Mewaspadai dan Mencegah Eksploitasi Anak
Anak adalah karunia sekaligus amanat dari Tuhan Yang Maha Esa. Hakekatnya wajib kita rawat dan jaga sebaik mungkin sehingga mampu tumbuh dan berkembang secara optimal, memiliki akhlak dan kepribadian yang baik.
Proses perkembangan anak ibarat tanaman. Apabila dirawat dengan baik maka kemungkinan besar akan tumbuh dengan baik. Begitu pula sebaliknya, jika tidak dirawat akan mati, kalau pun tumbuh tidak akan maksimal.
Pertumbuhan anak baik fisik maupun psikologis akan bermasalah saat orang tua tidak mampu mengarahkan anak sesuai dengan fase perkembangannya. Hal ini dapat berakibat pada suramnya masa depan anak dengan membawa karakter menyimpang.
Saat ini, segelintir orang tua ternyata tidak mampu memaknai amanat dan karunia yang telah diberikan Tuhan. Layaknya kehilangan akal sehat, orang tua yang harusnya berkewajiban memberikan perhatian, kasih sayang, nafkah penghidupan yang layak justru malah memberikan siksaan kehidupan kepada anak.
Merasa memiliki kuasa penuh, orang tua terkadang berlaku semena-mena terhadap anak, memanfaatkan anak, dan menutup celah kewajiban yang harusnya dilakukan oleh orang tua. Terbalut alasan melatih anak untuk mandiri demi kepentingan anak di masa depan, tak segan orang tua memanfaatkan anak sebagai potensi untuk menghasilkan pundi-pundi uang, Padahal, dari segi usia sudah jelas anak belum layak untuk bekerja.
Konteks ini berbeda dengan anak dalam kondisi keterbatasan orang tuanya, atau dalam kondisi keterpaksaan harus bekerja akibat ketiadaan orang tua dan keluarga. Sehingga, anak harus menanggung beban finansial.
Perlu kita pahami bahwa unsur pemaksaan dengan unsur keterpaksaan adalah berbeda hal, baik dalam kondisi, situasi, ruang, dan waktu. Perilaku amoral memanfaatkan anak untuk keuntungan pribadi, keluarga, ataupun golongan seperti uraian di atas di sebut dengan istilah eksploitasi anak.
Dalam Pasal 66 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014 menyebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan 'dieksploitasi secara ekonomi' adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan anak yang menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materiil. Ada pun yang dimaksud dengan “dieksploitasi secara seksual” adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari anak untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan.”
Faktanya, saat ini bentuk eksploitasi anak yang sering kita temui antara lain anak dipaksa bekerja sebagai buruh pabrik dan industri rumah tangga. Di jalanan, anak dipaksa mengamen dan mengemis dengan muka memelas. Bahkan lebih gila lagi ada yang dijadikan sebagai pemuas nafsu bagi manusia “sakit” jiwa dan akal pikirannya.
Betapa mengejutkan saat membaca data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) kurun waktu bulan Januari sampai dengan April 2021 saja sudah terdapat 35 kasus eksploitasi terhadap anak. Kasus eksploitasi anak didominasi kasus prostitusi dengan persentase 83%, eksploitasi ekonomi 11%, dan 6% perdagangan anak.
Hal tersebut membuktikan jika anak-anak rentan dieksploitasi, baik secara ekonomi atau pun secara seksual. Mirisnya pelaku adalah orang dekat dari anak itu sendiri.
Penyebab persoalan mendasar eksploitasi anak adalah terkait tuntutan ekonomi. Akibat kesulitan memenuhi kebutuhan, pelaku eksploitasi anak menghalalkan segala cara untuk dapat bertahan hidup tanpa memedulikan kepentingan anak.
Tetapi, apabila kita mencermati lebih teliti, akar masalah adalah faktor kemalasan pelaku eksploitasi. Rasa malas bekerja dan malas berusaha untuk menikmati kehidupan dunia tanpa bersusah payah atau singkatnya hanya ingin mudahnya saja.
Dampak eksploitasi anak secara jelas adalah munculnya siksaan fisik dan psikologis kepada korban. Tak jarang korban eksploitasi mendapatkan kekerasan seperti pukulan, sentilan, dan cambukan jika dinilai tidak menuruti perintah atau melakukan kesalahan. Dampak dalam pertumbuhan fisik anak sudah jelas, pertumbuhan fisiknya terhambat karena asupan makanan yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan, justru dialihkan sepenuhnya untuk bekerja. Dalam eksploitasi seksual karena prostitusi, akibatnya adalah ancaman penyakit seksual dan rasa traumatis yang membayangi korban selama hidupnya.
Secara psikologis, korban yang dieksploitasi secara mental jelas mengalami pendewasaan lebih dini. Hal ini disebabkan karena korban memiliki pengalaman hidup yang berbeda dari anak-anak umumnya. Akan tetapi, perlu digarisbawahi korban mendapatkan tekanan psikologis yang berat, seperti ucapan-ucapan kasar atau tidak senonoh berkaitan pornografi, dan kata-kata makian yang tidak bisa dihindarkan.
Beban mental ini akan ditanggung selama masa hidup korban. Akibatnya adalah rasa traumatis korban yang memiliki dua kecenderungan, ikut berperilaku seperti aslinya atau bisa memberikan perlawanan dengan menolak berperilaku menyimpang.
Seolah menjadi suatu siklus yang tiada hentinya, pengalaman hidup pahit yang pernah didapat korban rentan dipraktekkan di kemudian hari kepada keturunan atau orang lain. Bahkan korban bisa memiliki rasa dendam kepada pelaku. Ini adalah sinyal bahaya dan bisa menjadi pemicu tindak kriminalitas bagi korban seperti pelampiasan dendam dalam wujud kekerasan kepada pelaku. Oleh karena itu, sudah selayaknya masalah eksploitasi anak ini patut kita waspadai.
Penting bagi kita menyadari bahwa bahaya eksploitasi anak tidak hanya sesaat. Perlu peran serta kerja sama semua lapisan masyarakat dan pemerintah untuk menekan kasus eksploitasi anak. Memanfaatkan peran psikolog, pemuka agama atau tenaga profesional terkait upaya rehabilitasi psikologis korban dan pelaku. Memberikan motivasi dan logika berpikir yang baik adalah salah satu hal utama untuk dilakukan.
Tujuannya, agar korban dapat menekan trauma dan mampu menapaki kehidupan dengan lebih baik. Bagi pelaku, setidaknya untuk mengubah sikap dan pola pikir mereka untuk tidak mengeksploitasi anak.
Selanjutnya, mengingat faktor ekonomi adalah faktor utama dari banyaknya kasus eksploitasi anak, maka perlu upaya pemerintah dalam hal memberikan lapangan pekerjaan bagi keluarga yang kurang mampu, memberikan kesempatan untuk berwirausaha, sehingga diharapkan mampu meningkatkan taraf kesejahteraan ekonomi. Tujuannya adalah untuk menekan perilaku orang tua yang akan mengeksploitasi anak-anak.
Selain memberikan suntikan modal dan pengetahuan dalam wirausaha, sejatinya baik pemerintah daerah dan pemerintah pusat telah menerbitkan regulasi terkait perlindungan anak (lihat situs KPI). Sebagai contoh, setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, diancam hukuman pidana 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Hukuman tersebut kiranya tidak adil apabila dibandingkan dengan akibat yang harus ditanggung oleh korban. Oleh karena itu, ancaman hukuman yang berat dikenakan bagi pelaku eksploitasi anak, harapannya untuk membuat efek jera dan warning bagi pelaku eksploitasi anak.
Pemerintah harus bekerja sama dengan komponen masyarakat termasuk sekolah dalam memberikan sosialisasi yang berkaitan dengan eksploitasi anak. Sangat penting memberikan arahan informasi kepada anak-anak, terlebih apa yang harus dilakukan anak apabila mendapatkan kondisi seperti ini, kebanyakan anak-anak tidak mengerti harus ke mana atau harus berbuat apa akibat rasa takut menghadapi situasi seperti ini.
Artikel Lainnya
-
135812/01/2020
-
217431/08/2020
-
108518/11/2022
-
Menyongsong Abad Global Peradaban Green Muslim Activist
98526/03/2022 -
801402/09/2020
-
Lockdown: Antara Kebijakan Kritis dan Negara yang Pesimis
147010/04/2020
