Mitologisasi Proyek Pembangunan di Era Orde Baru
Sokrates dikenal luas sebagai tokoh demitologisasi paling krusial dalam sejarah filsafat barat. Dengan metode dialektikanya yang tajam, ia berhasil meluluhlantakkan istana dogmatisme di eranya. Filsuf Athena ini tidak hanya mempertanyakan pandangan yang diterima umum, tetapi juga memaksa individu untuk menguji kembali premis-premis dasar kehidupan mereka. Status quo Athena pada saat itu, yang diwakili oleh para Sofis dan kaum berkuasa, merasa terancam secara eksistensial dengan pertanyaan-pertanyaan radikal Sokrates terhadap apa yang saat itu diyakini sebagai kebenaran mutlak. Ketidaknyamanan ini memuncak pada pengadilan, di mana Sokrates dipaksa untuk mengakhiri hidupnya dengan cara meminum racun, sebuah harga mahal bagi upaya pencerahan.
Mitos, sebagai implikasi dari relasi manusia dan alam, sebenarnya tidak begitu problematis di mata Sokrates. Ia memahami mitos sebagai narasi awal yang memberi makna pada fenomena kosmis. Namun, mitos menjadi masalah besar tatkala status quo menjadikannya sebagai dasar justifikasi absolut untuk mempertahankan kekuasaan dan ketidakadilan sosial. Segala bentuk eksploitasi dan penindasan yang dilakukan kaum bangsawan dan elit politik terhadap warga sipil pada saat itu selalu bernilai benar, bijak, dan bahkan sakral, karena mereka menciptakan mitos-mitos tertentu untuk menjustifikasi tindakan tersebut. Mitos, yang awalnya dimaksudkan sebagai jawaban atas segala fenomena kosmis dan juga sebagai prinsip pembimbing moral manusia, telah disalahgunakan. Di satu sisi, ia digunakan untuk memperkaya diri secara pribadi, dan di sisi lain, digunakan secara efektif untuk mengeksploitasi dan membungkam segala bentuk kritik––betapapun itu bersifat trnasformatif.
Tidak jauh berbeda dengan skema kekuasaan yang terjadi pada masa Sokrates, mitologisasi demi mempertahankan status quo politik dan ekonomi juga terjadi di era Orde Baru Indonesia. Namun, kali ini mitos yang disajikan memiliki format yang berbeda. Jika dahulu mitos berisi tentang cerita dewa-dewi yang memberi mandat ilahi kepada segelintir penguasa untuk mengambil kebijakan, kini, proyek ambisius "Pembangunan" yang digaungkan sebagai "demi kepentingan kolektif dan stabilitas nasional" dimitologisasi.
Terminologi "pembangunan" pada masa rezim Orde Baru mengalami mitologisasi secara masif dan struktural. Istilah ini menjelma menjadi semacam "sabda langit" atau ideologi suci yang dianggap benar dan mengalami imunisasi terhadap kritik transformatif yang substantif. Di bawah payung mitos ini, segala upaya utopis pembangunan, mulai dari perampasan tanah milik warga sipil atas nama proyek infrastruktur, eksploitasi hutan adat demi kepentingan konglomerat, hingga praktik-praktik kekerasan––bahkan pembasmian para aktivis yang dianggap menghambat—menjadi tindakan yang seakan-akan sah, dan dianggap sebagai suatu keharusan demi terwujudnya proyek ini. Mitos "pembangunan" telah menjadi justifikasi (pembenaran) buta dari segala kekejian dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan rezim pada masa itu. Ia mengalami transformasi signifikan dari yang awalnya merupakan usaha teknokratis untuk mengejar kemajuan kolektif, menjelma menjadi dogma yang harus ditaati secara absolut.
Upaya mitologisasi ini, tentu saja, menuai kritik dan antitesis dari mereka yang peka terhadap penyalahgunaan narasi "pembangunan" ini. Salah satu refleksi intelektual penting yang mencoba membongkar kebusukan ini adalah buku Dimensi Manusia dan Pembangunan karya Soedjatmoko. Dalam buku monumental ini, Soedjatmoko mengingatkan secara tegas bahwa pembangunan pada hakikatnya harus berorientasi pada manusia, bukan kebalikannya: manusia untuk Pembangunan. Ini adalah kritik mendasar yang menuntut pengembalian fokus pembangunan kepada prinsip kemanusiaan.
Dalam konteks domestik, mungkin kita semua sepakat bahwa Sokrates pada era Orde Baru yang tanpa rasa takut mendemitologisasi mitos "pembangunan" pada masa itu adalah Munir Said Thalib. Munir, yang terstimulasi oleh nilai-nilai fundamental kemanusiaan dan keadilan, mendedikasikan dirinya untuk menelanjangi mitos "pembangunan" ini di depan khalayak umum. Perjuangannya bukanlah perlawanan fisik yang konvensional; ia menulis analisis tajam, berorasi di mimbar publik, dan bergumul secara langsung dengan korban-korban mitologisasi kekuasaan, sembari memberi pencerahan hukum dan politik kepada mereka. Munir adalah seorang demitologisasian modern yang menggunakan pena dan suara sebagai senjata.
Namun, nahasnya––tidak jauh berbeda dengan nasib Sokrates yang dipaksa minum racun––perjuangan demitologisasi Munir juga harus berakhir secara paksa. Ia dibunuh secara keji dengan cara paling tidak jantan: diracun di atas pesawat saat hendak melanjutkan studinya ke Belanda. Pembunuhan Munir adalah tindakan yang mencerminkan ketakutan para pemegang status quo terhadap kebenaran yang ia suarakan.
Pada akhirnya, kita harus membedakan antara mitos sebagai konsekuensi alami pikiran manusia dan mitos sebagai alat politik. Mitos tidak bersalah dalam dirinya sendiri. Sejak manusia bisa berpikir, mereka telah menciptakan mitos-mitos sebagai konsekuensi dari relasinya dengan alam. Mitos bisa disebut sebagai bentuk awal dari "rasionalitas kosmis" manusia, sebuah upaya untuk menata kekacauan. Karena, sebagaimana dikatakan Aristoteles, "Manusia secara tabiat memiliki kecenderungan untuk mempertanyakan segala hal." Kebutuhan akan jawaban menjadi sangat mendesak bagi manusia agar dapat hidup tenang. Oleh sebab itu, mitos hadir memberi jawaban, jaminan, bahkan menjadi prinsip pembimbing moral dan sosial.
Namun, maksud baik dari diciptakannya mitos telah disalahgunakan secara sistematis oleh segelintir orang demi mencapai kepuasan dan kekuasaan subjektif. Banyak terminologi, ideologi, dan proyek besar mengalami mitologisasi demi menopang bentuk-bentuk keserakahan dan penindasan yang menjijikkan. Dengan demikian, upaya demitologisasi harus terus dihidupkan sebagai tradisi kritis yang abadi. Ia adalah panggilan untuk menyingkap "rasa lapar" para pengabdi perut yang tak berujung, memastikan bahwa kekuasaan selalu diuji oleh nalar dan etika kemanusiaan.
Artikel Lainnya
-
117523/03/2020
-
154728/04/2020
-
72009/06/2025
-
Sepak Bola dan Stimulus Krisis Imigrasi Uni Eropa
36725/06/2024 -
Tantangan Menulis dan Penguatan Literasi
89003/11/2021 -
Praktik Kebijakan Pemerintah yang Universal: Mungkinkah?
32213/07/2024
