Minat Baca Kita Masih Rendah, (Si) Apa yang Salah?

Minat Baca Kita Masih Rendah, (Si) Apa yang Salah? 31/08/2020 1992 view Opini Mingguan thinkstock/Muralinath

Pandji Pragiwaksono, dalam salah satu kesempatan acara tur stand up comedy di Jakarta pernah mengatakan; “Orang Indonesia gak suka baca. Udah gak suka baca, pemerintah juga mengenakan pajak berlapis pada penerbitan buku. Yang suka baca juga, bacanya setengah-setengah”.

Pandji berlebihan? Sepertinya tidak. Beberapa kajian justru sudah lebih dulu mengonfirmasinya. Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menunjukkan data persentase minat baca anak Indonesia berada di angka 0,01 persen. Artinya, dari 10.000 anak Indonesia, hanya satu anak yang senang membaca.

Penelitian PISA (Program for International Student Assessment) tahun 2015 juga menunjukkan rendahnya tingkat literasi Indonesia dibanding negara-negara di dunia. Indonesia hanya berada pada ranking 62 dari 70 negara yang disurvei.

Setahun kemudian, peringkat literasi bertajuk “World's Most Literate Nations” yang dilaksanakan CCSU (Central Connecticut State University) merilis peringkat literasi negara-negara dunia pada Maret 2016.

Pemeringkatan perilaku literasi ini dibuat berdasarkan lima indikator kesehatan literasi negara, yakni perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer. Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia hanya unggul atas satu negara, yakni Botswana.

Saya berpikir, bila mengacu pada data-data diatas, sepertinya kita menemukan jawaban atas fenomena begitu mudahnya masyarakat kita termakan berita dan isu hoaks. Ya, kita menghadapi krisis alias rendahnya literasi.

Apa dan siapa

Bila muncul pertanyaan, apa yang menyebabkan kondisi ini semua dan salah siapa? Mari mengurainya satu per satu. Pandji sudah mengemukakan satu masalah besarnya yaitu pemerintah terlalu senang mengenakan pajak berlapis yang terlalu berat pada usaha/industri penerbitan buku. Berbeda dengan negara-negara lain yang justru nyaris membebaskan pajak untuk itu.

Korelasinya tentu mudah dibaca. Para pegiat literasi (penulis dan penerbit) menjadi kurang bergairah untuk menerbitkan buku. Alhasil, koleksi-koleksi buku bagus menjadi barang langka dan sulit ditemukan. Andaipun tersedia, harganya pasti mahal. Tak percaya? Coba saja berkunjung ke toko buku dan lihat harga buku disana.

Apakah hanya pemerintah yang patut dipersalahkan? Tentu saja tidak karena kita juga pasti punya kontribusi. Seberapa banyak diantara kita yang masih punya jadwal dan alokasi dana rutin untuk membeli buku? Jangan-jangan kita merasa terlalu sayang mengeluarkan uang bila harus membeli. Kita pikir, lebih baik meminjam. Atau bila harus membeli, cari yang bajakan saja supaya lebih murah.

Mari periksa diri masing-masing. Misalnya bila kita sudah lulus dari bangku kuliah, coba hitung berapa banyakkah total jumlah buku yang kita miliki? Saya kuatir, kita terbiasa hanya mengandalkan buku pinjaman dari perpustakaan yang tersedia di kampus. Saat menulis tugas akhir, kita juga hanya mengandalkan “kemahiran” comot sana-sini tugas akhir yang sudah ada.

Sistem pendidikan dan cara belajar kita juga mesti dievaluasi. Kemungkinan ada yang salah disitu sehingga menyebabkan rendahnya minat kita untuk membaca. Ya, sistem pendidikan kita belum berhasil membuat peserta didik bisa menemukan minat yang sungguh-sungguh pada hal tertentu.

Logika sederhananya, bila minat sudah berhasil ditemukan, mestinya kita akan berusaha mengembangkannya dan mencari tahu dengan sungguh-sungguh, salah satunya melalui buku. Masalahnya, sistem pendidikan yang ada belum membuat kita sungguh penasaran terhadap satu hal. Kita terperangkap pada sistem dan situasi hanya sekadar menghafalkan materi yang disampaikan para pengajar. Tujuan akhirnya, bisa menjawab soal-soal ujian dan mendapatkan nilai yang memuaskan. Hanya itu.

Melimpahnya informasi di era digital saat ini pun bisa saja menjadi pembenaran bahwa kita sepertinya memang tidak perlu lagi baca buku. Beragam informasi dari berbagai belahan dunia sudah tersedia silih berganti setiap saat dengan sangat cepat dan bisa diakses hanya melalui ponsel.

Kita tidak sadar bahwa “banjir” informasi di media sosial justru bisa menjadi petaka yang menenggelamkan kita. Informasi di media sosial tidak sepenuhnya bisa dipercaya. Kebanyakan justru sengaja didesain untuk tujuan dan kepentingan pihak tertentu. Dengan menggunakan algoritma tertentu, opini/persepsi publik bahkan bisa digiring serta dibentuk tanpa kita sadari.

Berbeda dengan informasi/kajian dalam buku. Proses penulisannya sudah pasti harus melalui tahapan yang panjang dan pemikiran yang mendalam. Ia juga harus sudah lolos uji dan bisa dipertanggung jawabkan. Kredibilitas si penulis buku benar-benar akan menjadi taruhannya. Ia punya tanggung jawab yang sangat besar.

Sejak dini

Menumbuhkan minat baca semestinya sudah ditanamkan sejak dini di dalam keluarga. Peran orangtua menjadi sangat mutlak diperlukan. Jangan hanya mengandalkan apalagi menuntut guru dan sistem pendidikan.

Buku bisa dikenalkan bahkan sejak usia dini. Nah, bila diamati sekilas, sepertinya kebanyakan orangtua jaman sekarang justru lebih senang mengenalkan ponsel pada anaknya. Sampai-sampai anak yang masih berumur di bawah tiga tahun pun sudah banyak yang kecanduan menggunakannya.

Ini salah satu problem besar kita. Ketika para orangtua lebih rela membeli ponsel dan kuota daripada buku untuk diberikan pada anaknya. Bila ditanya, jawaban-jawaban klasik langsung bermunculan. Anak masih kecil, bingung mau dikasih buku apa, kan dia juga belum paham? Kalaupun dibeli, paling-paling nanti hanya akan dilempar dan disobek. Harga buku juga mahal-mahal, kan sayang uangnya, lebih baik digunakan untuk membeli kebutuhan lain. Misalnya? Kuota internet.

Padahal mengenalkan buku sejak dini tentu sangat penting dan berguna bagi masa depannya kelak. Kebiasaan dan minat baca yang mulai kita taruh sejak dini akan membekas dalam dirinya dan membuatnya tidak lagi merasa “aneh” atau alergi dengan bau buku. Saya kira, sembari terus berharap pemerintah bisa peduli untuk meningkatkan minat baca di kalangan masyarakat, kita sebagai orang tua juga bisa berperan di unit terkecil yaitu keluarga masing-masing.

Hanya dengan kesungguhan dan upaya bersama itulah, tingkat literasi masyarakat kita bisa terangkat dan menjadi jauh lebih baik. Sehingga bila di kemudian hari ada lagi survei yang mengukur minat baca di masing-masing negara, kita sudah bisa bernafas lega karena negara kita takkan lagi berada di posisi terendah. Mungkinkah?
 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya