Tolak Tambang: Keharusan, Bukan Pilihan!

Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere
Tolak Tambang: Keharusan, Bukan Pilihan! 12/01/2020 1160 view Lainnya KlikLegal.com

Eksploitasi tambang tetap menjadi isu hangat yang ramai dibicarakan di publik.

Dalam pemberitaan media massa, pemerintah Indonesia hendak menghapus AMDAL dan IMB. Keputusan tersebut membuat jumlah investor tambang akan semakin meningkat di Indonesia.

Aksi protes dari pelbagai pihak bermunculan dan menjadi sinyal penting bahwa eksploitasi tambang hanya menyengsarakan rakyat dan alam. Alih-alih mendatangkan kesejahteraan, tetapi yang terjadi akibat eksploitasi tambang adalah kerusakan alam dan kesengsaraan hidup rakyat.

Pemahaman mengenai eksistensi alam dan manusia dalam tataran kosmologi mengisyaratkan pola hubungan yang menjunjung tinggi kesepadanan.

Secara eksistensial status “ada-nya” antara alam dan manusia dapat dibedakan dan ditegaskan, namun pembedaan dan penegasan tidak bermaksud untuk memutuskan hubungan harmonis antara keduanya.

Dalam perjalanan waktu, manusia yang menyebut dirinya sebagai ciptaan sempurna Sang Creator menyadari betapa alam berperan sangat penting dalam perkara pendefenisian dan pengejawantahan eksistensinya. Alam dan manusia bagaikan dua sisi mata uang logam yang tak terpisahkan. Alam memberi arti terhadap status “ada-nya” manusia. Demikian halnya juga manusia memberi arti terhadap status “ada-nya” alam.

Mengutip Sony Keraf, secara eksistensial-ontologis manusia adalah makhluk ekologis yaitu makhluk yang hanya bisa hidup, berada dan berkembang serta berproses menjadi diri sendiri dalam kesatuan hakiki dengan alam lingkungan (Sony Keraf, 2010:81).

Memasuki abad pencerahan, hubungan harmonis antara alam dan manusia beralih menjadi ragam relasi subordinatif.

Telah menjadi fakta yang tidak terbantahkan bahwa kesuksesan besar manusia modern dalam memberdayakan dirinya melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serba canggih yang membawa beribu-ribu kemudahan menunjukkan totalitas kesuksesan cita-cita besar abad pencerahan, terutama proyek rasionalitas.

Manusia abad pencerahan menaruh kredibilitas atas rasio. Namun, dalam perjalanan waktu kredibilitas atas rasio itu mulai dipertanyakan. Manusia boleh berbangga atas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Namun, kebanggaan itu tidak melahirkan komitmen untuk meningkatkan kemampuan dalam menggunakan teknologi. Teknologi disalahfungsikan dan digunakan secara serampangan yang justru dapat merusak alam.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai, namun tidak diimbangi keterampilan dalam menggunakannya hanya akan melahirkan persepsi negatif atas alam hanya sekadar sebagai sarana pemenuhan keserakahan manusia. Eksistensi alam direduksi oleh karena prinsip mekanistik.

Ternyata rasionalitas yang diakui memiliki peranan progresif menampilkan gejala lain dalam realitas.

Realitas mengungkapkan bahwa rasionalitas yang kini didewakan oleh manusia justru menjadi aktor utama instrumentalisasi komponen lain terutama alam demi kepentingan ekonomi dan politik semata.

Berbagai kasus seperti eksploitasi tambang, penebangan hutan secara liar, dan pembakaran hutan bisa menjadi bukti nyata instrumentalisasi terhadap alam.

Bagi Theodor Wiesengerund Adorno dan Max Horkhaiemer, perkembangan semacam ini menunjukkan bahwa sejarah kehidupan manusia telah beralih menjadi sebuah model sejarah dengan agenda utama yaitu dominasi atau penaklukan.

Rasionalitas manusia telah mendominasi alam tanpa memperhitungkan dampak-dampak negatif yang akan ditimbulkan.

Menurut mereka hal yang mendasari dominasi itu ada dalam “kehendak untuk berkuasa” (der wille zur macht) sebagai sebuah dorongan psikologis dalam diri manusia (Simon P. I Tjahjadi, 2007:103).

Pola relasi dominasi atau penaklukan yang dilakonkan manusia terhadap alam sebenarnya ingin memaparkan hasrat tak terbatas manusia untuk menguasai keterbatasan alam.

Alam mempunyai batas-batas tersendiri dalam proses pemanfaatan dan jika pemanfaatannya melampaui batas, alam segera “berontak” dengan menghadirkan berbagai bentuk bencana seperti longsor, banjir dan berbagai bentuk bencana alam lainnya.

Bencana-bencana alam tersebut sebenarnya telah menjadi semacam sebuah “tanda” bahwa manusia telah mendominasi alam secara berlebihan.

Menyoal Eksploitasi Tambang

Eksistensi alam kini semakin hari semakin terancam. Praktik eksploitasi tambang yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia menjadi bukti nyata keterancaman alam.

Eksploitasi tambang bukan lagi masalah pendominasian terhadap alam secara berlebihan yang akan disertai rasa bersalah karena telah melakukannya, melainkan soal peluang yang disertai rasa syukur kalau berhasil dan penyesalan terhadap diri sendiri jika alam “mengamuk” melalui berbagai bentuk bencana alam yang membahayakan dan mematikan.

Inilah sebuah potret buram manusia modern, di mana fakta degradasi alam menjadi sebuah ancaman serius abad ini.

Ada beberapa hal yang ingin saya uraikan terkait eksploitasi tambang. Pertama, manusia modern lebih memfokuskan diri pada pencapaian kenikmatan dan kebahagiaan semu, serentak tidak mampu berpikir futuristik.Eksploitasi tambang secara terang-terangan hanya memberikan kenikmatan, keuntungan dan kebahagiaan semu bagi manusia.

Manusia modern seakan mengamini kenikmatan semu dan tidak pernah memperhitungkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh praktik eksploitasi tambang, yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh kita di sini dan sekarang, tetapi juga oleh anak dan cucu kita di masa mendatang. Dampak negatif praktik eksploitasi tambang selalu bersifat kontinuitas.

Kedua, eksploitasi tambang yang marak terjadi di beberapa daerah di Indonesia dapat ditafsir sebagai sebuah bentuk politik balas jasa dari pemerintah kepada pengusaha.

Sistem pemilihan umum yang mahal dan boros, membuat seorang calon pemimpin terpaksa mengadakan kerja sama dengan para pengusaha untuk membantunya dalam mendanai sebuah pemilihan umum tertentu.

Ada semacam janji politik antara pemimpin dan pengusaha. Pengusaha boleh saja mendanai seorang calon pemimpin untuk memenangkan sebuah pemilihan tertentu asalkan ketika lolos menjadi pemimpin, pengusaha yang bersangkutan mendapat izin untuk mengeksplorasi dan bahkan mengeksploitasi wilayah kekuasaan sang calon secara bebas.

Ada kemesraan hubungan antara penguasa dan pengusaha. Kemesrahan hubungan itu pada akhirnya mempermudah pengusaha untuk melakukan eksploitasi tambang. Kemesrahan hubungan yang sama juga membuat pemimpin menunjukkan totalitas keberpihakan terhadap pengusaha dan tanpa rasa malu menelantarkan rakyatnya.

Ketiga, eksploitasi tambang sangat erat kaitannya dengan korupsi. Di banyak wilayah, pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) tidak transparan dan juga tidak melibatkan warga lingkar tambang.

Tidak ada konsensus resmi antara pemimpin dan warga untuk melegalkan praktik eksploitasi tambang. Pemimpin hanya mengambil keputusan sepihak, menegasikan peran musyawarah untuk mencapai kesepakatan kolektif yang berdapampak pada pencapaian bonum commune. Ini terjadi karena pemimpin di suatu daerah sudah terlebih dahulu menerima aliran rupiah dari investor tambang tertentu.

Keempat, eksploitasi tambang yang terjadi di beberapa daerah otonom di Indonesia ingin mendeskripsikan kegagalan otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan dasar reformasi.

Otonomi daerah telah menciptakan kemudahan akses bagi para investor dalam mendapatkan perizinan. Kalau pada zaman Orde Baru, izin investasi pertambangan hanya tersentralisasi di Jakarta, maka pada era pengagungan Otonomi Daerah, para investor bisa langsung berhubungan dengan kepala daerah untuk memperoleh izin melakukan investasi pertambangan.

Kelima, terkait eksploitasi tambang telah ada banyak pihak yang melakukan demonstrasi penolakan. Kesediaan untuk berdemonstrasi berakar pada kesadaran bahwa eksploitasi tambang tidak sedikit pun menyejahterakan rakyat.

Anehnya demonstrasi yang dilakukan oleh pihak pencinta lingkungan dan yang sadar akan keterancaman hidupnya oleh monster tambang tidak direspon secara positif oleh pemerintah.

Sikap pemerintah ini dapat ditafsir sebagai sebuah pembiaran, bahwa setelah demonstrasi, rakyat akan kembali diam seribu bahasa dan dengan demikian alat-alat berat akan terus beroperasi.

Ketidakpekaan pemerintah dalam mengaktualisasikan substansi demonstrasi penolakan eksploitasi tambang ingin menarasikan kisah ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib rakyat yang sengsara akibat eksploitasi tambang di satu pihak dan kisah keberpihakan terhadap para investor tambang yang menjanjikan profit tertentu di pihak lain.

Tolak Eksploitasi Tambang

Menyadari keterancaman alam dan hidup manusia oleh eksploitasi tambang, maka konsistensi untuk menunjukkan penolakan eksploitasi tambang menjadi sebuah pilihan mutlak.

Tujuan fundamental penolakan eksploitasi tambang adalah agar alam menjadi semakin lestari dan hidup manusia menjadi lebih sejahtera dan bebas dari bencana alam yang membahayakan dan mematikan.

Penolakan eksploitasi tambang menuntut agar penguasa harus sesegera mungkin mengakhiri perselingkuhan dengan para investor tambang.

Berbagai demonstrasi penolakan eksploitasi tambang harus mampu direspon secara positif oleh pemimpin.

Pemimpin daerah yang memegang kuasa atas daerah kepemimpinannya harus memiliki keberanian untuk menolak berbagai janji bombastis para investor tambang. Janji-janji para investor hanya sekedar hiburan verbalisme belaka.

Keberanian seorang pemimpin untuk tetap konsisten menolak eksploitasi tambang adalah sebuah bentuk kepeduliannya terhadap nasib rakyat.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya