” untuk ragu dan mempertanyakan, lalu menelusuri lebih jauh kemungkinan-kemungkinan yang ada, tidak ditemukan pada pelaku stereotip. 

Akan tetapi stereotip, terlebih yang negatif, tidak baik bagi siapapun. Entah itu pelaku, korban maupun masyarakat luas. Bagi pelaku, stereotip akan membuatnya terbiasa berpikir simplistis. Apa yang melekat pada memori bawah sadar, diangkat dan dijadikan pegangan untuk menilai sesuatu. Ini buruk. Karena pelaku tidak bisa mengeksplorasi kemungkinan lain yang bisa jadi lebih menguntungkan bagi dirinya. 

Bagi korban, stereotip lebih berbahaya lagi. Stereotip negatif yang terus menerus dilekatkan akan membuat korban menginternalisasinya. Akibatnya, karakter, perilaku atau perangai yang sebenarnya tidak ditemukan pada diri korban akhirnya diyakini olehnya. Stereotip pada orang gemuk misalnya. Jika lingkaran pergaulannya terus menerus menstereotip dirinya sebagai orang yang lamban dan malas, lama kelamaan dia akan menganggap dirinya seperti itu.

Adapun bagi masyarakat, stereotip yang diinternalisasi (dimensi kognitif) akan bertransformasi menjadi prasangka (dimensi afektif) hingga kemudian mewujud dalam bentuk perilaku diskriminasi. Ini juga sama buruknya. Kecemburuan sosial yang berujung pada gesekan dan konflik kerap bermula dari perilaku yang demikian. 

Mengingat sifatnya yang merusak itu, maka para pegiat kesehatan mental selalu berupaya mengampanyekan perlawanan terhadap stereotip. Sosialisasi dan edukasi senantiasa dilakukan untuk mereduksi stereotip di tengah komunitas. 

Bahkan belakangan ini kesadaran untuk melawan stereotip semakin meluas dengan ikut terlibatnya berbagai perusahaan besar dalam kampanye tersebut. Nike misalnya, tercatat beberapa kali menampilkan perempuan dalam iklannya untuk melawan stereotip gender. 

Dari uraian ini, jika dikaitkan dengan isu awal tadi, maka pernyataan menteri agama menjadi fatal. Alih-alih bercorak ilmiah, radikalisme good looking ala menteri agama adalah bentuk dan upaya mengajak manusia kembali pada keprimitifan dan kemalasan berpikir. Bahkan ada unsur adu domba di situ, karena berpotensi menimbulkan diskriminasi di tengah masyarakat. Dan yang pasti, pernyataan tersebut bertentangan dengan kampanye melawan stereotip yang digelorakan banyak pihak. Jadi temuan Pak Menteri sebaiknya tidak perlu diyakini, cukup disahuti “Siap, Ndan!” 

 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya