Bahaya Produktivitas Bahasa Indonesia

Mahasiswa
Bahaya Produktivitas Bahasa Indonesia 28/04/2020 1172 view Pendidikan Pixabay.com

Ilmu kebahasaan atau linguistik boleh disebut sebagai ilmu yang cukup fundamental dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keberadaan ilmu kebahasaan memungkinkan setiap individu mampu menjalin, memperluas, serta bahkan melibatkan diri dalam berbagai aspek kehidupan. Misalkan saja dalam dunia pendidikan, ilmu kebahasaan menjadi hal yang fundamental bagi pendidik maupun peserta didik untuk meramu dan menggeluti berbagai macam bidang ilmu yang lain.

Ataupun dalam dunia perhubungan internasional, linguistik menempati aspek yang urgen untuk senantiasa dipelajari dan diketahui. Bahwasannya, ilmu kebahasaan atau linguistik memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam bangunan relasi yang tercipta dalam hubungan antarpemerintah, maupun masyarakat di negara yang satu dengan negara yang lain.

Negara Indonesia sendiri sudah sejak lama menggaet aspek urgen dan fundamentalnya ilmu kebahasaan atau linguistik tersebut. Kita tentu mengenal mata pelajaran Bahasa Indonesia sebagai ilmu linguistik yang senantiasa dan selalu ditekankan keberadaannya di bangku-bangku pendidikan di negeri ini. Keberadaan bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan, bahasa penuntun, yang sangatlah baik perkembangannya bagi keterlibatan masyarakat dalam menggeluti tata laku kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perkembangan bahasa Indonesia itu pun tak terlepas dari produktivitas bahasa yang terus menerus mengemuka. George Yule (2015) sebagaimana dikutip Yohanes Orong (2017: 4-5) mengulas produktivitas bahasa sebagai upaya menciptakan keunikan tersendiri bagi kemampuan berbahasa manusia untuk terus-menerus menciptakan ekspresi baru, dengan memanipulasi sumber linguistik sebagai upaya untuk menjelaskan benda dan situasi baru. Adanya kemampuan produktivitas bahasa yang unik ini, turut menuai banyak term yang terus-menerus bermunculan dari setiap segi kehidupan bangsa Indonesia, yang juga senantiasa menampakan ekspresi-ekspresi baru.

Ini memang penting dan pasti ada. Sebab, perkembangan bahasa searah dengan perkembangan peradaban manusia yang senantiasa memunculkan hal-hal baru. Pembaruan tersebut menuntut ungkapan atau pun ekspresi-ekspresi yang dituangkan dalam bahasa sebagai simbol. Lewat bahasa, kita dapat mengenal dan mengetahui dengan sangat baik substansi dan hal-hal mendasar lain yang terkandung di dalam benda atau hal-hal yang ingin kita ungkapkan tersebut.

Historisitas Bahasa Indonesia

Secara historis pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia termaktub dalam dua peristiwa besar dalam kehidupan bangsa Indonesia sendiri. Pertama, Kongres Sumpah Pemuda yang berlangsung pada 28 Oktober 1928. Lewat peristiwa ini, bahasa Melayu yang pada saat itu berkembang menjadi lingua franca diangkat menjadi bahasa Indonesia, yang kemudian diikrarkan sebagai bahasa persatuan. “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Kedua, penempatan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara atau bahasa resmi pada 18 Agustus 1945. Hal ini termaktub dalam pasal 36 Bab XV UUD 1945 yang menegaskan bahwa, Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia. Adanya pernyataan tersebut bukan hanya mengklaim peran bahasa Indonesia sebagai penghubung antarmasyarakat dalam konteks kebangsaan Indonesia, tetapi berperan pula dalam keberlangsungan hidup bernegara.

Dua pijakan dasar yang mengukuhkan keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara tersebut, semestinya turut pula memayungi dan memotivasi publik Indonesia dalam memproduksi ragam bahasa Indonesia yang tampil secara formal maupun nonformal dalam kehidupan bangsa Indonesia sendiri. Dalam artian bahwa, setiap kita yang menamakan diri sebagai warga/masyarakat Indonesia mesti secara sadar menciptakan dan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar sesuai kaidah kebahasan yang telah ditetapkan. Bahwasannya, banyak kali cenderung tampil produktivitas bahasa yang berlebihan, yang justru ingkar dari kaidah kebahasan yang baik dan benar.

Menilik Produktivitas Bahasa yang Problematik

Pada aras ini, penulis mencoba menampilkan produktivitas penggunaan bahasa Indonesia yang terkesan salah kaprah dan problematik. Penulis mengambil contoh penulisan salah satu judul pada koran Expo edisi Minggu III Juli 2017, yang dikutip dari tempo.co.id. Judul tersebut ditulis demikian: “Disebut Sakaw Saat Live di TVOne, Boni Hargens: Fitnah”.

Secara sekilas pembaca akan kebingungan dalam memahami makna dan maksud dari kalimat judul tersebut. Kebingungan pembaca tentu saja mengarah pada ketidakcermatan penggunaan kata “sakaw” dan “live”, serta penggunaan tanda baca titik dua.

Pertama, kata “sakaw” yang digunakan penulis di dalam kalimat judul tersebut, sesungguhnya tidak ditemukan di dalam KBBI V. Jika melihat keseluruhan isi artikel, barangkali penulis bermaksud menulis kata “sakau” yang dalam KBBI V diartikan sebagai kondisi seorang pemakai narkoba yang ketagihan.

Kedua, kata “live” yang digunakan oleh penulis artikel semestinya dicetak italic. Sebab, kata live merupakan kata asing (Inggris, live: langsung, pertunjukan yang diambil langsung) yang belum disesuaikan ejaannya.

Ketiga, penggunaan tanda baca titik dua di dalam kalimat judul tersebut justru menimbulkan kerancuan atau kontaminasi kalimat. Kerancuan atau kontaminasi merupakan pencampuradukan dua atau lebih bentuk konstruksi bahasa sehingga menghasilkan konstruksi yang salah (Orong, 2017: 119).

Kalimat judul tersebut merupakan bentuk kalimat majemuk tidak setara atau kalimat bertingkat. Kalimat “Boni Hargens: Fitnah” merupakan klausa induk kalimat dari judul tersebut.

Tindakan penulis artikel yang meletakan tanda titik dua pada klausa induk kalimat tersebut, sesungguhnya ingin menggantikan posisi predikat. Tanda titik dua di dalam Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (PUEBI), dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap yang diikuti rangkaian atau pemerian; bukan untuk menggantikan posisi predikat yang menjadi struktur dasar dalam sebuah kalimat.

Tak ada salahnya, apabila penulis artikel menggunakan predikat, semisal mengatakan ataupun menyebut, sehingga memperjelas maksud dan makna dari judul yang ditampilkan. Semakin jelas sebuah konstruksi kalimat, kan semakin bagus bagi upaya menghadirkan pemahaman bagi pembaca dalam menilik keberadaan sebuah kalimat.

Kecermatan dalam memproduksi kreativitas penggunaan bahasa menjadi aspek yang sangat penting dalam membentuk sebuah kalimat yang efektif. Kecermatan berkaitan dengan aspek logis tidaknya kalimat yang dibuat sehingga tidak menimbulkan tafsiran ganda (Orong, 2017: 73).

Boleh saja seorang penulis ataupun pembicara menggunakan ragam gaya penulisan atau ungkapan se-kreatif mungkin, tetapi mesti memperhatikan syarat dan ketentuan ilmu kebahasaan di dalam PUEBI. Konteks pemahaman ini, tentu saja berbeda dalam penggunaan ragam cakapan dalam keseharian aktivitas hidup masyarakat yang lebih mementingkan pemahaman dibandingkan konstruksi kalimat yang dibentuk.

Ragam cakapan dalam aktivitas hidup harian boleh dipahami dalam konteks penggunaan bahasa Indonesia yang nonformal yang biasanya mengerucut dalam semboyan “asal dapat mengerti”. Kita mesti dapat membedakan penggunaan bahasa dalam konteks hidup harian (nonformal) dan dalam situasi formal. Penggunaan bahasa dalam situasi formal haruslah lebih memperhatikan kaidah penggunaan bahasa yang baik dan benar, sebagaimana tercantum dalam PUEBI.

Refleksivitas: Upaya Kesadaran Berbahasa

Ketidakcermatan pemakaian kata dan tanda titik dua di dalam judul pada media EXPO tersebut, dapat menjadi salah satu contoh dari banyaknya praktek penggunaan bahasa Indonesia yang keliru. Masih begitu banyak model pengingkaran bahasa yang secara sadar maupun tak sadar ditulis dan diungkapakan begitu saja dalam tudung semboyan “asal dapat mengerti”.

Untuk itu, refleksivitas bahasa dapat menjadi jalan keluar yang baik bagi upaya merevitalisasi kesadaran berbahasa kita. George Yule (2015) sebagaimana dikutip Yohanes Orong (2017: 3) mengulas refleksivitas dalam “fakta bahwa kita dapat menggunakan bahasa untuk berbicara dan berpikir tentang bahasa itu sendiri, yang membuatnya menjadi salah satu fitur unik dari bahasa manusia”. Kemampuan inilah yang menjadi salah satu faktor pembeda antara kemampuan berbahasa manusia dan makhluk nonmanusia.

Keunikan dalam kemampuan berbahasa ini, mesti memantik kesadaran kita pula dalam menampilkan produktivitas bahasa yang juga menjadi salah satu fitur unik dari kemampuan bahasa manusia. Dengan demikian, kita boleh saja berkutat dengan ragam produktivitas bahasa yang kita tampilkan, tetapi mesti pula memunculkan balance – keseimbangan terhadap adanya kemampuan refleksivitas bahasa.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya