Tantangan Menulis dan Penguatan Literasi

Pegawai
Tantangan Menulis dan Penguatan Literasi 03/11/2021 836 view Lainnya ceritashanty.com

Beberapa bulan belakangan, diperkenalkan program 'Tantangan Menulis' oleh salah satu rekan yang akunnya saya ikuti di media sosial. Hal pertama yang tebesit di benak saya adalah ini merupakan pengalaman menarik yang akan sayang apabila terlewat.

Rasa penasaran menyeret saya untuk menyeburkan diri mengulik lebih jauh apa yang ditawarkan event ini. Rutinitas menulis yang sudah mulai kendor, kembali menggeliat. Semangat terpecut oleh rasa ingin tahu. Kepercayaan diri kembali meningkat. Jadilah saya memutuskan mencoba hal baru dalam dunia literasi guna mencicipi sensasi lain dari dunia tulis menulis ini.

Tujuh belas hari, saya dan para penulis lainnya ditantang untuk menyajikan tulisan dengan tema bebas tetapi terikat syarat minimal dan maksimal jumlah kata yang bisa disajikan. Hal tersebut tentunya merupakan kerikil kecil yang akan menjadikan tantangan lebih gereget. Tetapi, bagaimana pun kerikil kecil tersebut bisa pula menjadi batu sandungan apabila kita tak awas mengamatinya atau bahkan memandangnya dengan sebelah mata. Kekurangan atau kelebihan jumlah kata dapat membuat kita ditendang ke luar arena.

Belum lulus dari ujian pertama, beranda media sosial teracuni hal lain yang lebih sophisticated. Tantangan Menulis 30 hari! Wow, mengikuti dua tantangan dari dua akun menulis yang berbeda membuat saya harus mempersiapkan dua tulisan setiap harinya. Hal tersebut membuat adrenalin saya makin terpacu.

Kali ini admin akan menyampaikan tema berbeda di tiap awal hari. Benar-benar tantangan, bukan? Setiap kali mengumpulkan naskah tulisan, yang terpikirkan adalah tema apalagi yang telah disiapkan untuk kami esok hari?

Sebenarnya bukan iming-iming hadiah yang membuat saya tertarik. Pun sempat ingin mundur ketika prasyarat untuk ikut tantangan seperti men-tag teman-teman di media sosial atau memasang Twibbon diri tampak terlihat berlebihan.

Rasanya bukan saya sekali jika harus memperlihatkan diri sebagai penulis pada orang-orang yang saya kenal. Hal itulah yang membuat saya lebih nyaman menggunakan nama pena ketimbang dikenal dengan nama asli dalam dunia literasi. Tetapi sekali lagi, rasa penasaran mencelupkan diri dalam wahananya para penulis berekspresi ini membuat saya mengesampingkan terlebih dahulu rasa malu dan sungkan.

Jangan kemudian mengharap reward uang berjuta, tantangan menulis yang saya ikuti tidak menjanjikan hadiah semuluk itu. Terlebih bagi akun-akun menulis yang menawarkan tantangan tanpa memungut biaya. Piagam penghargaan, pengalaman, dan jaringan pertemanan sudah cukup manis untuk kami para penulis yang haus menggoreskan pena untuk tetap melanjutkan pengelanaan dari satu tantangan ke tantangan menulis lainnya. Sehingga tak sekali saya temukan teman menulis di suatu grup yang kemudian bertemu di grup menulis lainnya, sebab tujuan kami seyogianya sama, menulis dan menulis.

Semakin ke sini, event “Tantangan Menulis” menjadi kian membanjir. Beberapa teman penulis mulai terang-terangan membagikan tawaran aktivitas menulis lain di grup menulis yang sedang kami ikuti. Usut punya usut, ternyata salah satu prasyarat join adalah membagikan informasi tantangan menulis tersebut di grup menulis lainnya. Alasan? Tentu saja supaya banyak penulis lainnya yang mengetahui adanya tantangan tersebut dan tertarik ikut serta. Bahkan sekali ketika saya mengikuti tantangan menulis berbayar, pesertanya ternyata lumayan banyak, datang dari berbagai kalangan, dan sebagian besar aktif membagikan informasi yang mereka miliki. Hal tersebut membuktikan bahwa meskipun harus mengeluarkan dana, sebuah kegiatan literasi pun tetap worth it untuk diikuti.


Mengukirkan nama di sebuah buku tentu saja merupakan pencapaian yang ingin diraup oleh seorang penulis. Terlepas dari itu, merupakan buku antologi maupun solo bukan menjadi masalah. Meninggalkan sapuan tulisan supaya kelak masih bisa dilihat anak cucu menjadi motivasi tersendiri bagi seorang penulis.

Beberapa event tantangan menulis menawarkan itu. Ada yang hanya memberikan kesempatan bagi sekian penulis terpilih saja yang tulisannya bisa dibukukan. Sehingga, para penulis akan bersaing dengan para penulis lainnya dalam menyajikan tulisan berbobot sehingga layak dipilih.

Di tempat lain, aturan mainnya pun berbeda. Kesempatan memiliki buku sendiri jauh lebih besar. Para peserta tantangan cukup mengikuti tantangan tanpa ada bolong, terus berjuang sampai akhir. Para finisher inilah yang nantinya akan memperoleh kesempatan membukukan hasil karyanya bersama para pejuang literasi lainnya yang berhasil menuntaskan tantangan menulis.


Sangat menarik memang, metode menawarkan “Tantangan Menulis” ternyata sanggup melecut semangat para penulis untuk terus menelurkan naskah-naskah bermanfaat. Dengan adanya tantangan untuk menyajikan tulisan setiap hari dengan tema beraneka, para pejuang literasi diajak berpikiran kritis tetapi tetap sigap.

Pagar-pagar pembatas berupa beragam tema maupun metode penulisan sampai pada batasan waktu akan memicu munculnya ide-ide kreatif baru sehingga kemampuan para penulis akan semakin terasah. Lebih panjang waktu tantangan akan menjadikan proses habituasi lebih matang.

Harapannya, penulis yang telah terbiasa, akan terus menelurkan karya meskipun tantangan telah berakhir. Semakin banyak hal baik yang dibagi, semakin bermanfaat ia bagi sesama. Semakin berkah ilmu yang dimiliki.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya