Pendidikan di Barak antara Jalan Perbaikan Moral dan Gejala Militerisme Sipil

Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM
Pendidikan di Barak antara Jalan Perbaikan Moral dan Gejala Militerisme Sipil 06/06/2025 106 view Politik istockphoto.com

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang akrab disapa KDM akhir-akhir ini menyita perhatian publik dengan berbagai kebijakan kontroversinya. Salah satunya adalah kebijakan yang dinilai tidak biasa yaitu pendekatan baru dalam menangani anak-anak yang dicap “nakal”. Alih-alih dibina melalui pembinaan di sekolah atau konseling oleh profesional, KDM memberikan gagasan baru bahwa anak-anak tersebut dikirim ke barak militer untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan karakter.

Namun demikian, kebijakan ini memicu perdebatan di berbagai kalangan yang menilai bahwa langkah KDM ini dinilai sebagai solusi cepat yang efektif untuk mengatasi kenakalan remaja, di sisi lain ada pula pihak yang menilai bahwa pendekatan pendidikan di barak militer ini merupakan bentuk militerisasi pendidikan dan pelanggaran hak terhadap anak.

Dalam melihat dualitas yang terjadi di publik, perlu dianalisis lebih mendalam sebelum terburu-buru untuk menolak atau mendukung kebijakan ini. Publik perlu melihat secara proporsional dengan menggali dari berbagai kemungkinan sisi positif sekaligus aktif untuk memberikan kritik terhadap implikasi kebijakan ini secara jangka panjang.

Barak sebagai Ruang Alternatif Pembentukan Disiplin

Saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa dunia pendidikan Indonesia menghadapi tantangan besar dalam membentuk karakter dan disiplin peserta didik. Institusi pendidikan terutama sekolah kehilangan otoritas yang disebabkan karena sumber daya yang terbatas ataupun pendekatan kognitif pada kurikulum yang terlalu dominan. Dalam konteks ini pendekatan alternatif seperti program barak militer oleh KDM muncul.

KDM berargumen bahwa alasan mengirim anak nakal ke barak militer dilatarbelakangi alasan orang tua yang tidak mampu untuk mendidik anak-anaknya.

KDM lebih lanjut juga menilai terdapat perubahan terhadap karakter anak-anak yang telah mengikuti program ini yang dinilai menjadi lebih patuh, disiplin, dan menghomrati orang tua serta guru.

Pendekatan tersebut memiliki karakteristik character education yang dimunculkan oleh Lickona. Lickona menekan bahwa pendidikan karakter berbasis nilai-nilai seperti tanggung jawab, kerja keras, dan hormat terhadap otoritas menjadi hal yang sangat penting.

Dari sisi ini, barak bisa dipandang sebagai ruang pembelajaran nilai dalam bentuk yang keras. Disiplin militer yang menekankan keteraturan, kepatuhan, dan kerja tim dapat menjadi model yang relevan apabila dan hanya jika dilakukan dengan pendekatan pedagogis, bukan koersif.

Risiko Pendekatan Militeristik terhadap Anak

Namun, persoalan muncul ketika pendekatan militer tersebut tidak mempertimbangkan aspek psikologis dan hak anak. UNESCO dalam Learning: The Treasure Within menekankan empat pilar pendidikan: learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Pengiriman anak ke barak apabila dilakukan tanpa landasan kurikulum yang jelas dan pendekatan pedagogis yang empatik dapat berisiko mereduksi anak hanya sebagai objek koreksi sosial.

Psikolog perkembangan seperti Erik Erikson dan Jean Piaget juga menekankan pentingnya lingkungan yang suportif dalam pembentukan identitas dan moral anak. Ketika anak diasosiasikan dengan kekerasan verbal atau fisik yang kerap ditemukan dalam lingkungan militer proses perkembangan ini bisa terganggu. Anak bisa menjadi patuh, bukan karena memahami nilai yang diajarkan tapi karena takut.

Selain itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun menyatakan kekhawatiran atas tidak adanya pendampingan psikolog atau pendidik profesional dalam pelaksanaan program barak ini. Tanpa pendekatan yang tepat, program ini berpotensi melanggar UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Kebijakan Jalan Pintas atau Refleksi atas Gagalnya Sistem Pendidikan?

Kebijakan ini juga mencerminkan satu hal penting yaitu ketidakpercayaan negara (atau kepala daerah) terhadap efektivitas sistem pendidikan formal dalam menyelesaikan persoalan kenakalan remaja. Dalam Pedagogy of the Oppressed, Paulo Freire menyatakan bahwa pendidikan yang memanusiakan harus membuka ruang dialog antara peserta didik dan pendidik. Sementara itu, pendekatan militeristik cenderung searah, menutup ruang ekspresi dan menuntut kepatuhan mutlak.

Namun, jika pendidikan formal gagal membentuk karakter, tidak aneh jika masyarakat atau pemerintah daerah mulai mencari “jalan pintas”. Dengan kata lain, program barak ini mungkin bukan karena KDM terlalu militeristik, tapi karena sistem pendidikan gagal membuktikan dirinya sebagai pembentuk karakter yang efektif. Dengan demikian, kritik terhadap kebijakan ini harus disertai refleksi terhadap reformasi pendidikan yang stagnan.

Melampaui Dikotomi Setuju dan Tidak Setuju

Akan lebih produktif jika kebijakan seperti ini dibingkai ulang sebagai eksperimen sosial yang membutuhkan evaluasi menyeluruh, bukan glorifikasi atau demonisasi. Program barak bisa saja diadaptasi menjadi bentuk experiential learning seperti model outward bound yang populer di Barat dengan menggabungkan aktivitas luar ruang, tantangan fisik, dan refleksi nilai. Dalam bentuk ini, disiplin militer hanya menjadi medium, bukan ideologi.

Howard Gardner dalam teorinya tentang multiple intelligences menekankan pentingnya pendekatan pembelajaran yang variatif, tidak hanya kognitif. Aktivitas fisik yang menantang seperti yang dilakukan dalam pelatihan semi-militer bisa membangun intrapersonal intelligence dan interpersonal intelligence jika didampingi oleh refleksi dan konseling.

Artinya, unsur barak bukanlah masalah jika dia menjadi alat pedagogik yang dikelola oleh pendidik, bukan militer. Dalam model seperti ini, kerja sama dengan institusi seperti TNI bisa tetap dilakukan, tetapi dalam pengawasan profesional pendidikan dan psikologi anak.

Mengarah pada Reformasi, Bukan Replikasi

Program pendidikan karakter ala barak di Jawa Barat menyimpan potensi dan risiko sekaligus. Potensinya terletak pada upaya membentuk disiplin dan nilai tanggung jawab dalam konteks sosial yang krisis otoritas. Namun risikonya juga nyata, apabila tidak dikelola dengan baik kebijakan ini bisa menjadi pintu masuk militerisasi sipil dan pelanggaran hak anak.

Oleh karena itu, alih-alih sekadar menolak atau mengadopsi mentah-mentah, penting bagi publik dan pemangku kebijakan untuk mendorong evaluasi menyeluruh: Apa indikator keberhasilannya? Siapa yang mendampingi? Apa kurikulumnya? Bagaimana dampaknya terhadap perkembangan anak dalam jangka panjang?

Program barak ini seharusnya bukan jalan pintas, tetapi momentum untuk mereformasi sistem pendidikan agar lebih kuat dalam membentuk karakter, tanpa harus mengorbankan hak, psikologi, dan masa depan anak.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya