Menggagas Islam Tengah dalam Gerakan Bela Agama

Masih ingatkah aksi 212 empat tahun silam yang menyeret jutaan massa karena dugaan penistaan al-Quran? Meski mulanya berbau politis, hingga kini, gerakan tersebut kerap menghelat reuni akbar saban tahunnya. Eksisnya alumni 212 pertanda tumbuhnya semangat yang menggelora dari tokoh agama dalam menggagas gerakan bela agama.
Serangkain gerakan 212 merupakan wujud militansi keberagamaan di Indonesia. Dalam hal ini, kecintaan kepada agama memanglah menjadi alasan utama. Namun terkadang, over spirit dalam memperjuang agama tanpa pertimbangkan yang akurat dapat mengantarkan pada gerbang radikalisme. Sebagaimana yang pernah terjadi di Indonesia, gerakan bela agama dengan gaya ekstrem acap mengubah wajah agama yang semula ramah dan santun.
Karen Amstrong, sejarawan agama ternama, mengatakan bahwa radikalisme dalam beragama erat kaitannya dengan fundamentalisme dalam ajaran agama.
Menurutnya, potensi tindakan kekerasan dalam beragama sangat mungkin dilakukan oleh penganut agama yang fundamental, sedangkan fundamentalisme tidak hanya ada di agama Islam namun juga terdapat di seluruh agama.
Kendati demikian, aksi 212 dalam menyikapi penista agama memang bisa dibenarkan dan memiliki payung hukum dalam Islam (al-Quran dan Hadist), sebagaimana yang dipaparkan oleh al-Qāḍī ‘Iyāḍ di bagian akhir kitab al-Syifā’ bi al-Ta’rīf al-Huqūq al-Mustasyfa. Namun, secara historis-empiris, membela agama dengan tindakan anarkis adalah bentuk penyelesaian polemik yang melahirkan banyak problematik.
Gerakan tersebut berbanding terbalik dengan gagasan Gus dur. KH. Abdurrahman Wahid dalam artikel yang Tuhan Tak Perlu Dibela mengatakan, “Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan”. Artinya, perihal bela agama kita harus bersikap di tengah-tengah dengan tindakan yang ramah bukan marah-marah, sehingga bakal memberikan dampak yang baik.
Islam dalam hal ini memiliki idealisme untuk mengkonstruksi peradaban dengan nuansa yang hanīf dan samḥaḥ. Serta menjunjung tinggi nilai washatiyyah (QS. al-Baqarah:143) dengan misi memberikan rahmat bagi alam semesta (QS. Al-Anbiyā’: 107).
Akan tetapi, menurut Khaled Abou al-Fadl, nash yang dijadikan dogma untuk menggalang massa dalam aksi bela agama, seperti (QS. at-Taubah: 5, 29 dan 35) dan hadis amar makruf nahi mungkar adalah akar teologi intoleransi. Sebab, dalil tersebut ditelan mentah dan tekstual untuk mendukung eksklusivitas dan orientasi pemahaman radikal mereka.
Hal ini senada dengan pernyataan Imam al-Fanari tentang moderasi yaitu dengan memposisikan diri dengan seimbang dan adil diantara tindakan radikal (ifrāṭ) dan liberal (tafrīṭ). Karena, kecenderungan pada keduanya akan berakibat pada ekstrimisme beragama yang sesat dan menyesatkan. Dengan demikian, Islam tengah dalam bela agama bisa diwujudkan dengan melestarikan nilai dan simbol Islam tanpa anarkis dan persekusi serta tetap memegang erat nilai peradaban dan kemanusiaan.
Sebenarnya, gerakan bela agama yang terjadi di Indonesia ‘beradu punggung’ dengan spirit agama yang diperjuangkan. Sebab, makna agama secara kebahasaan dapat memposisikan seseorang dalam membela agama. Telah masyhur, bahwa term agama berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari dua suku kata, yaitu “a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. So, agama secara etimologi adalah nilai dan norma yang akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang berkeberadaban dan menjauhkan dari sikap arogan.
Dalam rujukan klasik, Imam al-Syātibi sudah mencetuskan akar pemikiran bela agama dalam maqāṣid al-syarī’ah-nya. Ḥifẓu al-dīn namanya. Bela agama dikategorikan kebutuhan primer dalam beragama yang tidak boleh diabaikan oleh umat Islam. Bahkan secara hierarkis, al-Gazali menempatkannya dilevel teratas untuk diperjuangkan dan harus diutamakan dari pada yang lain.
Ini mengindikasikan bahwa bela agama adalah suatu hal yang sangat urgen demi masa depan agama. Secara epistimologis, hal ini bukan sekedar untuk membuat fitur relasi transendental yang berafiliasi pada penguatan dimensi eskatologis, namun juga mengemban amanah humanisasi untuk mengangkat derajat manusia dan kemanusiaan ke level yang lebih beradab (civilis).
Dan menurut saya, agama semestinya dibela dalam kondisi apapun. Namun gerakan ekstremis dlam bela agama bisa dilegalkan manakala menjadi satu-satunya solusi untuk menegakkan kebenaran dan meminimalisir kemungkaran. Tentunya, dengan tetap menggunakan cara yang santun dan sesuai dengan fitrah kemanusiaan serta tidak menodai karāmah insāniyah.
Terlebih, KH. Afifuddin Muhajir, seorang ulama ushul fikih, dalam mengimplementasikan nahi mungkar mensyaratkan supaya sesuatu yang di asumsikan merupakan kesalahan absolut dan mutlak yang tidak diperdebatkan serta tidak berpotensi melahirkan polemik akbar. Kualifikasi inilah yang kerap diabaikan oleh para jihadis milenial.
Last but least, dalam segala tindak tanduk kehidupan, kita mesti merujuk pada asas dan ruh Islamiyyah yang mengajarkan sikap moderat agar tidak terjerumus dalam kubang ekstrimisme dan radikalisme. Sekalipun untuk jihad menegakan amar makrūf dan nahi mungkar yang berbasis bela agama.
Bukankah Islam pada fitrahnya meneladankan sikap etis-moral dengan wujud ajakan persuasif melalui jalan hikmah (al-ḥikmah), nasehat yang baik (al-maw’iẓah al-ḥasanah), dan dialog konstruktif (mujādalah bi allatī hiya ahsan).
Demikianlah seyogianya wajah bela agama yang diterapkan oleh umat muslim Indonesia. Dari pada over spirit dalam gerakan bela agama, akan lebih ajeg bila bersemangat dalam mengatasi problem keummatan. Tidakkah the core of the problem today adalah korupsi, kemiskinan, dan moral. Itulah yang seharusnya dibela dengan mengatasnamakan agama.
Artikel Lainnya
-
62519/06/2024
-
7804/01/2025
-
437815/03/2022
-
Merindukan Tontonan Berkualitas
92406/06/2021 -
Pandangan Mochtar Lubis Terhadap Kemunafikan Manusia Indonesia
261322/01/2021 -
Mengurai Kesalahpahaman Teori Evolusi #1: Benarkah “Manusia Berasal dari Kera”?
12304/11/2024