Menjadi Masyarakat yang Pro Sosial di Periode Normal Baru

MAHASISWA STFK LEDALERO
Menjadi Masyarakat yang Pro Sosial di Periode Normal Baru 14/06/2020 1381 view Lainnya Jalandamai.org

Gempuran Covid-19 menyebabkan krisis di pelbagai bidang kehidupan manusia. Kesehatan manusia terganggu, sehingga manusia harus menjalani tatanan hidup yang baru. Dengan tatanan hidup yang baru, ada banyak dimensi kehidupan manusia yang berubah dan merugikan manusia. Salah satu hal yang paling anjlok dihantam Covid-19 ialah kehidupan ekonomi, baik secara lokal, nasional, maupun internasional. Ada banyak negara yang sudah menghampiri titik resesi.

Di Indonesia, pemerintah sudah menerapkan pelbagai kebijakan untuk menangani Covid-19 ini beserta dampak-dampaknya. Namun, kebijakan-kebijakan tersebut belum efektif dan efisien dalam menangani geliat dari Covid-19. Malahan, Covid-19 semakin menjadi-jadi dan menghantam kondisi perekonomian Indonesia. Ada banyak usaha, industri, dan pekerjaan yang mati kutu. Putus Hubungan Kerja (PHK) terjadi di mana-mana. Jika tidak diantisipasi, sedikit lagi Indonesia akan ambruk dan jatuh ke jurang resesi.

Maka, demi menyelamatkan kondisi ekonomi yang hampir ambruk, pemerintah terpaksa menerapkan kebijakan yang cukup riskan, yaitu normal baru (new normal). Normal baru merupakan tatanan kehidupan baru sebagai bentuk adaptasi manusia terhadap Covid-19 yang masih merajalela. Normal baru diimplementasikan dengan memperhatikan dan melaksanakan ketentuan protokoler kesehatan yang ketat seperti menjaga jarak, senantiasa menggunakan masker, dan selalu mencuci tangan pakai sabun pada air yang mengalir.

Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka sudah memberlakukan normal baru sejak tanggal 29 Mei 2020 (Kumparan.com, 28/05/2020). Bahkan, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Bungtilu Laiskodat, mengatakan bahwa maksimal tanggal 15 Juni 2020, semua aktivitas pemerintahan sudah kembali normal. Tidak ada lagi Work From Home (WFH) karena WFH di NTT itu adalah libur, sehingga tidak ada produktivitas dan efektivitas yang ada. “Saya lebih memilih mati karena virus itu, tetapi rakyat saya tetap bisa makan, daripada saya kurung diri di dalam rumah, tetapi rakyat saya mati kelaparan”, ucap Viktor (Nasional.baranewsaceh.co, 27/05/2020).

Akan tetapi, di tengah meningkatnya gejolak untuk menerapkan normal baru, kasus Covid-19 di Indonesia malah makin meningkat. Pada tanggal 12 Juni 2020, Achmad Yurianto, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, melaporkan penambahan jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia sebesar 1.111 kasus. Alhasil, total kasus positif Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 36.406 orang dengan jumlah pasien yang sembuh sebesar 13.213 (+577), dan yang meninggal sudah mencapai 2.048 (+48) (Kompas.com, 12/06/2020). Maka, penambahan atau peningkatan jumlah kasus ini menjadi paradoks di tengah usaha untuk menyelamatkan ekonomi negara dengan kebijakan normal baru.

Anomali Mental Masyarakat

Salah satu hal yang menyebabkan ketidakefektifan dalam penanganan Covid-19 ini ialah ketidaksetiaan masyarakat dalam menjalankan anjuran, saran, aturan bahkan perintah dari pemerintah dan para medis. Ada banyak orang yang masih bebal dan tidak takut akan bahaya yang dibawa oleh Covid-19. Ketidaksetiaan dan kebebalan itu menjadi tantangan berat di tengah situasi atau periode normal baru.

Terkait hal ini, Hamilton West, Psikolog Kesehatan Universitas Kent di Inggris, menilai bahwa jika ada seseorang yang sering melanggar panduan kesehatan, sebenarnya orang itu sedang sangat cemas terhadap pandemi korona. Kalau kita benar-benar mengkhawatirkan korona, biasanya kita akan melakukan apa saja untuk membuat perasaan menjadi lebih baik; dan biasanya dengan cara menghindar. Misalnya, orang akan merasa lebih baik dengan tidak mau memikirkan atau menghindari apa pun yang terkait korona. Mereka tidak akan mau terlibat dalam kegiatan apa pun yang akan mengingatkan mereka pada korona, seperti menjaga jarak sosial, memakai masker, atau mencuci tangan dengan sabun. “Orang seperti ini akan semakin gencar bersosialisasi dan tetap kontak fisik seperti biasanya atau sebelum ada korona,” kata Hamilton West (Luki Aulia, Kompas, 6/06/2020).

Lebih lanjut, bagi sebagian orang, keengganan atau penolakan mengikuti panduan kesehatan di publik itu bisa juga merupakan bentuk reaksi terhadap perubahan situasi di lingkungan sekitarnya, seperti adanya masalah hubungan personal dengan orang rumah, isolasi sosial, dan kesulitan ekonomi. “Terkadang reaksi seperti itu muncul karena rasa kesepian, putus asa, dan kemiskinan,” kata pakar psikologi klinis dan pertemanan di Montreal, Kanada, Miriam Kirmayer. Tetap bersosialisasi dengan orang lain meski risikonya tinggi merupakan salah satu cara atau strategi “bertahan hidup” bagi mereka yang benar-benar kesulitan menjalani hidup mereka dan menangani dirinya sendiri di masa pandemi ini. (Luki Aulia, Kompas, 6/06/2020).

Maka, pada titik ini, penulis dapat menyebut semuanya itu sebagai anomali mental masyarakat. Sebab, pada umumnya, masyarakat menginginkan dan merindukan kebebasan dari cengkraman Covid-19. Namun, keinginan dan kerinduan tersebut dihancurkan oleh sebagian orang yang malah tidak mau memikirkan bahaya dari pandemi korona ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Hamilton West. Padahal, jika ingin mengeleminasi kesepian dan sikap putus asa di tengah pandemi Covid-19 ini, sebagaimana yang dikatakan Miriam Kirmayer, setiap orang harus terlibat untuk memutuskan mata rantai penyebaran Covid-19 ini. Agar dengan demikian, Covid-19 dapat segera berlalu dan kita dapat hidup bebas, meskipun dengan situasi atau periode normal baru.

Menjadi Masyarakat yang Pro-Sosial

Meskipun mental masyarakat menjadi tantangan berat di tengah pandemi Covid-19, periode normal baru tetap akan dijalankan. Sebab, menurut Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan RI, dalam opini yang berjudul “Transportasi dan Adaptasi Kebiasaan Baru”, secara umum, normal baru memiliki setidaknya dua keuntungan. Pertama, protokol kesehatan akan menjaga Indonesia dari ancaman pandemi (berkelanjutan). Kedua, mendukung keberlangsungan negara dari berbagai sisi dan mencegah munculnya pelbagai masalah baru, seperti krisis fiskal, ketahanan pangan, dan gangguan sistem pendidikan (Kompas, 06/06/2020). Dalam hal ini, Menteri Sumadi optimis bahwa normal baru dapat menyelamatkan negara Indonesia dan semua masyarakat yang menghuninya.

Namun, perlu diketahui bahwa jika ingin menyelamatkan negara dan masyarakat, semua elemen masyarakat harus menjadi masyarakat yang pro-sosial selama menjalani periode normal baru. Tim peneliti di Universitas Lund, Swedia, menyebutkan, indikator terkuat seberapa besar kemauan orang mematuhi rekomendasi secara sukarela ialah kesediaan mereka menyesuaikan tindakan mereka untuk kepentingan orang lain. Menjadi masyarakat yang pro-sosial menentukan kemauan mereka untuk menjaga jarak fisik, menjaga kebersihan tangan, membeli masker, dan mencari informasi kesehatan yang terkait dengan Covid-19 (Luki Aulia, Kompas, 6/06/2020).

Salah satu cara menjadi pribadi atau masyarakat yang pro-sosial selama menjalani periode normal baru ialah dengan menjalankan imperatif moral yang pernah disampaikan Immanuel Kant (1724-1804). Imperatif moral Kant ialah “Lakukanlah kepada orang lain sebagaimana kamu menginginkan orang lain lakukan itu untuk kamu”. Atau, “Bertindaklah hanya atas dasar maksim yang dengannya kamu dapat menginginkan hal itu menjadi hukum universal pada waktu yang bersamaan” (Yosef Keladu Koten, Ms, 2019: 104).

Melalui imperatif moral ini, Kant menghendaki solidaritas, saling menghargai, dan saling menjaga di dalam kehidupan bersama, khususnya di periode normal baru seperti sekarang ini. Dalam artian, di tengah periode normal baru ini, jika kita semua ingin selamat, Kant menghendaki setiap orang untuk solider, saling menghargai dan saling menjaga satu sama lain dengan setia menjalankan, melaksanakan, dan mematuhi anjuran, saran, aturan, dan perintah dari pemerintah dan para medis dalam memerangi Covid-19. Dalam hal ini, imperatif moral Kant berdaya guna untuk mengeleminasi sikap ingat diri dan menyesuaikan kepentingan pribadi dengan kepentingan orang lain. Di sini berlaku prinsip bonum communae bono privato praeferri debet (kepentingan umum lebih penting atau harus selalu diutamakan daripada kepentingan pribadi) (Agustinus Dewantara, 2017: 26).

Praksisnya, kita dapat melakukan semuanya itu dengan solider, saling menjaga dan saling menghargai untuk selalu menjaga jarak, memakai masker, menjauhi kerumunan, dan mencuci tangan di air yang mengalir. Sebab, pada saat ini, tindakan-tindakan demikian lebih berterima sebagai hukum universal untuk menangani Covid-19 sebagaimana yang telah dikatakan oleh Kant. Agar dengan demikian, setiap orang dapat menjadi penyelamat bagi diri sendiri, sesama, negara dan bangsa Indonesia, meskipun harus menjalani situasi normal baru.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya