Trauma Bukan Takdir: Perspektif Teleologis Alfred Adler

Trauma Bukan Takdir: Perspektif Teleologis Alfred Adler 23/09/2025 85 view Pendidikan images.jacobinmag.com

Pertanyaan fundamental dalam psikologi adalah apakah manusia sepenuhnya ditentukan oleh masa lalunya. Teori-teori psikologi klasik umumnya beranggapan bahwa pengalaman buruk pada masa lampau memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk kepribadian. Trauma bahkan kerap dijadikan penjelasan utama atas kondisi psikologis seseorang di masa kini. Tidak jarang, kisah hidup yang penuh luka dijadikan justifikasi mengapa seseorang gagal bangkit atau sulit berubah.

Alfred Adler, salah satu tokoh penting dalam psikologi modern, menghadirkan perspektif yang berbeda. Menurutnya, manusia bukan sekadar produk dari kausalitas masa lalu, melainkan subjek yang senantiasa bergerak menuju tujuan (teleologis). Dalam kerangka psikologi tradisional, kehidupan sering dipahami secara deterministik: peristiwa A melahirkan akibat B, sehingga masa lalu dipandang sebagai faktor dominan penentu masa kini. Adler menolak determinisme semacam itu sebagai satu-satunya penjelasan. Baginya, orientasi hidup manusia lebih banyak ditentukan oleh tujuan yang dibayangkan di masa depan daripada sekadar pengalaman yang telah berlalu.

Contoh sederhana dapat ditemukan pada anak-anak yang tumbuh dalam kondisi kemiskinan. Sebagian mungkin terjebak dalam keputusasaan, sementara yang lain justru menjadikan pengalaman tersebut sebagai dorongan untuk berjuang mencapai keberhasilan. Perbedaan ini, menurut Adler, terletak pada orientasi tujuan yang dipilih. Dengan demikian, masa lalu tidak bersifat mengikat secara absolut; manusia selalu memiliki ruang untuk menentukan arah dan makna dari pengalaman yang dialaminya.

Pandangan ini terasa sangat relevan dalam kehidupan modern. Di era media sosial, misalnya, identitas seseorang kerap dipersempit pada “cerita luka” yang ditampilkan berulang kali. Narasi trauma, kegagalan, atau pengalaman buruk memang penting diakui, tetapi jika berhenti di sana, manusia berisiko kehilangan potensi kreatifnya. Adler seakan mengingatkan kita bahwa pengalaman itu bukan titik akhir, melainkan bahan mentah yang dapat diolah untuk membentuk visi hidup yang lebih besar.

Implikasi dari pandangan Adler sangat penting bagi perkembangan psikologi humanistik. Manusia tidak lagi dipandang sebagai korban pasif dari peristiwa hidupnya, melainkan sebagai pencipta makna yang aktif. Kemampuan untuk menafsirkan ulang pengalaman menjadikan setiap individu memiliki potensi transformatif: menjadikan pengalaman, baik positif maupun negatif, sebagai energi untuk bergerak maju. Pemikiran ini menegaskan sisi humanistik Adler, yakni penekanannya pada kebebasan, tanggung jawab, serta keberanian untuk menentukan arah hidup.

Lebih jauh, konsep teleologi Adler juga memberi inspirasi bagi dunia pendidikan dan konseling. Guru, konselor, atau terapis tidak seharusnya hanya menelusuri masa lalu peserta didik atau klien, melainkan juga mengarahkan mereka pada tujuan yang ingin dicapai. Dengan begitu, proses pemulihan psikologis tidak terjebak dalam penjelasan kausalitas semata, melainkan diarahkan pada penciptaan makna baru yang menumbuhkan harapan.

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang tengah menghadapi tekanan sosial-ekonomi, gagasan Adler terasa relevan. Banyak orang mengalami krisis akibat kehilangan pekerjaan, tekanan akademik, atau kegagalan membangun keluarga. Jika trauma hanya dilihat sebagai penjara, maka krisis tersebut akan melahirkan generasi yang pesimis. Tetapi jika dilihat sebagai “pijakan menuju visi baru”, maka penderitaan itu justru bisa menjadi energi untuk bangkit. Dengan cara pandang ini, luka lama tidak dipungkiri keberadaannya, tetapi tidak pula dijadikan satu-satunya identitas hidup.

Dalam konteks modern, individu kerap merasa terjebak dalam label sosial maupun psikologis, seperti trauma, kegagalan, atau luka lama. Adler menegaskan bahwa manusia tidak harus berhenti pada definisi-definisi tersebut. Masa lalu dapat diintegrasikan kembali melalui penafsiran baru dan dijadikan fondasi untuk membangun tujuan yang lebih besar. Bahkan dalam dunia kerja atau politik, orang yang pernah gagal tidak jarang mampu bangkit karena mereka memilih tujuan baru yang lebih bermakna.

Oleh karena itu, pertanyaan yang seharusnya diajukan bukanlah “Apa yang telah menimpaku?” melainkan “Untuk tujuan apa aku menjalani semua ini?” Bagi Adler, kehidupan manusia bukanlah sekadar rantai sebab-akibat yang diwarisi dari masa lalu, melainkan sebuah proses kreatif menuju tujuan yang secara sadar dipilih untuk masa depan. Dengan kata lain, masa lalu boleh menjadi cermin, tetapi masa depanlah yang menjadi kompas.

Pada akhirnya, perspektif Adler mengajak kita untuk tidak mengurung diri dalam narasi luka. Masing-masing orang memang membawa beban masa lalu, tetapi beban itu bisa dipahami ulang sebagai jalan menuju pertumbuhan. Pertanyaannya, apakah kita mau terus menjadikan masa lalu sebagai dalih untuk berhenti, atau menjadikannya sebagai bahan bakar untuk melangkah lebih jauh? Dalam dunia yang serba cepat berubah, pandangan teleologis Adler menegaskan bahwa arah hidup manusia selalu ada di tangannya sendiri. Ia bukan sekadar korban sejarah pribadi, melainkan arsitek masa depan yang ia pilih.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya