Banjir: Produksi Kekerasan Yang Menghasilkan Bencana

Banjir yang terjadi di berbagai kawasan Indonesia, seperti Bogor, Bekasi, Jakarta, dan Bandar Lampung, baru-baru ini menimbulkan dampak yang cukup besar. Banjir merendam pemukiman warga dan menghancurkan berbagai aset penting, mulai dari rumah, kendaraan, sawah, kebun, hingga hewan ternak. Tak jarang, bencana ini juga mengakibatkan hilangnya nyawa. Dalam pandangan ahli geologi, banjir dianggap sebagai fenomena alam yang disebabkan oleh intensitas hujan yang tinggi. Namun, terdapat faktor lain yang berperan, diantaranya yaitu alih fungsi lahan. Lahan hijau yang sebelumnya berfungsi untuk menyerap air kini diubah menjadi tempat untuk proyek pertambangan, wisata, atau pemukiman. Faktor alihfungsi lahan ini membawa kita pada analisis yang lebih struktural, yang melihat fenomena banjir bukan sekadar sebagai bencana alam, tetapi juga sebagai hasil dari kebijakan yang melibatkan kekerasan yang tidak terlihat dan menyengaja.
Kekerasan yang dimaksud dalam konteks ini bukan hanya kekerasan fisik seperti melukai atau membunuh, tetapi juga kekerasan dalam bentuk lain yang lebih halus dan berbahaya. Dalam analisis ini, dua bentuk kekerasan yang relevan untuk dibahas adalah kekerasan struktural dan kekerasan lambat. Kekerasan struktural, menurut Johan Galtung (1969), adalah ketidakadilan yang berasal dari sistem sosial yang menyebabkan manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (human needs). Kekerasan ini sering kali timbul akibat penyalahgunaan kekuasaan oleh pengambil kebijakan, yang mempengaruhi kehidupan masyarakat secara luas. Kekerasan struktural menciptakan ketidakadilan yang mengakibatkan penderitaan dan bahkan kematian bagi masyarakat yang tertindas. Adapun kekerasan lambat menurut Rob Nixon (2011) merujuk pada kerusakan lingkungan yang terjadi secara perlahan dan bertahap, sehingga korban tidak segera menyadari dampaknya, namun dampak jangka panjangnya dapat mengancam kehidupan dan masa depan mereka.
Kekerasan struktural sangat terkait dengan kebijakan pemerintah, mengingat bahwa pemerintah memiliki wewenang besar dalam menentukan arah kehidupan publik. Kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat sipil, terutama kelompok yang lemah dan rentan, justru memperburuk situasi dan menciptakan bencana ekologis. Dari perspektif kekerasan struktural, bencana ekologis dimulai dari proses perumusan kebijakan yang seringkali dilakukan dengan cara yang tertutup, cepat, sepihak, dan tanpa melibatkan masyarakat secara aktif. Proses konsultasi publik sering diabaikan, dan masyarakat hanya diberi sosialisasi tentang kebijakan yang diambil, bukan diberi ruang untuk memberikan masukan. Oleh karena itu, kebijakan yang diterapkan cenderung bersifat top-down, bukan bottom-up.
Di Indonesia, model pengambilan kebijakan top-down mendominasi hampir seluruh kebijakan yang diambil pemerintah. Salah satu contoh nyata adalah pembukaan lahan secara besar-besaran di kawasan hutan Kalimantan dan Papua yang dilakukan atas nama “ketahanan pangan.” Proyek tersebut mengabaikan konsultasi publik, sehingga kebijakan diambil secara sepihak. Hasilnya, proyek yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan malah berakhir dengan kerusakan sumber pangan sekaligus penghidupan masyarakat. Pembukaan ribuan hektar lahan hutan untuk proyek ketahanan pangan mengurangi kawasan resapan air, yang berkontribusi pada semakin sempitnya lahan yang dapat menyerap air. Akibatnya, ketika hujan deras datang, banjir pun tidak dapat dihindari. Proses ini menggambarkan sebuah siklus kekerasan struktural, di mana kebijakan pembangunan top-down menghasilkan kerusakan ekologis dan bencana alam.
Kebijakan top-down juga cenderung memandang masyarakat sebagai objek, begitu pula dengan alam yang dianggap hanya sebagai sumber daya (objek) untuk pembangunan semata. Tentu ada pihak-pihak yang diuntungkan dari karakter kebijakan pembangunan semacam ini, dan di sisi lain, ada pihak yang dirugikan. Yang paling diuntungkan adalah pemilik modal atau oligarki, baik lokal maupun nasional. Kelompok ini memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang besar, yang memungkinkan mereka untuk mendikte arah kebijakan tanpa mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat atau keberlanjutan lingkungan. Melalui saluran birokrasi yang korup, oligarki ini dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan sehingga kebijakan lebih menguntungkan mereka. Akibatnya, masyarakat yang tidak memiliki kekuatan politik atau ekonomi justru menjadi korban dari kebijakan yang merusak lingkungan dan mengancam penghidupan mereka. Konsep "kekayaan terakumulasi di atas, dan risiko terakumulasi di bawah" (Beck, 1992) menggambarkan dengan jelas bagaimana kelompok yang berkuasa mengumpulkan keuntungan, sementara masyarakat yang berada di bawah justru menanggung risikonya.
Kelindan antara birokrasi yang korup dan oligarki ini menciptakan budaya kleptokrasi, yang pada akhirnya menjadi akar dari kekerasan struktural. Dalam hal ini kekerasan lambat juga mulai terasa, meskipun dampaknya tidak langsung, namun terus berkembang perlahan-lahan dan mengancam masa depan banyak orang. Kelompok-kelompok yang rentan, seperti anak-anak, lansia, perempuan, ibu hamil, serta penyandang disabilitas, menjadi yang paling terdampak oleh kebijakan ini. Jika mereka berasal dari kelas bawah, maka kerentanannya berlapis. Mereka kesulitan untuk melindungi diri dari risiko yang dihadapi akibat keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Sementara itu, pemilik modal dan aktor-aktor pemerintah, dengan segala fasilitas dan kekuasaan yang mereka miliki, tidak merasakan dampak langsung dari bencana tersebut. Mereka biasanya tinggal jauh dari lokasi bencana, atau ketika terdampak mereka memiliki sarana untuk berpindah dengan mudah. Pasca bencana mereka dapat dengan cepat memulihkan diri, sementara masyarakat yang mengalami kerentanan berlapis akan sulit untuk memulihkan diri.
Di saat-saat seperti ini, bahaya kekerasan lambat menjadi sangat nyata. Kekerasan ini tidak terjadi secara langsung, tetapi perlahan-lahan menghancurkan kehidupan dan masa depan manusia. Ketika bencana banjir terjadi, aktivitas warga terhenti, kerugian material yang dialami sangat besar, mulai dari kehilangan pekerjaan, rumah, hingga anggota keluarga. Muncul pertanyaan, apakah pemerintah memberikan restitusi atas produksi kekerasan yang dilakukan? Tidak. Mereka hanya memberi bantuan seadanya, tetapi kerugian material maupun korban nyawa menjadi persoalan yang ditangani masing-masing. Tanpa rasa bersalah pemerintah lalu cenderung menghindar dari tanggung jawab dengan menyalahkan perilaku masyarakat yang tidak tertib. Mereka seharusnya sadar, mengakui kesalahan, dan merestitusi seluruh kerugian yang dialami warga. Sebab ulahnya dalam memproduksi kekerasan struktural dan kekerasan lambat lah yang menyebabkan bencana seperti banjir beserta dampaknya yang desktrutif.
Artikel Lainnya
-
12007/12/2024
-
168502/07/2021
-
29615/09/2024
-
Tom Lembong dan Cermin Buram Keadilan
109823/07/2025 -
Membunuh Moralitas dan Menjadi Gila Bersama
25629/04/2024 -
Proses Pendidikan Yang Membebaskan dan Bertanggung Jawab
197014/11/2019