Adakah Tayangan Televisi yang Ideal?

Bagiku, televisi adalah sebuah benda yang tidak terpisahkan. Aku adalah bagian dari generasi yang mengalami masa anak-anak di medio 1990-an. Di zaman itu, tak dipungkiri televisi adalah salah satu ‘teman’ utama dalam mengarungi kehidupan sehari-hari. Hal ini wajar saja, karena di masa itu belum ada media sosial dan keberadaan gawai belum secanggih masa kini.
Di masa kanak-kanakku, televisi telah menghadirkan sejuta hiburan yang seakan tak ada habis-habisnya. Di hari Minggu, sejumlah stasiun televisi memutar aneka film kartun dan program anak lainnya. Misalnya seperti Power Rangers, Doraemon, Sailor Moon, Dragon Ball, dan masih banyak lagi.
Di masa 1990-an itu, stasiun televisi tidak hanya memanjakan penonton anak-anak seperti diriku. Stasiun televisi juga menghadirkan beragam tayangan, yang mana salah satunya adalah genre sinetron. Aku berani jamin, generasi 1990-an sepertiku pasti amat mengenal siapa itu Lulu Tobing, Elma Theana, Krisdayanti, Jihan Fahira, dan artis-artis lainnya.
Ya, mereka semua adalah artis peran yang menghiasi layar kaca televisi. Kemunculan mereka amatlah ditunggu oleh penggemarnya masing-masing, melalui program sinetron yang ditayangkan secara weekly atau mingguan. Ditambah lagi, siaran televisi tidak hanya dihuni oleh sederet artis-artis lokal tersebut. Masih ada tayangan drama yang diimpor dari luar negeri. Di antaranya yang berasal dari Hongkong, dan ‘telenovela’, sebutan khusus untuk sinetron berseri yang berasal dari Amerika Latin.
Patut kuakui, di zaman tahun 1990-an dulu, hampir semua jenis tayangan televisi telah aku nikmati. Tidak cuma film-film kartun atau drama berseri. Namun program lainnya juga sempat aku tonton, meski tidak seintens tayangan-tayangan hiburan. Misalnya program kuis dan berita. Yang jelas, saat itu televisi telah menjelma sahabat setiap manusia. Televisi menjadi anggota baru di setiap keluarga. Televisi adalah ‘makhluk’ yang paling banyak bercerita di setiap momen berkumpul keluarga.
Kenangan inilah yang akhirnya terus terbawa di alam bawah sadarku. Di tahun 1990-an, aku seolah dimanjakan oleh keberadaan televisi. Sejumlah stasiun televisi menayangkan program-program yang menghibur. Menghibur dan membekas di benak. Karena itulah, hingga di masa dewasaku saat ini, aku masih menjadikan televisi sebagai seorang ‘sahabat’.
Aku yang telah hidup mandiri dan terpisah dari orang tua, namun ada beberapa hal yang masih akan terus kubawa. Hal itu adalah kebiasaan-kebiasaan yang telah tertanam sejak aku masih berada dalam perawatan dan kontrol kedua orang tua. Maksudku, salah satunya adalah kebiasaan untuk menonton televisi di kala senggang.
Kuakui, aku adalah generasi 1990-an yang masih menjadikan televisi sebagai sarana utama penyedia hiburan. Tentu saja aku juga familiar dan begitu mengenal media sosial dan gawai kekinian. Tetapi, aku bukanlah tipikal makhluk yang begitu mendewakan games di perangkat gawai maupun intens dalam menonton saluran Youtube. Aku tak begitu memedulikan pandangan orang lain. Yang jelas, aku masih amat betah dengan hiburan yang disediakan oleh saluran televisi konvensional.
Zaman memang akan terus berubah. Di masa tahun 1990-an, Presiden Indonesia masihlah Soeharto. Jika berbicara soal media massa, di masa itu belum ada yang namanya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Berbeda dengan saat ini. KPI tersedia dan berfungsi sebagai sebuah lembaga yang mengontrol siaran-siaran dari semua media. Baik itu radio maupun televisi.
KPI mempunyai perangkat atau pakem, yang menjadi acuan bagi segenap media dalam memproduksi siarannya. Setahuku, perangkat tersebut adalah Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Apabila sebuah tayangan menyalahi prosedur yang tertuang di dalam P3 SPS ini, maka bersiap-siaplah bagi saluran televisi yang bersangkutan untuk berurusan dengan KPI.
Apabila kubandingkan media televisi di zaman 1990-an dengan saat ini, tentu jauh berbeda. Di masa aku kecil dahulu, belum ada KPI. Belum ada media sosial. Sehingga jika ada keluhan terkait sebuah program yang ditayangkan televisi, maka tidak dapat segera terespons lantaran keterbatasan saluran pengaduan dari segenap masyarakat yang notabene adalah para penonton televisi.
Jauh berbeda dengan sekarang. KPI telah berdiri sebagai lembaga yang eksis untuk mengurusi soal penyiaran dari media-media massa. Ditambah lagi, sudah adanya berbagai saluran pengaduan masyarakat yang memadai, yang mana salah satunya adalah lewat media sosial.
Seperti kabar yang baru saja santer. Serial Suara Hati Istri (SHI) episode khusus ‘Zahra’ menjadi buah bibir segenap masyarakat. Tayangan yang mengudara di jam primetime stasiun Indosiar tersebut, dinilai menyalahi norma sosial. Tak ingin memperpanjang polemik, akhirnya Indosiar ‘mengalah’ untuk membungkus serial ini lebih awal. Pantauanku pada hari Sabtu malam (5/6) Indosiar tak lagi menayangkan Zahra yang menyajikan cerita soal intrik dalam kehidupan poligami itu.
Aku pribadi memang tidak mengikuti serial SHI episode Zahra tersebut. Karena bagiku, ceritanya pasti tidak jauh berbeda dengan serial SHI lainnya. Hanya saja, aku mencoba menyampaikan pandanganku soal SHI yang ditayangkan Indosiar ini. Menurutku, kenapa Indosiar begitu konfiden hingga meletakkan serial SHI di jam primetime miliknya? Itu tak lain karena serial ini memiliki penonton yang setia.
Tayangan SHI sebenarnya biasa saja. Tidak ada yang istimewa dari segi pengemasan dan cerita yang ditawarkannya kepada khalayak. Namun kenapa, SHI terasa begitu viral dan cukup sanggup mencuri perhatian dari masyarakat? Hal ini tak lain karena masyarakat, kita semua telah jenuh dengan berbagai keadaan yang mendera.
Coba resapi, pandemi Covid-19 telah mencabik-cabik kebebasan kita semua. Pandemi ini telah mengubah peta finansial dari sebagian besar orang di dalam negeri, bahkan seluruh dunia. Kita semua butuh hiburan. Kita semua butuh sebuah tayangan yang sanggup membuat kita sejenak bisa melupakan segala himpitan di luaran sana.
Media sosial dan saluran Youtube menjadi tujuan utama bagi para generasi muda masa kini dalam rangka mencari penghiburan untuk diri sendiri. Namun tidak bagi generasi dewasa, seperti aku misalnya. Generasi yang masih menjadikan televisi sebagai rujukan utama untuk mencari hiburan. Untuk sekadar menonton tayangan berita, atau mengetahui apa saja peristiwa yang telah terjadi di luaran sana.
Serial SHI yang ditayangkan Indosiar, kupikir berusaha untuk memposisikan diri sebagai tayangan untuk menyentuh afeksi kalangan dewasa. Kalangan yang telah merasakan kehidupan rumah tangga beserta segala pelik permasalahannya. Maka dari itu, serial SHI kupikir sudah mempunyai demografi penontonnya sendiri.
Apabila ada anak-anak yang turut menonton SHI dan kemudian terbawa suasana dan termehek-mehek karena jalan ceritanya, maka itu soal lain lagi. Seharusnya para orang tua dan kalangan orang dewasa yang mesti berperan sebagai filter. Mereka harus berperan aktif sebagai penjaga gerbang alias gatekeeper, dalam menentukan program-program apa saja yang laik ditonton di ruang-ruang keluarga di Indonesia.
Ingat, remote control ada di tangan. Oleh sebab itu, pilihlah tayangan yang sesuai dengan minat dan kebutuhan yang kamu inginkan. Setiap individu memiliki standar keinginannya masing-masing. Sehingga implikasinya, tayangan televisi yang bagiku ideal, belum tentu ideal menurutmu atau menurut orang lain. Begitu juga sebaliknya. Jadi kesimpulannya, adakah tayangan televisi yang benar-benar ideal ?
Artikel Lainnya
-
133105/01/2022
-
49301/06/2024
-
56909/09/2024
-
Upaya Internasional Mendamaikan Perang Hamas–Israel
58525/11/2023 -
22602/10/2024
-
Pemberdayaan Perempuan dalam Wajah Pembangunan Desa
384526/12/2019