Semi Lockdown dan Perlunya Indonesia Mencontoh Negara Tetangga

Virus corona Covid-19 telah memaksa penduduk bumi tampak amatiran menghadapi penyakit satu ini. Selagi belum ditemukan vaksin penangkal, per Sabtu (21/3) di seluruh dunia ada 297.455 ribu orang positif terjangkit Covid-19 dan 12.775 orang meninggal dunia. Angka tersebut terus meningkat sejak Januari kemarin. Mobilitas tinggi penduduk di seluruh dunia menyebabkan penularan virus menjadi sangat cepat.
Menurut World Health Organization (WHO) virus corona Covid-19 menyebar melalui tetesan kecil yang keluar dari hidung atau mulut ketika orang yang terinfeksi virus ini bersin atau batuk. Tetesan ini kemudian mendarat di benda atau permukaan yang disentuh oleh orang sehat lalu mereka menyentuh mata, hidung, mulut atau terhirup. Gejala Covid-19 yang paling umum adalah demam, kelelahan dan batuk kering. Namun ada pula beberapa orang yang terinfeksi tetapi tidak menunjukkan gejala apa pun dan tetap berbahaya menularkan kepada orang lain.
Cara paling ampuh untuk menjegal laju penyebaran virus corona kemudian adalah dengan mengurangi interaksi dengan orang banyak. Berbagai cara akhirnya diterapkan secara global seperti menjaga jarak (social distancing) antar individu di tempat umum, membatalkan acara massal, keagamaan, memberlakukan kerja di rumah (work from home) sebagai bagian dari seruan untuk tinggal di rumah.
Dalam perkembangannya, muncul istilah lockdown alias karantina wilayah. Ini pertama kali dilakukan Cina di Provinsi Hubei dengan ibu kota Wuhan di mana epidemi ini meledak. Hasilnya efektif. Dilansir dari Guardian, hampir dua bulan setelah pemberlakuan lockdown, otoritas Cina menyebut laju penularan menurun drastis. Langkah lockdown kemudian diikuti oleh sejumlah negara Eropa yang diserang Covid-19 seperti Italia, Spanyol, Jerman, Irlandia dan lainnya.
Di Indonesia, laporan mengenai warga yang positif Covid-19 datang terlambat. Pemerintah disorot tajam oleh dunia dan sejumlah warganya sendiri mengenai tidak adanya warga Indonesia yang terjangkit. Padahal secara geografis dan lalu lintas, Indonesia dikepung oleh negara-negara yang terus melaporkan pasien positif maupun yang meninggal dunia.
Beberapa bulan lalu, ketika negara lain mulai siaga dan panik, pemerintah Indonesia masih saja tampak menyepelekan. Malahan mengeluarkan kebijakan yang berorientasi ekonomi dengan memberi promo tiket wisata, dengan harapan menarik banyak orang untuk mengunjungi Indonesia yang diklaim aman dari serangan Covid-19. Tentu saja ini berpotensi mempercepat penyebaran virus ke berbagai daerah dan mengabaikan pendeteksian dini kasus pasien positif Covid-19 di Indonesia.
Sejak Jokowi mengumumkan dua kasus positif Covid-19 pada 2 Maret kemarin, jumlah pasien positif Covid-19 di Indonesia terus meningkat. Per Minggu (22/03) adai 514 orang positiv Covid-19, 29 di antaranya sembuh dan meninggal dunia sebanyak 48 orang. Itu membuat kematian Covid-19 di Indonesia menjadi yang tertinggi di dunia. DKI Jakarta masih menjadi episenter Covid-19 dengan 307 positif dan 29 diantaranya meninggal dunia.
Apakah sudah saatnya Indonesia memberlakukan lockdown seperti beberapa negara lainnya demi menghindari penyebaran yang kian besar?
Desakan lockdown menggema dari berbagai pihak. Istilah ini menjadi jamak berseliweran di media sosial menyisip di antara riuhnya warganet yang membicarakan penularan corona.
Selain sejumlah masyarakat, Kamar Dagang dan Industri (KADIN) juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk menetapkan lockdown. Begitu pula dengan rapat KADIN dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang menyinggung opsi lockdown Jakarta. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menyebut lockdown atau isolasi kota bisa dilakukan jika penyebaran corona kian meluas.
Tetapi instruksi terbaru dari Jokowi pada Sabtu (21/3) adalah tidak ada lockdown. Melalui Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo pemerintah masih mengandalkan imbauan kepada rakyat untuk mematuhi berjaga jarak (social distancing) dan menghindari kegiatan berkerumun. Sebelumnya pemerintah juga telah menetapkan perpanjangan status bencana Covid-19 menjadi 91 hari terhitung sejak 29 Februari 2020 sampai 29 Mei 2020 mendatang.
Memang, apabila diberlakukan lockdown sekalipun hanya di Jakarta sebagai episenter Covid-19, sektor ekonomi akan terguncang hebat lantaran berarti melumpuhkan daerah yang menanggung lebih dari 60 persen dari pergerakan uang dalam perekonomian nasional. Dilansir dari Tirto, inflasi Indonesia bakal tembus di atas enam persen dan merugikan daya beli masyarakat. Belum lagi pemerintah harus memiliki ketahanan pangan yang cukup selama masa lockdown agar tidak terjadi kelaparan massal di Jakarta.
Kasus lockdown di provinsi Lombardi, Italia sebagai episenter Covid-19 juga bisa jadi pelajaran. Pasalnya, sejak dilakukan lockdown akhir Februari kemarin, jumlah pasien positif Covid-19 dan korban jiwa masih tetap tinggi dan menyebar di daerah lain hingga harus memperluas pembatasan aktivitas di sana sini. Italia juga bisa dibilang mulanya tampak mengabaikan bahaya virus ini dan bermaksud tidak membuat negaranya dalam kepanikan.
Cina sendiri menilai kematian tinggi di Italia akibat warga yang tetap tidak patuh pada status lockdown. Wakil Presiden Palang Merah Cina Sun Shuopeng melihat masih banyak warga Italia yang berada di tempat umum, di angkutan, berkumpul di hotel, tidak memakai masker dan lainnya. Ini membuat status lockdown menjadi tidak benar-benar sama seperti yang dilakukan Cina di provinsi Hubei.
Dengan melakukan social distancing, melarang kegiatan berkumpul, meliburkan sekolah dan perkuliahan, menutup tempat-tempat hiburan, memberlakukan bekerja di rumah (work from home), dan lainnya, pemerintah Indonesia sebenarnya sudah melakukan semi lockdown.
Maka yang bisa jadi rujukan Indonesia adalah penanganan efektif Covid-19 di negara-negara tetangga yang tidak melakukan lockdown. Di Vietnam misalnya, mereka melakukan semi lockdown. Negara komunis dengan penduduk 97 juta jiwa dan terpadat ke-15 ini memiliki kasus positif Covid-19 sebanyak 76 orang per 19 Maret 2020 dengan kematian nol. Bahkan sebelumnya sukses menyembuhkan semua pasien positif ketika masih di angka 16 orang. Apa rahasianya? Selain pemberlakuan semi lockdown, kebijakan kesehatan Vietnam adalah dengan memakai alat tes Covid-19 yang cepat, efisien dan terjangkau. Proses karantina dilakukan secara disiplin serta ditunjang transparansi alias tidak ada yang ditutup-tutupi.
Korea Selatan, kasus positif Covid-19 mencapai 8.652 per Jumat (20/3), membuatnya menjadi negara dengan kasus positif terbanyak di dunia. Dari jumlah kasus corona tersebut, sebanyak 1.540 telah dinyatakan sembuh dan jumlah kasus kematian sebanyak 94 orang. Padahal pada 12 Februari lalu, hanya ada 28 positif. Meski mengalami lonjakan begitu besar setelah seorang wanita di Daegu dinyatakan positif dan menularkan ke banyak orang, negeri itu tidak melakukan lockdown seperti Cina dan Italia.
Di pusat wabah kota Daegu, orang-orang tidak dibatasi pergerakannya namun tetap menyarankan warga tinggal di rumah, menghindari acara publik, memakai masker dan menjaga kebersihan. Pemerintah justru fokus pada wajib karantina para pasien positif maupun yang telah melakukan kontak. Pemeriksaan massal digalakkan hingga mampu memeriksa ratusan ribu orang per harinya. Alat penguji yang hasilnya bisa keluar dalam hitungan menit tersedia di klinik-klinik. Mereka juga membangun puluhan stasiun pengujian berbasis drive-throught.
Tidak cukup di situ, pemerintah Korea Selatan akan mengirim pesan teks kepada publik guna memberitahukan tentang perjalanan atau pergerakan pasien Covid-19 seperti menampilkan nama toko atau restoran yang dikunjungi. Ini membuat siapa saja mampu meminimalisir kontak dengan pasien positif. Kerja keras pemerintah juga bersambut dengan kemauan warga yang mematuhi segala aturan yang sudah dibuat. Hasilnya, negara itu mampu mengerem laju kasus positif Covid-19 di saat negara lain terus mengalami peningkatan.
Di Taiwan, perang terhadap Covid-19 tidak jauh berbeda dengan Korea Selatan. Warga turut bahu membahu dengan membuat peta daring yang menunjukkan toko mana saja yang menyediakan masker. Singapura memberlakukan perintah isolasi diri yang tegas bagi yang positif maupun bergejala.
Indonesia bisa belajar keras dari negara-negara di atas yang tidak melakukan lockdown namun tetap mampu mengendalikan virus. Memang, negara-negara di atas punya rekam jejak dihantam virus macam SARS di tahun-tahun sebelumnya, sehingga mereka belajar dari itu. Tetapi masalahnya Covid-19 lebih ganas ketimbang SARS meski masih dari kelompok virus yang sama. Dan betapa payahnya Indonesia apabila harus menunggu jatuh korban jiwa lebih banyak lagi serta ujungnya akan membawa dampak terpuruknya ekonomi karena aktivitas lumpuh diserang wabah.
Artikel Lainnya
-
56907/06/2021
-
96416/02/2020
-
123314/11/2021
-
161121/10/2019
-
Masih Pentingkah Ujian Nasional? Sebuah Catatan Akhir Tahun
134324/12/2019 -
Pendaftaran Kelas Menulis Beginner
136321/06/2021