Mengembalikan Makna Pembelajaran Tematik Terpadu

Guru SD Muhammadiyah Kabupaten Nganjuk
Mengembalikan Makna Pembelajaran Tematik Terpadu 19/05/2021 733 view Lainnya thepsychologist.bps.org.uk

Bayangkan kalau anda kembali ke tingkat sekolah dasar dahulu. Apa yang tergambar? Apakah itu tentang seorang guru yang tengah berceramah perihal satu materi? Mungkinkah juga itu tentang kita yang selalu mencuri-curi kesempatan untuk tidur ketika guru tengah sibuk menulis soal-soal di papan tulis? Kita agaknya memiliki memoar yang sama sebagai pelajar saat berbicara tentang konsep pendidikan di masa lampau. Persis di situ jua, beberapa di antara kita barangkali juga hendak menyampaikan uneg-uneg: bukankah konsep pendidikan itu membosankan?

Beruntungnya, belakangan pemerintah tengah mentransformasikan konsep pendidikan klasik tersebut menuju apa yang disebut pembelajaran tematik terpadu secara optimal. Dengannya, tak ada lagi sekat makna antar mata pelajaran; alih-alih, suatu pembelajaran yang diterima siswa kini menerapkan suatu tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran (Suryosubroto, 2009). Konsep semacam ini harap-harap dapat memberikan pengalaman bagi siswa untuk mengkontekstualisasikan satu materi dengan materi pelajaran lain. Lebih dalam dari itu, pembelajaran tematik terpadu menjadi sebuah terobosan tentang pendayagunaan jam belajar siswa selama di sekolah. Sebagai gambaran, dalam sistem pembelajaran full day school-yang melangsungkan kegiatan belajar-mengajar selama kurang lebih 8 jam-seorang siswa sangat mungkin mengalami stres bila mereka tidak mampu adaptif terhadap lingkungan sekolah. Maka dengan optimalisasi metode belajar, seorang siswa dapat dengan nyaman menyerap materi-materi yang disampaikan secara kreatif.

Namun demikian, sejak metode pembelajaran ini digagas pada tahun 2004, pembelajaran tematik integratif untuk SD -yang kini mengadaptasi Kurikulum 2013- tempo hari banyak menemui kendala, utamanya di kalangan guru. Sukini (dalam Nuraini & Abidin, 2020) mengemukakan bahwa kendala tersebut mewujud dalam defisit pemahaman sejumlah guru soal langkah-langkah melakukan pemetaan kompetensi dasar dengan tema dari beberapa mata pelajaran terkait, perancangan pembelajaran yang berupa penyusunan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan menggunakan pendekatan tematik, serta penyusunan instrumen penilaian untuk pembelajaran tematik.

Masalah berikutnya, menurutnya, adalah ketidakmampuan guru dalam menyampaikan pembelajaran tematik. Mengenai hal ini, sekalipun telah terjun dalam praktik pembelajaran tematik terpadu, sejumlah guru masih terjebak pada pengkotak-kotakan berbagai mata pelajaran yang sebetulnya sudah ditematikkan. Dalam amatan penulis secara langsung sebagai guru, argumen tersebut menjadi relevan untuk berkorelasi dengan kasus beberapa rekan guru yang masih menjadikan materi dalam buku sebagai acuan pencapaian tertentu dalam pembelajaran siswa.

Tentu saja, keadaan yang demikian akhirnya meniadakan perbedaan dengan pelaksanaan pembelajaran dari kurikulum-kurikulum terdahulu. Tetapi lebih dari itu, kemandekan tersebut menunjukkan bagaimana sejumlah guru belum percaya diri atas urgensinya dalam pembelajaran tematik terpadu. Mengingat, dalam konsep pembelajaran ini keberadaan guru sangatlah krusial untuk menentukan secara otonomis soal capaian-capaian pembelajaran tertentu. Mengenai ini, seorang guru akhirnya juga perlu menempatkan diri pembelajar dalam rangka memperbaharui pengetahuan yang telah dimiliki dari beragam literatur. Hal itu bagus untuk memudahkan guru dalam menghubungkan atau mengintegrasikan setiap muatan pembelajaran kepada siswa-yang pada titik tertentu memacu siswa untuk terlibat aktif dalam proses pemahaman kasus alih-alih mengejar nilai ujian seperti pada metode pembelajaran tradisional.

Lagi pula, seorang guru bagaimanapun harus mampu meramu pembelajaran yang atraktif dalam rangka mengajak siswa untuk antusias dalam mengamati dan menganalisis catatan empiris yang mereka temukan dengan materi pembelajaran yang didapatnya(Sinsuw & Sambul, 2017)-selain mengurangi beban psikologi siswa dan guru akibat panjangnya jam belajar yang tersedia. Hal ini berkaitan dengan peran guru yang melampaui sebagai petugas transfer pengetahuan, tetapi sebagai pendidik yang bertanggung jawab atas efektivitas penyampaian materi ke pembelajar. Karenanya penting untuk merenungi kembali bahwa kegagalan guru dalam memahami persoalan ini jelas akan mengganggu tujuan utama berikutnya dari konsep pembelajaran tematik terpadu: bagaimana siswa mampu memahami fenomena sehari-hari secara kritis dan komprehensif setelah guru memantiknya dengan beragam penjelasan dasar selama di sekolah.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya