Masa Depan di Bawah Langit Abu-Abu

Mahasiswa PBSI UNJ 2022
Masa Depan di Bawah Langit Abu-Abu 03/09/2024 184 view Lainnya Ilustrasi dunia kelabu (Pixabay/dosign2)

Hari Minggu. Mas Uple, tetangga saya, sedang beristirahat setelah lari pagi di taman. Kami bertemu di sana, dan saya melihat Mas Uple duduk menyelonjorkan kaki. Heran melihat dia memakai masker, saya pun bertanya, “Memang tidak pengap, Mas, lari pakai masker?” Mas Uple tertawa dan malah bercerita tentang buruknya kualitas udara, meningkatnya polusi, dan berbagai penyakit yang timbul karenanya.

Saya pun mengangguk. Mas Uple melanjutkan, “Kamu pergi ke taman bukan untuk lari pagi, malah merokok sambil minum air kemasan. Sudah berhenti merokok saja, polusi udara sudah cukup buruk. Nanti kamu kena penyakit.” Seperti dosen di kelas, Mas Uple menjelaskan panjang lebar tentang polusi udara yang menyebabkan penyakit serius seperti Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), asma, pneumonia, hingga serangan jantung.

“Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Hannah Ritchie dan Max Roser pada OurWorldin Data tahun 2017 dan diperbarui tahun 2021, paparan polusi udara berkontribusi pada 11% kematian global setiap tahun,” kata Mas Uple.

Saya hanya bisa tersenyum kecut mendengar semua itu. Mas Uple kemudian berbicara tentang minuman kemasan, “Lebih baik kamu minum air mineral di pagi hari. Data dari Institute for Health Metrics and Evaluation, diabetes merupakan penyakit penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia pada tahun 2019, dengan sekitar 57,42 kematian per 100.000 penduduk. Selain itu, berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF), jumlah penderita diabetes pada 2021 di Indonesia meningkat pesat dalam sepuluh tahun terakhir dan diperkirakan dapat mencapai 28,57 juta pada 2045.”

Hening sejenak. Mas Uple tiba-tiba bercerita tentang alasannya berhenti merokok. Ia memilih menabung untuk pendidikan anaknya. Sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), dia khawatir anaknya tidak mendapatkan beasiswa atau harus membayar biaya kuliah yang tinggi. Ia memikirkan masa depan anaknya yang baru kelas 1 SD.

Dua tahun yang lalu, Mas Uple melihat Kompas menerbitkan laporan yang berjudul Orang Tua Indonesia Makin Sulit Biayai Kuliah Anak. Berdasarkan data dari 30 kampus dan Badan Pusat Statistik (BPS), Kompas menemukan bahwa kenaikan biaya kuliah di Indonesia sulit diimbangi oleh peningkatan gaji masyarakat. Menurut analisis tersebut, laju kenaikan biaya kuliah per tahun — sekitar 1,3% untuk kampus negeri (PTN) dan 6,96% untuk kampus swasta (PTS) — mengalahkan laju kenaikan pendapatan lulusan SMA (3,8%) maupun sarjana (2,7%).

Tabungan orang tua yang memiliki gelar sarjana dan melahirkan bayi pada tahun 2022 misalnya, diperkirakan kelak hanya cukup untuk membiayai kuliah anaknya selama enam semester pada 2040. Sementara, lulusan SMA hanya bisa membiayai tiga dari delapan semester kuliah anaknya. Pada rentang 2022–2040, rata-rata total biaya kuliah delapan semester di PTN dan PTS mencapai Rp 430 juta.

Oleh Karena itu, Mas Uple merasa perlu mempersiapkan keuangan untuk pendidikan anaknya. Alasan ini membuat ia berhenti merokok. Ia juga frustasi dengan situasi ini. Setelah berjuang kuliah dan menjadi PNS untuk memberikan masa depan yang aman bagi anak-anaknya, realitasnya tidak seindah yang dibayangkan.

Merenungkan Nasib

Kekhawatiran Mas Uple juga dirasakan oleh banyak orang tua di negeri ini. Meskipun ia lebih beruntung dibanding puluhan juta orang tua lainnya–situasinya tetap sulit. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2024, 84,13 juta orang atau 59,17% penduduk Indonesia bekerja di sektor informal. Di tengah kondisi ini, UU Cipta Kerja menambah kekhawatiran tentang masa depan pekerja.

Hukum telah memungkinkan pekerja kontrak seumur hidup. Pekerja kini tidak lagi memiliki jaminan keamanan kerja dan kesejahteraan yang layak. Mereka menghadapi risiko dipecat tanpa pesangon, yang berarti kehilangan penghasilan tanpa perlindungan. Tanpa kepastian upah yang layak, banyak pekerja kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, apalagi bermimpi membeli rumah dan membiayai pendidikan anak-anak mereka. Dalam kondisi ekonomi yang semakin tidak menentu, kebijakan yang tidak pro rakyat ini menambah beban mental dan emosional yang harus ditanggung masyarakat.

Sebagai Generasi Z yang belum menikah, saya juga merasa cemas terkait masalah pengangguran, gaji dan rumah. Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS, penciptaan lapangan kerja formal mengalami penurunan dari 15,6 juta tenaga kerja formal yang tercipta selama periode 2009–2014, menjadi hanya 2 juta pada periode 2019–2024. Ini adalah penurunan drastis yang sangat menakutkan.

Lebih lanjut, menurut laporan Kompas yang berjudul Upah Minimum Tak Cukup untuk Beli Rumah, mengungkap bahwa untuk bisa membeli rumah dengan luas 60 meter persegi atau kurang, diperlukan penghasilan sekitar 4–6 kali lipat dari Upah Minimum Kota (UMK). Ini menunjukkan betapa tidak realistisnya harapan bagi banyak orang untuk memiliki rumah layak dengan upah yang mereka terima saat ini.

Akhirnya pun, saya jadi merenungkan nasib di masa depan. Langit yang tercemar polusi, perubahan iklim, biaya pendidikan yang melambung tinggi, ketidakpastian dalam dunia kerja, dan mahalnya harga rumah membuat saya cemas akan masa depan. Jadi, tidak salah kalau saya metaforakan masa depan kita berada di bawah langit abu-abu.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya