Menjadi Manusia Indonesia yang Tercerahkan

Mahasiswa S1 Sosiologi Agama UIN Syekh Wasil Kediri, Penulis
Menjadi Manusia Indonesia yang Tercerahkan 18/11/2025 168 view Budaya Freepik

Di tengah derasnya arus teknologi, globalisasi, dan perubahan sosial yang tak pernah berhenti, pemuda Indonesia memikul tanggung jawab besar, yakni menjadi generasi yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan moral.

Kita memasuki era ketika kecerdasan rasional saja tidak cukup untuk menuntun bangsa menuju kejayaan. Yang dibutuhkan adalah generasi tercerahkan. Saya ingin menggunakan istilah manusia tercerahkan bukan serta-merta menyamakan manusia tercerahkan ini seperti yang dialami oleh masyarakat Eropa pada era Aufklärung yang tentu secara realitas sosial, ekonomi, politik serta kebudayaan secara empirik dan historik berbeda dengan maksud yang saya tulis dalam pandangan saya ini. Menjadi manusia tercerahkan artinya menjadi manusia yang memadukan rasionalistas yang dipandu oleh ilmu pengetahuan yang humanis serta diimbangi oleh napas religiusitas dan kebijaksanaan.

Pada abad ke-8 hingga ke-13 masehi dunia Islam berdiri sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan dunia. Kota-kota seperti Baghdad, Kairo, hingga Córdoba menjadi pelabuhan besar bagi ilmu pengetahuan dan para ilmuwan, filsuf, dan pemikir dari berbagai tradisi. Kita pasti tak asing dengan nama-nama seperti Ibn Sina, Al-Khwarizmi, Al-Farabi, dan Al-Ghazali yang menjadi figur intelektual pada masa itu bahkan sampai saat ini.

Ibn Sina dikenal melalui karya monumentalnya Al-Qanun fi al-Tibb, ensiklopedia kedokteran yang menjadi rujukan dunia selama berabad-abad. Al-Khwarizmi melahirkan konsep dasar aljabar dalam karyanya Al-Jabr wa al-Muqabalah, yang kemudian menjadi pondasi matematika modern. Al-Farabi berkontribusi besar dalam filsafat dan ilmu politik melalui karyanya Al-Madinah al-Fadhilah, yang menggambarkan tatanan masyarakat ideal yang dipimpin oleh kebijaksanaan.

Sementara Al-Ghazali, melalui Ihya’ Ulum al-Din, mengharmonikan ilmu-ilmu syariat, etika, dan spiritualitas, sekaligus mengkritik filsafat Yunani dalam karyanya Tahafut al-Falasifah untuk mengembalikan nalar kepada keseimbangan antara logika dan iman.

Karya dan kerja keras para ulama dan ilmuwan ini tidak hanya mengubah peradaban Islam pada masanya, tetapi juga menjadi pijakan penting bagi lahirnya ilmu pengetahuan modern di seluruh dunia.

Sebaliknya, di Eropa pernah melalui periode panjang stagnasi intelektual yang dikenal sebagai “Abad Kegelapan”. Di era ini pikiran dibatasi oleh otoritas gereja. Khazanah keilmuan tersendat dan jumud, masyarakat sebagian besar menjadi bodoh. Hal ini diperparah dengan kondisi sosial-ekonomi yang kian buruk akibat perang yang tak berkesudahan, termasuk konflik di Yerusalem, dimana gereja menggaungkan spirit agama tetapi kondisi masyarakat sedang terpuruk. Agama digunakan sebagai dogma absolut yang tak boleh dibantah. Membantah gereja artinya membantah Tuhan. Masyarakat dikenai pajak yang tinggi dalam kondisi kemiskinan, bahkan pada waktu itu ada wabah epidemi Black Death yang menyerang masyarakat Eropa. Kondisi inilah yang kemudian dianggap gelap gulita oleh masyarakat Eropa pada waktu itu.

Kondisi ini membuat Eropa tertinggal jauh dari wilayah-wilayah lain yang lebih dinamis secara ilmu pengetahuan, termasuk dunia Islam. Abad Kegelapan tersebut menjadi titik balik bagi Eropa untuk kembali merujuk pada masa keemasan ilmu pengetahuan di era klasik. Dari sinilah muncul ide pencerahan, sehingga masyarakat Eropa beranggapan bahwa ketika pemikiran dikekang, peradaban kehilangan kecepatan untuk bergerak. Namun ketika monopoli otoritas mulai runtuh, Renaisans pun lahir, membuka jalan bagi pengetahuan dan inovasi.

Kemunculan seni dan pemikiran pada era Renaisans menandai titik balik penting setelah gelapnya Abad Pertengahan. Di Italia, lahirlah para maestro seperti Leonardo da Vinci, Michelangelo, dan Raphael yang menghadirkan seni berbasis rasionalitas, proporsi, dan humanisme, sementara para pemikir seperti Petrarch dan Erasmus menyalakan kembali semangat ad fontes, yakni kembali kepada sumber-sumber klasik Yunani-Romawi.

Gelombang pemulihan akal budi ini kemudian mengalir menuju era Aufklärung, ketika tokoh-tokoh seperti Immanuel Kant, Voltaire, Rousseau, dan Montesquieu mengedepankan nalar, kebebasan berpikir, serta kritik terhadap otoritas absolut. Seni, filsafat, dan ilmu pengetahuan saling berkelindan untuk membentuk paradigma baru yang menempatkan manusia sebagai subjek rasional yang mampu menentukan nasibnya sendiri. Inilah masa ketika Eropa berusaha menyinari dirinya dengan cahaya akal, meskipun tetap membawa konsekuensi sekularisasi yang membedakannya dari model pencerahan yang berakar pada religiusitas.

Masyarakat Eropa yang Lelah dan trauma terhadap kekangan gereja akhirnya menyepakati ide bahwa Agama harus dipisahkan dengan negara. Munculah paham yang kita kenal sekarang dengan nama Sekularisme yang berakar dari fakta sosiologis dan historis yang demikian.
Antitesa dari ajaran religius yang doktrinal, dogmatis, dan kaku ini adalah humanisme dan rasionalisme yang kemudian dalam perkembanganya muncul pengetahuan ilmiah modern.

Renaisans di Eropa membangkitkan kembali minat pada seni, sains, dan filsafat. Ini dilanjutkan oleh Abad Pencerahan, ketika rasionalitas diposisikan sebagai kompas utama dalam memahami dunia. Akal budi akhirnya dianggap sebagai sumber kebenaran yang tertinggi.

Namun ada konsekuensi besar yang kemudian muncul, sekularisme menguat hingga memisahkan kehidupan manusia dari akar spiritualnya. Kemajuan material menjadi orientasi utama, sementara dimensi ketuhanan dianggap tidak relevan bagi ilmu pengetahuan.

Hari ini Eropa menjadi benua yang maju secara teknologi, tetapi mengalami krisis makna. Banyak masyarakat modern mengalami kekosongan batin karena rasionalitas yang absolut tidak mampu menjawab kebutuhan spiritual manusia.

Kita harus jujur pada fakta sosiologis dan antropologis bangsa Indonesia, bahwa bangsa Indonesia tidak hanya dihuni oleh pemeluk Islam saja, tetapi juga oleh banyak kepercayaan dan agama lain. Kita adalah bangsa yang multikultural, beragam suku, etnis, bahasa, dan kebudayaan, hidup di dalam negeri Indonesia ini. Memisahkan agama dari negara artinya menciderai realitas bangsa Indonesia itu sendiri. Kita boleh belajar dari apapun dan siapapun, tetapi kita mesti menjadi diri kita sendiri: menjadi Indonesia, menjadi manusia Indonesia sejati, yang tentu menghargai perbedaan dalam harmoni.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya