Masyarakat Adat Warga Negara yang Terlupakan

Masyarakat Adat Warga Negara yang Terlupakan 09/06/2025 647 view Lainnya greeners.co

Di tengah gegap gempita pembangunan nasional dan kemajuan ekonomi yang diklaim terus meningkat, ada satu hal yang menyedihkan terus-menerus terjadi di negeri ini. Masyarakat adat yang telah ada jauh sebelum republik ini ada, justru semakin tersingkirkan dari tanah yang memberikan kehidupan bagi mereka sejak ratusan tahun lalu. Mereka yang seharusnya dihormati sebagai pemilik sah tanah leluhur dan pelindung kearifan lokal, malah diperlakukan layaknya warga negara kelas dua yang terpinggirkan secara struktural dan politik, bahkan kerap diposisikan sebagai penghalang pembangunan.

Padahal konstitusi negara Indonesia secara jelas mengakui eksistensi masyarakat adat. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Tetapi, pengakuan ini dibebankan syarat-syarat yang multitafsir “sepanjang masih hidup” dan “sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Kalimat ini, dalam praktiknya, justru menjadi celah bagi negara untuk menunda, bahkan menghindar dari tanggung jawab pengakuan dan perlindungan hukum yang nyata terhadap masyarakat adat.

Sejak tahun 2003 hingga hari ini, hal yang lebih menyakitkan terjadi yaitu Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat belum juga disahkan. Sudah berapa kali presiden berganti, parlemen juga berganti wajah, tetapi nasib masyarakat adat tetap stagnan. Sementara itu, undang-undang lain yang berpotensi menyingkirkan masyarakat adat dari tanah dan hutan adat mereka, seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja melenggang mulus dalam waktu singkat di sahkan. Hal ini menunjukkan bahwa ketika kepentingan ekonomi dan investasi yang bermain, negara bergerak cepat, tetapi ketika soal keadilan sosial bagi masyarakat adat, semuanya mendadak perlu dikaji lebih dalam.

Data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tahun 2023 menyebutkan bahwa 2.578.073 hektar wilayah adat telah dirampas. Ini bukan sekadar angka, melainkan ini adalah cerita tentang pemiskinan tersistematis, kehilangan identitas budaya, kehancuran ekosistem lokal, dan trauma kolektif yang ditanggung komunitas adat di seluruh Nusantara. Di balik statistik itu, ada wajah-wajah yang dipaksa meninggalkan tanah kelahiran, sawah yang tak lagi bisa ditanami, sungai yang tercemar, dan hutan yang digunduli atas nama kemajuan.

Contoh paling nyata dan memilukan datang dari masyarakat adat Rendu di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Pembangunan Bendungan Lambo yang digadang-gadang sebagai proyek strategis nasional justru mengorbankan ruang hidup masyarakat adat yang meliputi lahan pertanian, situs ritual, bahkan makam leluhur mereka. Ketika masyarakat menolak dengan alasan adat, spiritualitas, dan keberlanjutan hidup mereka, negara justru merespons dengan pengerahan aparat. Proyek dilanjutkan, perlawanan dibungkam, dan lagi-lagi, masyarakat adat menjadi korban dari ambisi pembangunan yang tidak berpihak.

Secara normatif, berbagai undang-undang seperti UU Pokok Agraria, UU Kehutanan, hingga UU Lingkungan Hidup memang mencantumkan pengakuan atas hak-hak adat. Namun dalam praktik, pengakuan itu ibarat hiasan dinding, ada tapi tak pernah digunakan. Kementerian ATR/BPN bukannya memfasilitasi pengakuan hak ulayat, malah menerbitkan Hak Pengelolaan (HPL) di atas tanah adat, menegaskan bahwa negara tetap memegang kontrol penuh atas wilayah adat. Ini adalah bentuk kolonialisme gaya baru, rakyat diklaim sebagai pemilik sah oleh negara, tetapi hanya sebatas wacana.

Yang lebih mengkhawatirkan, masyarakat adat justru dianggap sebagai pengganggu konservasi, padahal fakta berbicara sebaliknya. Kajian International Institute for Sustainable Development (IISD) mencatat bahwa sekitar 80% keanekaragaman hayati dunia berada di wilayah yang dikelola oleh masyarakat adat. Artinya, masyarakat adat memiliki sistem pengetahuan ekologis yang telah terbukti menjaga bumi jauh sebelum munculnya konsep-konsep seperti sustainable development atau green economy. Sayangnya, penghargaan terhadap pengetahuan ini masih sangat minim, bahkan sering dipandang sebagai praktik kuno yang harus ditinggalkan.

Lantas, apa yang harus dilakukan? Perlu ditegaskan bahwa solusi terhadap problematika ini tidak cukup sekadar dengan niat baik. Dibutuhkan perubahan struktural yang serius dan terukur.

Pertama, RUU Masyarakat Adat harus segera disahkan. Ini bukan sekadar regulasi, melainkan wujud konkret dari pengakuan dan keadilan bagi lebih dari 2.000 komunitas adat di Indonesia. RUU ini harus menjamin hak kolektif atas tanah, budaya, dan sistem sosial masyarakat adat, serta memastikan perlindungan terhadap mereka dari eksploitasi negara maupun korporasi.

Kedua, hak ulayat masyarakat adat harus diakui secara penuh, bukan bersifat administratif simbolik. Tanah adat bukan sekadar objek yang dapat dijadikan aset negara atau dimonetisasi dalam bentuk sertifikat HPL. Negara harus mengembangkan peta wilayah adat partisipatif dan membuka ruang legalisasi tanah adat berbasis komunitas, bukan korporasi.

Ketiga, partisipasi aktif masyarakat adat dalam setiap proses pengambilan kebijakan adalah syarat mutlak. Prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) harus diterapkan bukan hanya sebagai formalitas, tapi sebagai mekanisme hukum yang mengikat dalam setiap proyek pembangunan di wilayah adat.

Keempat, pemerintah harus menyediakan program pemberdayaan yang berbasis kebutuhan dan budaya lokal, mulai dari pendidikan multikultural, layanan kesehatan berbasis komunitas, hingga pemberdayaan ekonomi berbasis sumber daya lokal.

Pembangunan yang mengorbankan masyarakat adat bukanlah pembangunan, melainkan peminggiran sistematis. Kita tidak sedang membangun bangsa yang beradab jika dalam prosesnya kita merampas ruang hidup sesama anak bangsa. Indonesia tidak akan pernah benar-benar merdeka jika masyarakat adat terus menjadi korban dari sistem yang tidak adil.

Sudah saatnya kita keluar dari retorika kita harus mengakui dan masuk ke tahap melindungi dan memberdayakan. Masyarakat adat bukan masa lalu yang harus ditinggalkan. Mereka adalah bagian dari masa depan yang berkelanjutan sebagai penjaga bumi, budaya, dan keberagaman yang menjadi identitas bangsa ini.

Jika negara terus abai, maka bangsa ini sedang menggali lubang peradaban sendiri. Tapi jika negara hadir dan berpihak, maka kita bukan hanya menyelamatkan masyarakat adat, tapi juga menyelamatkan jati diri Indonesia.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya